Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat.
"Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar."
"Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?"
Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas."
"Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya."
Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi.
Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi kirinya, sungguh sesakit ini pun aku masih mencintainya. Cinta dan luka sama-sama berkuasa di dada sini.
Kami saling pandang sebelum kusandarkan kepalaku di dadanya. Merasakan detak jantung yang kuharap masih ada aku dalam getarnya.
Dalam hati aku menertawakan diri sendiri. Kebodohan apa yang aku miliki sekarang ini, sampai ke tahap begini masih juga merindu aroma raga yang telah tega membuatku seperti tak berharga.
Aku menarik diri. Namun, lengan kokoh itu menahannya.
Malam itu kami menikmati kebersamaan dalam peraduan yang bertahun ini menjadi saksi, bagaimana aku selalu melayani dia seperti raja.
Di saksikan pekat malam, kubaktikan diriku sekali lagi, mungkin ini untuk yang terakhir kali.
🌺🌺🌺
Pagi yang cerah. Aku masih seperti kegiatan biasanya. Sibuk di dapur dan menyiapkan Syifa untuk pergi ke sekolah.
Gadis kecilku makan sendiri berlaukkan telur mata sapi kesukaannya.
"Ini telur ayam, 'kan, Ma? Kenapa dibilang telur mata sapi?"
"Itu hanya istilah, Sayang."
"Kenapa enggak disebut telur mata ayam saja?"
"Baiklah, mulai sekarang kita menyebutnya telur mata ayam," jawabku sambil mencubit gemas pipinya. Syifa tertawa.
Kutuang nasi ke dalam piring saat kulihat Mas Ilham keluar dari kamar. Dia tidak memakai baju kerja. Tapi memakai kaos warna dark blue dan celana jeans warna hitam. Wajahnya sendu. Kugeser piring nasi ke hadapannya.
"Mas, enggak kerja?" tanyaku.
"Mas ngambil cuti," jawabnya sambil duduk setelah mencium pipi putri kami.
Aku tidak bertanya lagi. Kami sarapan dalam diam.
"Ayo, Syifa, nanti kita terlambat!" kataku saat Syifa tidak juga menghabiskan makannya.
"Disuapi Mama, ya?"
Syifa menggeleng. "Syifa sudah kenyang, Ma."
"Ya, sudah. Mari cuci tangan dulu dan berangkat sekolah."
"Biar Mas yang ngantar Syifa."
Mas Ilham menyudahi sarapannya, padahal masih ada separuh nasi yang masih ada di piring.
Setelah mereka berangkat, aku membereskan dapur, mengeluarkan cucian dari mesin pengering, dan menjemurnya.
Ketika aku masuk rumah, ponselku di atas kulkas bergetar. Ibu yang menelepon.
Aku melangkah ke dapur sambil menjawab panggilan, karena bersamaan dengan Mas Ilham masuk rumah.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"W*'alaikumsalam. Vi, nanti siang setelah ngantar pesanan, Pak Nardi mampir menjemputmu dan Syifa."
"I-iya, Bu, kutunggu. Jam segitu Syifa juga sudah pulang sekolah."
"Ya, sudah, Nduk. Ibu rekap pesanan dulu, ya. Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumsalam."
"Kamu benar-benar ingin pulang, Vi?" tanya Mas Ilham yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Iya. Pak Nardi akan menjemput kami siang nanti. Setelah ini kita akan bicarakan lagi masalah perceraian. Lebih baik menggunakan jasa pengacara saja, Mas. Sebab Mas juga sibuk, 'kan?"
Mas Ilham diam mematung dengan kedua tangannya dimasukkan dalam saku celana. Lantas membuang pandang ke luar jendela ruang makan.
Hening.
Aku melangkah cepat masuk ke kamar. Jangan menangis, jangan menangis, jangan menangis, Vi. Stop untuk meratapi semuanya.
🌺🌺🌺
Siang itu aku dan Syifa benar-benar pulang ke rumah Ibu. Tidak jadi bersama Pak Nardi, tapi di antar Mas Ilham.
"Barang-barangku yang lain akan kuambil lain hari, Mas," ucapku di perjalanan. Mas Ilham diam seribu bahasa.
Ibu menyambut kami dengan wajah semringah. Beliau berusaha menyembunyikan kepedihan melihat keadaan rumah tangga kami.
Wanita berjilbab ungu itu memeluk Syifa, lantas memeluk dan menciumi pipiku dengan mata berkaca-kaca. Beliau juga memeluk menantu yang menangis di bahunya. Untungnya Syifa tidak menyaksikan bagaimana kekacauan keadaan ini, karena dia langsung berlari menuju toko kue. Syifa paling suka melihat karyawan ibu mengadon kue dengan mixer.
Sejenak kami terjebak hening yang amat dalam.
"Maafkan saya, Bu. Belum bisa membahagiakan Vi dan Syifa. Saya malah menyakitinya," ucap Mas Ilham sambil memandang sendu pada Ibu.
"Kedatangan saya ke sini bukan untuk mengembalikan Vi. Kami hanya butuh waktu untuk berbenah diri, terutama saya. Sedangkan Vi butuh waktu untuk bisa memaafkan saya."
Ibu mengangguk sambil menyeka air mata. "Tidak ada rumah tangga tanpa badai, Nak Ilham. Carilah jalan keluar biar badai itu berlalu. Jika pada akhirnya anak Ibu memang bukan pilihan yang tepat untuk, Nak Ilham. Kembalikan dia pada Ibu secara baik-baik, sebagaimana dulu Nak Ilham memintanya secara baik-baik."
Mas Ilham menarik napas dalam-dalam. Dia pun sibuk menata hatinya.
Kami berbincang dari hati ke hati. Mas Ilham mengakui kesalahan di hadapan Ibu, karena membiarkan masa lalunya kembali dan pada akhirnya mengabaikanku dan anaknya sendiri.
Permohonan maaf diminta berkali-kali. Dengan senyum tulus, Ibu berusaha menenangkan dan menasehati.
Beberapa saat setelah kami makan bersama, Mas Ilham pamit. Dia memeluk Syifa dan menciumi pipinya.
"Papa akan sering datang ke sini. Syifa jangan nakal, ya. Nurut sama Mama dan Nenek. Papa akan menjemput Mama dan Syifa suatu hari nanti," kata Mas Ilham sambil memangku putri kami.
Gadis kecilku mengangguk. Setelah itu Syifa turun dari pangkuannya dan kembali berlari ke luar.
"Saya titip Vi dan Syifa, Bu."
Ibu mengangguk sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pundak menantu satu-satunya.
Mas Ilham pamitan, kucium tangannya sebagai tanda perpisahan.
Priaku melangkah gontai menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Siapa yang lebih hancur? Kami sama-sama hancur kali ini.
Ibu memanggil Tarjo. Laki-laki umur dua puluhan yang menjadi karyawan toko rotinya.
"Jo, ikuti Mas Ilham, ya. Jangan sampai terjadi apa-apa di jalan," titah Ibu.
"Njih, Bu."
Laki-laki berkulit gelap itu segera menuju motor yang terparkir di belakang toko kue. Lantas mengikuti mobil yang bergerak perlahan meninggalkan halaman.
Meskipun Ibu tahu tentang awal mula permasalahan ini, tapi beliau tetap menjadi sosok Ibu yang penuh perhatian. Padahal putrinya telah tersakiti.
Aku masuk kamar dan menjatuhkan diri di sana. Ibu mengusap punggungku penuh cinta. "Sabar, Nduk. Kamu pasti kuat. Contohlah Ibumu ini, tetap tangguh hingga kini. Ibu kuat demi kamu dan kamu harus kuat demi Syifa."
Next
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga