Share

Part 3.a Cinta dan Luka

"Mama, masak apa?" tanya Shifa yang menyusul ke dapur dan berdiri di dekatku. Dia sudah bangun.

"Mama lagi goreng ayam, katanya kemarin Shifa mau ayam goreng. Ayo, susunya di minum dulu. Nanti baru sarapan. Jangan lupa minum air putih dulu sebelum minum susu."

Aku menunjuk segelas susu yang ada di meja makan. Syifa langsung duduk di kursi, minum beberapa teguk air putih hangat, kemudian menyesap susunya.

Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Tapi Mas Ilham belum juga keluar. Biasanya jam segini dia sudah selesai mandi.

Kuletakkan spatula dan mematikan kompor setelah mengangkat gorengan terakhir.

"Tunggu di sini, Mama mau lihat Papa dulu," kataku pada Syifa.

Pintu kamar masih tertutup rapat dan sepi. Ku putar gagang pintu perlahan. Lampu telah dinyalakan dan Mas Ilham yang masih memakai baju koko dan sarung sedang terlentang di ranjang. Wajahnya agak pucat.

Ku sentuh keningnya bersamaan dengan dia membuka mata. "Mas, sakit? Badan Mas panas."

Mas Ilham bangun dari tidurnya. "Ya, sejak tadi malam Mas sakit kepala."

Sejak tadi malam? Tentu saja aku tidak tahu. Setelah pulang dari rumah Mama aku kembali tidur menemani Syifa. Bicara dengan Mas Ilham hanya seperlunya saja.

Niat mau pulang ke rumah ibu pun jadi tertunda karena kamarku masih di cat dan diperbaiki plafonnya. Ah, Ibu memang sengaja melakukan itu, hanya alasan saja. Tentu beliau telah sepakat dengan Mama agar aku bertahan sekali lagi. Tidak tahukah mereka, kalau aku hampir gila di sini.

"Ku ambilkan sarapan dulu sama obat."

Aku melangkah ke dapur. Membuatkan teh hangat, mengambil sepiring nasi berlauk ayam dan tumis sawi. Kemudian mengambil obat di kotak P3K sekalian minyak kayu putih. Semua kujadikan satu di nampan.

"Syifa tunggu Mama dulu, ya. Mama ngasih obat dulu ke Papa."

"Papa kenapa?"

"Sakit."

Syifa mengangguk sambil memegang gelas susu dengan kedua tangannya.

Mas Ilham sudah duduk di tepi pembaringan saat aku masuk.

"Sarapan dulu, Mas. Obatnya tinggal ini yang masih ada. Nanti aku mampir apotek setelah ngantar Syifa sekolah." Ku letakkan nampan di nakas. Mas Ilham menggeser duduknya. Mengambil gelas teh dan minum beberapa teguk.

"Aku mandiin Syifa dan ngasih dia sarapan dulu."

Tanpa menunggu jawaban aku bergegas keluar kamar. Setelah menghabiskan susu kuajak Syifa mandi, ganti baju, dan menyuapinya.

Aku juga ganti baju dan memakai jaket lalu menghampiri Syifa yang menunggu di ruang tengah.

"Shifa, pamit sama Papa dulu, Mama tunggu sambil manasi motor di luar."

Sambil menggendong tas di punggungnya, Syifa melangkah ke kamar yang pintunya masih terbuka.

Motor ku lajukan agak cepat, karena ini memang sudah terlambat. Jarak sekolah Syifa dari rumah hanya sepuluh menit naik motor.

Kami sampai saat anak-anak masih senam. Setelah menunggu sebentar dan basa-basi dengan sesama ibu wali murid, aku segera pergi. 

Ada beberapa obat yang telah kucatat untuk dibeli. Sekalian nanti belanja sayuran untuk masak besok.

"Vi," panggil seorang pria saat aku baru memarkir motor di halaman apotek.

Aku menoleh, seorang pria berpostur tinggi tersenyum sambil mendekat. Dia masih memakai setelan olahraga. 

Bre Manggala, kakak kelas SMA dulu. Cowok berprestasi yang jadi idola cewek di sekolah. Selain jago taekwondo, dia juga pemain basket yang jadi andalan sekolah dan sebuah club di kota kami.

"Jam segini masih di sini? Enggak ngajar, Mas?" tanyaku pada guru olahraga yang berdiri di depanku. 

Dia melihat jam tangan. "Telat sebentar tidak apa-apa, demi nyamperin gebetan yang sudah jadi istri orang," candanya.

Aku tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia gombalin perempuan yang lagi galau sepagi ini. "Bisa aja bercandanya."

"Sebenarnya aku tidak ada jadwal ngajar hari ini. Ini tadi mau ke GOR untuk melihat anak-anak berlatih yang mau dikirim ke pertandingan basket minggu depan. Habis sarapan di warung depan sana, aku melihatmu di sini."

"Aku barusan ngantar anak sekolah sekalian mau beli obat-obatan."

"Musim pancaroba, mesti jaga kesehatan."

"Ya."

"Tiga hari yang lalu aku ngantar Mbak Rima pesan kue ke toko ibumu."

"Oh, ya?"

"Hmm, kebetulan pas ramai-ramainya pengunjung. Padahal aku mau nyempetin tanya kabar kamu. Tapi bertemu di sini juga akhirnya. Kamu baik-baik saja, 'kan?"

"Alhamdulillah, aku ... sehat," jawabku sambil tersenyum.

"Syukurlah!"

Pria itu menatapku dengan pandangan aneh. Seolah tidak percaya dengan jawabanku baru saja. Selain ahli beladiri, apakah dia juga pandai menerawang isi hati?

"Mas, kok ngelamun, sih?" tegurku.

Bre tersenyum. "Aku pergi dulu, ya! Nanti anak-anak nungguin."

Aku mengangguk. Bre melangkah pergi, menyebrang jalan menuju motor sport-nya yang terparkir di depan sebuah rumah makan. Aku sendiri segera masuk ke apotek.

🌺🌺🌺

Sampai di rumah, Mas Ilham masih berbaring dengan pakaian yang sama. Setelah menaruh belanjaan di belakang dan cuci tangan, aku menghampirinya ke kamar. 

AC sudah dimatikan. Kubuka jendela yang masih tertutup rapat, udara segar menyerbu masuk.

Rumah ini di bangun di tengah-tengah luas tanah. Jadi di sekeliling rumah masih ada sisa lahan kosong. Model perumahan di blok sini begitu semua, tidak seperti di perumahan pada umumnya yang tembok rumah saling berhimpitan.

Aku mengambilkan kaos dan celana pendek di lemari. "Ganti dulu bajunya. Biar sekalian yang Mas pakai itu aku cuci."

Mas Ilham bangun dan membuka baju. Tampaknya setelah minum obat pun badannya belum berkeringat. Ku ambil minyak kayu putih dan mengoleskan di punggung dan dadanya. Ada yang berdesir saat ku sentuh tubuh itu. Sosok yang membuatku nyaman sebelum aku sadar, rasa di dalam raga ini bukan milikku.

Ku pungut baju di atas ranjang dan ku bawa ke luar.

Seperti biasa, aku mengerjakan pekerjaan rumah sambil sesekali melihat jam. Takut kelewatan menjemput Syifa pulang sekolah.

Jam 10.45 aku berangkat ke sekolah Syifa. Nanti jam sebelas tepat dia akan keluar dari kelasnya.

Sinar matahari sangat terik siang itu. Untungnya ada angin musim pancaroba yang membuat suasana tidak terasa panasnya. Namun, membuat debu dan dedaunan kering beterbangan.

Syifa keluar dari kelas bersamaan dengan kedatanganku. Gadis kecilku berlari riang sambil membawa selembar kertas yang ditunjukkan padaku.

"Ma, Syifa dapat bintang lima. Bagus kan lukisan Syifa."

"Hmm, bagus. Pinternya anak Mama," pujiku sambil melihat sekilas gambar yang aku tidak begitu paham itu lukisan apa. Sebab segera kusuruh Syifa naik ke bocengan motor, mengikat badannya dengan sabuk pengaman yang melekat di tubuhku dan kami segera pulang.

🌺🌺🌺

Siang itu aku duduk di kamar Syifa, menunggunya masuk kamar untuk tidur siang. Sementara bocahku masih asyik di ruang tengah. Menjawab pertanyaan papanya tentang apa yang dilukisnya tadi.

"Ini pagarnya kebun binatang, Pa. Terus yang bulat-bulat ini hewannya. Ada ular, gajah, macan, jerapah, burung, dan hewan yang lainnya."

Aku tersenyum di dalam kamar, membayangkan gambar yang ditunjukkan padaku tadi siang. Sebuah lingkaran besar dan di dalamnya ada bulatan-bulatan kecil yang dia bilang gambar hewan tadi. Di tepi atas gurunya menulis, 'Kebun Binatang'.

Bagi bocah usia empat tahun, itu gambar yang sudah luar biasa tentunya. Setidaknya ia sudah bisa berimajinasi. Dan yang lebih berbeda lagi, Syifa mau bicara banyak dengan papanya. Selama ini tidak seperti itu. Mas Ilham sendiri jarang berinteraksi dengan putrinya. Justru sekarang dalam kondisi sakit pun, kenapa mau meladeni Syifa?

Sepuluh menit kemudian Syifa masuk kamar. Tersenyum senang dan bilang kalau gambarnya dipuji oleh sang Papa. 

"Ayo, tidur dulu. Nanti sore Syifa ngaji, 'kan?"

"Iya, Ma."

Setelah Syifa tidur, aku keluar kamar. Mas Ilham sedang Salat Zhuhur, saat kulihat ponselnya berpendar di meja depan TV.

Pesan masuk itu membuatku penasaran. Dengan tangan gemetar kuberanikan diri membuka pesan dari layar pemberitahuan.

[Mas, sakit apa? Tadi aku ke kantor katanya Mas enggak masuk karena sakit.] 

[Aku jadi kepikiran.]

[Padahal tadi Pak Tantowi mengundang kita diner besok malam. Semoga Mas lekas sembuh.]

Itu bunyi pesan dari Nura.

Kuletakkan kembali ponsel ditempatnya. Ada yang menggelegak di dada , tapi ... aku tidak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya. Dibalas atau tidak, aku tidak ingin mengintip untuk tahu. Aku merasa hakku telah selesai kali ini.

Namun, harapan untuk segera angkat kaki masih belum terealisasi. Ketika Mama menginap beberapa hari di rumah, saat kukabari Mas Ilham sakit. Typus-nya kambuh kata doker langganan kami, meski tidak separah beberapa bulan yang lalu.

"Syifa sudah tidur?" tanya Mas Ilham saat aku masuk kamar. Beberapa hari ini kami tidur satu kamar lagi, karena ada Mama.

Aku mengangguk.

"Besok Mas masuk kerja. Ada meeting penting yang harus Mas hadiri."

"Ya," jawabku singkat sambil berjalan menuju sisi ranjang yang lain. Merebahkan diri dengan posisi miring, kemudian menarik selimut.

Lengan itu memelukku dari belakang, hingga hembusan napasnya terasa hangat di tengkuk. 

Kuhentikan jemarinya yang berhasil membuka satu kancing piyama paling atas. Lima tahun bersamanya, membuatku hapal kebiasaan Mas Ilham saat ingin bercinta. Ini kali pertama aku menolaknya. Selama ini bagaimanapun rasa hati, aku tetap melayani.

Tatapan mata kami bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Embusan napasnya terasa menghangatkan wajahku.

Pada akhirnya kami mengarungi Nirwana yang hampir sebulan ini kami tinggalkan. Jiwa raga yang memelukku itu kudekap erat. Sosok yang kucintai setengah mati.

"Terima kasih," ucapnya dengan posisi tetap memelukku. 

🌺🌺🌺

Pagi itu Mama tampak berbinar, hanya melihat rambutku yang basah. Beliau menemaniku memasak di dapur. 

"Mama hari ini pulang, Vi. Ilham sudah sembuh."

"Ya, Ma. Nanti bawa lauk dari sini saja, Mama enggak usah masak sampai di rumah."

Mertuaku tersenyum.

"Nanti biar Ilham ngantar Mama sekalian berangkat ke kantor. Kasihan Dinar, Vi, tadi malam sudah menelepon tanya kapan Mama pulang. Anak itu malah enggak kerasan tinggal sama orang tuanya sendiri."

Rumah Mas Ahmad, kakak pertama suamiku, sebenarnya masih satu kampung dengan Mama. Hanya saja rumahnya berada di ujung sebelah barat, sedangkan rumah mertua di sebelah timur.

Suami istri itu sangat sibuk di pasar. Mereka memiliki tiga kios yang menjual sembako dan pernak-pernik untuk perlengkapan hajatan. Ada beberapa karyawan yang bekerja pada mereka.

Selesai masak aku memandikan Syifa, memakaikan seragam, dan mengajaknya ke ruang makan untuk sarapan bersama-sama.

Mas Ilham tampak berseri-seri saat duduk di meja makan. Dia telah berpakaian rapi dan tampak bersemangat pagi ini. Entah karena akan bertemu lagi dengan yang di sana atau karena kebutuhan biologisnya telah terpenuhi tadi malam.

"Kalau ada waktu, kalian pergilah liburan," saran Mama.

"Nanti pas Syifa liburan sekolah saja, Ma. Sekalian aku ngambil cuti."

Kami ceria pagi itu. Sebelum kembali hening saat aku sendirian di rumah setelah Mas Ilham berangkat ke kantor sambil mengantar Mama pulang dan mengantarkan Syifa ke sekolahnya.

Setelah membereskan dapur, aku membersihkan dua koper besar yang kusimpan di atas lemari. Saat mengemas kamar, kulihat obat Mas Ilham kelupaan tidak di bawa. Padahal ia masih harus minum obat agar benar-benar pulih.

Aku buru-buru mandi, inilah kesempatanku untuk datang ke kantornya dengan alasan mengantarkan obat. Mungkin bisa kutemukan sesuatu yang bisa memantapkan hati untuk membuat keputusan. 

Perjalanan yang kutempuh lumayan jauh, sekitar 30 km. Perusahaan properti tempatnya bekerja berada di pusat kota. Aku pernah beberapa kali diajak ke sana waktu ada acara di kantor.

Setelah memarkir motor, aku dipersilakan masuk oleh satpam yang berjaga. Kutemui resepsionis yang sudah tahu kalau aku istrinya Mas Ilham.

"Pak Ilhamnya masih ada di ruangannya, Bu. Sebentar lagi keluar meeting. Ibu langsung masuk saja." Ramah sekali wanita bernama Santi itu.

"Terima kasih, ya, Mbak."

Aku melangkah melewati lorong dan tersenyum pada beberapa karyawan yang menyapa ramah dari balik meja kerjanya.

Ruangan Mas Ilham berada di lantai dua, jadi aku naik tangga yang berada di ujung ruangan lantai satu.

Di pojok ada ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Ada nama Ilham Bagaskara, S.H yang melekat di pintunya.

Aku tercekat di depan pintu saat kudengar ada suara dua orang di dalam. Aku kenal suara itu. 

Next ....

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Cicih Sophiana
makin mantap aja mau pisah nih...
goodnovel comment avatar
Wida Herawati
sakitt bnget jd vi udah lah vi pergi aja drpda kmu gila klo lma2 bgini ga tega aq
goodnovel comment avatar
Andi Toputiri
masalah yg tak kunjung usai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status