MasukAmanda Nawalfie hanya gadis sederhana yang hidupnya dipenuhi perjuangan. Ketika ibunya jatuh sakit dan tak punya biaya berobat, ia pasrah. Hingga muncul seorang wanita misterius yang menolong tanpa pamrih membayar biaya perawatan ibunya Wanita itu hanya meminta satu hal sebagai balasan Afie harus menjadi pelayan pribadi anaknya, Gian Reza Rahardian, seorang CEO muda yang arogan, dingin, dan perfeksionis. Gian bukan pria yang mudah didekati. Awalnya ia membenci perempuan karena pernah disakiti dan sangat tidak menyukai kehadiran orang asing dalam hidupnya. Afie dengan tingkah apa adanya dan cenderung spontanitas membuat Gian diam diam tertarik padanya. Hari-hari yang awalnya serba biasa perlahan berubah menjadi percakapan, perhatian, dan menghadirkan rasa dari keduanya. Gian belum sepenuhnya lepas dari masa lalu. Mantan tunangannya masih selalu ikut campur dan terkesan merongrong kehidupan pribadinya. Bagi gian kisah mereka adalah sebuah luka , tertanam juga dendam keluarga, sebab itulah ia merasa takut membuka hati. Sedangkan Afie? Ia harus memilih bertahan sebagai pelayan dalam hidup pria yang tak bisa ia miliki, atau pergi sebelum cintanya membuatnya hancur. Pelayan Cantik Tuan Arogan adalah kisah tentang dua jiwa berbeda yang terpaksa hidup bersama, dan bagaimana kisah cinta mereka bisa tumbuh bahkan di saat Afie bersikukuh untuk pergi karena suatu keadaan. Apakah mereka bersatu atau justru mereka saling melupakan. ikuti kisahnya
Lihat lebih banyak“Siapa kamu?!”
Bentak suara bariton itu menggelegar. Afie hampir menjatuhkan cangkir kopi. Rasanya jantungnya ikut tumpah bersama cairan hitam itu. Tangannya gemetar, menahan diri untuk menjawab. Ia berusaha menahan diri untuk tidak terpeleset menjawab. " Sial. " Baru beberapa jam di rumah ini, Afie sudah ingin kabur. Kalau cangkirnya beneran mendarat ke muka gantengnya itu, dia juga yang pasti kena imbasnya. Afie merasa menjadi gadis malang yang hidupnya jungkir balik gara-gara satu kesepakatan untuk menjadi pelayan pribadi pria menyebalkan bernama Gian Reza Rahardian. Semua demi ibunya karena biaya rumah sakit ditanggung oleh Mamanya Gian, dengan syarat Afie “mengabdi” di rumah ini. “Halo pak! Aku Amanda Nawalfie, panggil saja, Afie. Singkatnya sih, aku disuruh ibu Clara buat melayani bapak. Dan ta..da ....., aku mendarat di rumah megah ini.” katanya tersenyum cerah “Pak, ini panas. sempet tumpah sih tapi dikit. Aku nggak bisa lari-lari sambil bawa kopi. ” protesnya. “Satu lagi, Jangan kagetin aku besok-besok ya pak.” Matanya menyipit. “Kamu ..???” Afie tahu seharusnya diam. Tapi lidahnya sudah lebih dulu bergerak. “Aku bukan membantah, Pak. hanya mengingatkan. Ini kopinya aku taruh disini ya.” Laki-laki itu bergumam rendah, entah menggerutu atau menahan emosi, sebelum menelpon seseorang. Tatapan dinginnya kembali mengunci Afie. "Sret." Membuat bulu kuduknya berdiri, tapi ia menegakkan dagu. Kalau kalah mental sekarang, tamatlah sudah. “Afie.” Suara Gian berat dan dalam. Ia menyandarkan tubuh di sofa hitam, sorot matanya menelusuri tampilan Afie dari atas ke bawah. “Kamu bukan tamu di sini. Kamu pelayan. harusnya pelayan tidak banyak bicara.” Afie mendengus kecil, lebih ke kesal dengan ucapan tuan barunya yang super duper Arogan.. “Baik, Pak. Tapi pelayan juga manusia. Bisa capek, bisa pegel. Jangan disamain sama robot, nanti aku bisa mogok lo.” Alis Gian terangkat. "Oh, bagus sekali. Berani kamu ya ??? Sepertinya Afie baru saja berhasil membuat seorang CEO muda ingin melemparnya keluar hingga ke Merkurius Gian menggebrak meja. “Kalau kamu di sini hanya untuk cari masalah, keluar sekarang juga!” Afie tercekat. Kalau keluar sekarang, ia benar-benar tidak punya tempat tujuan. Ingatan wajah ibunya di ranjang rumah sakit membuatnya menelan ludah. "Tidak, Afie. Jangan menyerah sekarang." Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk sedikit sekadar formalitas. “Maaf, Pak. Aku cuma … kebiasaan. Mulutku kadang nggak bisa diem.” Senyumnya kecut, tak dibalas. Gian bangkit, berdiri tegap dengan lengan bersedekap. “Kamu tahu apa yang saya benci?” suaranya rendah, penuh tekanan. “Perempuan yang tidak tahu tempat. Dan kamu, Amanda Nawalfie , adalah contoh terbaiknya.” Deg. Kata-kata itu menusuk. Tapi daripada menangis, Afie justru tersenyum tipis. “Syukur deh, Pak. Minimal ada sesuatu yang bisa Bapak ingat dari aku” Keheningan menekan. Detak jantung Afie berdentam di telinganya sendiri. Gian menatapnya terlalu lama, sampai ia merasa benar-benar di telanjangi oleh sorot mata itu. Lalu, pria itu melangkah mendekat. Sendal kulitnya menghentak marmer, membuat Afie spontan mundur hingga punggungnya sudah menabrak dinding. “Dengar baik-baik.” Gian menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Afie. Nafas panasnya terasa di kulit. “Di rumah ini, kamu main api sedikit saja, kamu yang terbakar.” Jantung Afie meloncat liar. Tapi anehnya, bukannya diam ketakutan, bibirnya justru gatal membalas. “Ya asal jangan api asmara, kan Pak. Kalau itu sih… bahaya buat Bapak sendiri nantinya.” Mulutnya sukses lagi-lagi mencari mati. Tapi jelas, kilatan singkat melintas di mata Gian antara marah, geli, atau tertantang. Dirinya menarik napas lega begitu ia menjauh. Tapi di dalam hati, dia sadar bahwa hidupnya resmi masuk neraka. " Dosen killer? Senior galak? Semua nggak ada apa-apanya dibanding Gian Reza Rahardian. Tapi kalau dia pikir aku akan menyerah semudah itu… dia salah besar." ** Keesokan harinya, Afie menatap jam dinding besar yang berdetak seolah mengejeknya. Baru pukul 06.02 pagi dan dia sudah ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya yang bahkan belum genap 24 jam. “Afie, kamu hebat. Bisa bertahan semalam di rumah vila rasa penjara ini. Tanpa jeruji, tapi penuh tekanan batin,” gumamnya sambil menyeret sandal hotel yang terlalu besar. Ia menyusuri koridor rumah Gian yang lebih mirip museum, sepi, luas, dingin, dan penuh barang mahal yang bikin keringat dingin. Salah sentuh bisa bikin utang keluarga naik tujuh turunan. Tujuan misi pagi ini, Afie akan membuat sarapan. Ibu Gian, yang, entah kenapa, memintanya jadi pelayan pribadi untuk anak laki laki semata wayangnya sudah mewanti-wanti, “Gian suka telur setengah matang, kopi tanpa gula, dan jangan ganggu dia pagi-pagi.” “Baik, Bu. Tapi aku bukan ahli dalam membuat telur.” “Belajar.” Afie berusaha mengingat intruksi Ibu Clara, dan melangkah menuju dapur sambil mengamati kompor canggih itu. "Oke, telur setengah matang. Gampang lah. tapi masalahnya, kompor rumah ini lebih canggih dari mesin uji coba NASA. " Dengan sikapnya yang awam tentang peralatan tempur dapur membuatnya makin bingung. "Ada tiga belas tombol, yang mana harus ku pencet ini" ujarnya masih mondar mandir dan melihat lihat siapa tau ada intruksi cara pemakaian kompor. "Tiga belas! Bahkan tombol pesawat tempur kayaknya nggak sebanyak ini." dengan kebingungan yang begitu nyata. Dan Afie? Dia nekat saja hingga salah pencet tombol. Maksud hati hanya mau menggoreng telur, malah menyalakan alarm kebakaran. Tiiiit ....Tiiit ....Tiiit !!! Afie menjerit panik sambil menari-nari memegang spatula. Asap dari telur gosong mulai menguasai dapur. Dia membuka semua jendela dan mengibas-ngibas udara dengan serbet. “Padam, padam, pliiiss padam ....” BRAK! Sosok tinggi menjulang muncul di ambang pintu dapur dengan mata masih setengah merem. Gian Reza Rahardian. Dengan kaus oblong tipis dan celana panjang tidur, rambut acak-acakan, tapi aura CEO-nya tetap tidak bisa ditutupin. Dan matanya sekarang… merah. Entah karena alarm, atau karena dia melihat Afie yang akan membakar rumahnya. “APA YANG—?!” ***Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut melalui jendela rumah mereka. Suara tawa anak-anak memenuhi ruang tamu, berbaur dengan aroma bubur hangat dan roti panggang yang sedang disiapkan Gian. Afie duduk di sofa, perutnya yang sudah membesar akibat kehamilan pertama menonjol lembut. Ia menatap pemandangan itu, hatinya terasa hangat seperti musim semi yang lembut. “Mas Gian… kau benar-benar hebat,” bisik Afie, matanya menatap suaminya penuh cinta. Gian sedang sibuk menyiapkan sarapan, mengenakan celemek bergambar karakter kartun favorit anak-anak mereka, tampak serius tapi lucu. “Hebat? Ah, aku lebih dari hebat! Aku adalah kepala keamanan keluarga sekaligus koki profesional rumah tangga!” Gian menjawab dengan nada bangga sambil menuang jus jeruk ke gelas.
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui jendela kamar mereka. Afie bangun perlahan, tangan terletak di perutnya yang mulai membulat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ah… aku masih tidak percaya,” gumamnya sendiri. “Benar-benar… ada kehidupan kecil di sini.” Gian, yang sudah berada di dapur, menoleh begitu mendengar suara Afie. Matanya berbinar, senyum tak bisa disembunyikan. Segera ia melangkah cepat ke kamar, tangan mengambil piring sarapan yang baru selesai ia buat. “Kau bangun, sayang?” tanya Gian sambil meletakkan piring di meja samping tempat tidur. “Aku buatkan sarapan favoritmu, telur orak-arik, roti gandum, dan jus jeruk.” Afie terkekeh. “Gian… kau benar-benar protektif sejak aku bilang aku hamil, ya?” Gian mengangkat bahu dengan senyum polos, tapi tatapannya penuh arti. “Protektif? Tentu saja! K
Pagi itu, udara di sekitar rumah keluarga Afie terasa hangat dan damai.Matahari memantul lembut di kaca jendela, menembus tirai tipis yang sedikit bergoyang karena angin pagi. Aroma bunga segar memenuhi ruang tamu, berpadu dengan wangi kue dan kopi yang baru diseduh. Semua terasa biasa, tapi bagi Afie, hari itu istimewa.Ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana dengan hiasan renda halus di lengan dan leher. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi sedikit bunga lily putih. Setiap kali ia menatap bayangannya sendiri, ada rasa hangat yang mengalir di dada campuran antara gugup, bahagia, dan lega.Badai panjang itu sudah berlalu, batinnya. Semua luka masa lalu, semua kesalahan yang membuatnya rapuh, semua ketidakpastian yang menahan hatinya selama ini, kini terasa jauh.Di ruangan lain, Gian juga bersiap dengan jas hitam rapi. Tangan kanannya menggenggam kaku buket bunga lily putih,
Bandara sore itu ramai luar biasa. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, koper berderak di lantai, dan pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara.Namun bagi Gian, semua itu terasa jauh, seolah-olah ia hidup di dunia yang berhenti berputar.Suara tawa, dering ponsel, bahkan aroma kopi dari kedai di sudut terminal tak mampu menembus dinding kehampaan yang menyelubungi hatinya.Dunia di sekelilingnya penuh warna, tetapi dalam dirinya hanya ada satu nama yang bergema tanpa henti Afie.Ia duduk di ruang tunggu, di kursi panjang yang menghadap ke landasan pacu. Sinar matahari sore memantul di kaca besar di depannya, menyorot wajah yang lelah dan mata yang sembab.Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena udara dingin dari pendingin ruangan, melainkan karena guncangan emosi yang menumpuk terlalu lama.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Setiap suara pengumuman keberangkatan yang menyebut kota tujuan membuat jantun
Beberapa hari terakhir, hati Afie tak pernah benar-benar tenang. Malam-malamnya selalu diisi dengan kecemasan yang tidak bisa dijelaskan.Kabar tentang Gian yang mulai lelah menunggu, bahkan sempat menangis, terus terngiang di telinganya seperti gema yang enggan menghilang.Ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang.Di tangannya, secangkir teh melati yang sejak setengah jam lalu tak disentuh. Uapnya sudah menipis, namun pikirannya justru semakin pekat.Afie menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk menjaga jarak adalah yang terbaik.Ia pikir, dengan menjauh, waktu akan mengajarkan Gian untuk memahami batasan, untuk melepaskan.Tapi ternyata, semakin jauh ia mencoba pergi, semakin kuat bayangan tatapan sendu Gian menghantui setiap langkahnya.Ada hal yang tak bisa ia pungkiri, setiap kali mendengar namanya disebut, dadanya terasa hangat sekaligus nyeri
Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa berjalan begitu lambat bagi Gian.Setiap menit yang berlalu seolah menuntut kesabaran yang tak pernah ia miliki.Ia sudah berjanji pada Afie untuk menunggu, tapi ternyata menunggu jauh lebih melelahkan daripada apa pun yang pernah ia alami.Setiap pagi, begitu membuka mata, bayangan Afie langsung hadir dalam benaknya.Wanita itu bukan hanya seseorang yang ia cintai, Afie sudah menjadi bagian dari napas, dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.Setiap kali Gian mencoba mendekat, jarak itu seperti dinding tak kasat mata, ada, namun tak bisa ditembus.Ketika datang ke kantor atau sekadar mengintip dari jauh, pemandangan yang ia lihat selalu sama.Afie duduk di balik meja kerja dengan ekspresi serius, tenggelam dalam tumpukan dokumen.Kadang ia berdiskusi dengan Ryan, kakaknya, kadang berbicara dengan para paman tentang strategi perusahaan.Afie terlihat begitu fokus, begi






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen