BAB 155 PENYESALAN ELANG“Zahra! kau mau ke mana, Nak?!” baskoro berteriak memanggil menantunya yang sedang berlari sembari menangis. Namun sang menantu tak mengindahkan panggilan dari papah mertuanya. Dia terus berlari membawa hatinya yang lara.“Ada apa lagi sih!” Baskoro meletakkan sendok di piring. Selera makannya rusak gara-gara melihat drama pagi ini.“Lebih baik papah kejar Zahra. Biar mamah yang menemui Elang.” Ujar Widya dengan cemas. Dia pun mengurungkan niatnya untuk menikmati hidangan pagi yang sudah tersaji di meja makan.“Baiklah!” Baskoro melangkah dengan cepat menuju pintu keluar.Tepat pada saat itu Zahra terlihat masuk ke dalam mobil miliknya dan siap untuk mengemudikan kendaraan. Biasanya dia pergi dengan jasa sopir pribadi. Kini sang sopir hanya berdiri dan menatapnya penuh tanda tanya.“Anto! Jangan biarkan Zahra pergi! Aku ingin bicara dengannya sebentar!” teriak Baskoro sembari memegangi dadanya yang terasa agak sesak. Terpaksa berhenti sejenak supaya napasnya t
Sementara Widya dan Baskoro saling pandang. Keduanya penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka berdua tak menemukan jawaban karena Elang dan Zahra sama-sama bungkam. Tak ada satupun yang mau bercerita.“Aku tahu aku salah. Hukumlah aku, tapi jangan pernah pergi dariku. Aku mohon!” Wajah Elang terlihat memelas. Dia mencoba menyentuh tangan istrinya.Namun Zahra menepisnya dengan kasar.“Menjauhlah! Aku tunggu kau mengumpulkan bukti-bukti dan kita akan bertemu di pengadilan!”“Sayang. Tolong cabut kata-katamu. Aku tak mau berpisah darimu. Kau tahu’kan aku tak mungkin mampu mengumpulkan bukti itu!” Elang menatap wajah sang istri yang menyimpan beribu kekesalan. Tatapan matanya tampak tidak bersahabat.“Kalau begitu, beralih pada pilihan kedua, yaitu aku yang akan menceraikanmu!” Zahra menatap lurus ke depan. Dia mencoba menegarkan hati yang telihat rapuh saat sang suami sudah menyesali perbuatannya.Namun saat kembali terlntas bagaimana tuduhan keji itu ditujaukan kepadanya, kembali memb
Elang mengulurkan tangan dan membuka pintu mobil dari dalam. Kemudian memaksa sang istri keluar dan membawanya duduk di samping kemudi. Pria itu tak peduli dengan istrinya yang terus mengomel. Dengan sigap, dia mengambil alih kemudi dan mobilpun melaju dengan cepat.Sepanjang perjalanan tak ada sepatah katapun terucap. Hanya isak tangis sang istri yang terdengar.Semenara, Zahra tak mau menatap wajah suaminya. Hatinya masih teramat sakit.Sesekali Elang melirik ke arah istri tercinta. Sebenarnya ingin sekali merengkuh tubuh sang istri. Namun Dia tak berani melakukannya. Hanya bisa menarik napas dengan berat dan menyesali kebodohannya.“Kita ke rumah sakit’kan?” tanya Elang memecah kesunyian.“Tidak! berhentilah di sini dan kau turun saja!” jawab Zahra dengan ketus.“Bukankah kau harus bekerja?” tanya Elang dengan seirus.“Bagaimana aku bisa bekerja dengan keadaan seperti ini!”“Oke. Lalu kau mau kemana?”“Aku bilang stop di sini! aku akan pulang ke rumah ayah!”Elang terkejut mendenga
“Bu. Tolong turuti perintahku dan bawa Zahra masuk!”“Baiklah. Ayo, Nak. Kita masuk!”Zahra menurut saat sang bunda membawanya masuk ke dalam rumah.“Ada apa sebenarnya?” tanya Mustafa setelah menyuruh besan dan menantunya duduk di bangku yang berada di teras.“Sebenarnya ....”“Biar papah saja yang bicara, Lang!’ Baskoro memutus pembicaraan putranya. Dia tak ingin ada kesalahpahamna jika putranya yang menyampaikan kepada Mustafa.“Baiklah, Pah!”Baskoro mulai menceritakan dengan detail setiap kejadian dengan jelas. Tak ada satupun yang terlewat. Mulai dari keadaan Budi setelah kecelakaan dan rasa bersalah Zahra hingga ingin merawat Budi hingga kecemburuan Elang yang berakibat tuduhan yang tak beralasan.Mustafa mengerutkan kening setelah mendengar semuanya. Pantas saja putrinya pulang dalam keadaan menangis. Jelas saja hatinya pasti terluka.“Bagaimana menurut kamu, Mus?” tanya Baskoro kepada besannya yang terlihat terdiam dengan tatapan mata yang tidak fokus.“Entahlah. Aku sendiri
Mustafa masuk ke dalam rumah sembari menutup pintu dengan kasar. Amarahnya benar-benar memuncak. Pria sabar itu tak pernah semarah ini. Namun ketika mendengar putri satu-satunya yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang disakiti oleh menantunya, dia tak bisa menahan amarahnya.“Sabar, Yah!” istri tercinta mengusap-usap dada sang suami untuk meredakan amarahnya.“Bagaimana aku bisa sabar. Seenaknya saja Elang memukul putri kita. Kita saja yang membesarkannya tak pernah sedikitpun melayangkan tangan kepadanya. Dia baru saja ngasih makan anak kita, sudah berani memukulnya!” Mustafa merasa geram.“Yah. Kenapa ayah tadi memukul Elang? Kasihan dia!” tanya Zahra dengan cemas.“Kasihan kamu bilang? Jangan bodoh kamu. Itu balasan yang setimpal karena sudah berani memukulmu!”“Tapi Elang melakukannya karena sedang mabuk. Kalau dia tidak mabuk, tidak mungkin dia memukulku. Itu juga karena aku melakukan sesuatu yang tidak dia suka. Dan selama pernikahan Elang selalu memperlakukan aku dengan baik
Elang tak meninggalkan rumah Zahra. Dia masih berada di dalam mobil dan menunggu sang istri keluar rumah. Dia yakin belahan jiwanya sangat profesional dalam pekerjaan. Untuk hari ini pasti akan tetap bekerja.“Nak. Bagaimana kalau kita pulang saja? Bukankah kau juga harus berangkat ke kantor?” tanya Baskoro kepada putranya.“Tidak, Pah! Aku sudah menyerahkan urusan kantor untuk beberapa hari ke depan kepada orang kepercayaanku. Aku tak bisa konsentrasi dalam bekerja jika permasalahan rumah tanggaku belum selesai.”“Lalu apa rencanamu? Penyelesaian seperti apa yang kau inginkan?”“Yang jelas aku tak ingin berpisah. Aku akan mempertahankan keutuhan rumah tanggaku apapun yang terjadi.”“Baguslah. Tapi ingat, jangan lagi menggunakan cara yang membuat istrimu makin menjauh darimu. Kau mengerti?” Baskoro menepuk-nepuk pundak putranya.“Aku mengerti.” Elang menganggukkan kepala.“Ya sudah. Papah pulang dulu, ya. Biar papah naik taxi saja. Kau saja yang bawa mobilnya.”“Iya, Pah. Hati-hati!”
“Astaghfirulloh hal’adzim!”Zahra menarik napas dan mencoba untuk bersabar. Dia sangat sadar jika mantan kekasihnya itu sedang dalam kondisi tertekan.“Mas Budi. Maaf, aku hanya ....”“Pokoknya aku tidak mau di operasi. Biarkan aku mati yang penting aku tidak kehilangan semua memoryku! Dan kau harus menghargai keputusanku!”“Astaghfirulloh hal’adzim. Keputusanmu makin memberatkan langkahku,” ucap Zahra dengan lirih sembari memijat pelipisnya. Tentu saja hal ini makin sulit untuk meninggalkan budi.“Kau bilang apa?!” tanya Budi yang tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Zahra.“Tidak! baiklah. Aku hargai keputusanmu. Sekarang, aku harus bekerja. Nanti aku datang ke sini lagi. Jangan lupa minum obat dan makan yang banyak supaya cepat pulih.” Zahra menepuk-nepuk lengan Budi sembari tersenyum. Lalu meninggalkan Budi dalam kesendirian.Sementara Budi hanya bisa menangis. Dia merasa sendiri dalam menghadapi cobaan ini. Budi sangat tahu resiko yang akan dia alami kalau tidak diop
“Kau pasti tahu kalau suami Mbak tidak suka Mbak terlalu dekat dengan Mas Budi. Bahkan hubungan kami juga sedang renggang karena peristiwa semalam. Dengan keadaan Mas Mu yang tidak mau operasi akan semakin menyulitkanku. Mbak seperti berada di tengah jurang yang membuatku sama beratnya. Jika memiilih salah satu, tetap saja Mbak akan terjatuh. Dan hal itu sangat menyulitkanku.” Zahra menangkup wajahnya. Dia tak mengerti harus bagaimana menghadapi dua pria yang berarti dalam hidupnya.“Maafkan Lia, Mbak. Seandainya Lia bisa menghadapi seorang diri, mungkin Mbak Zahra tak akan bermasalah dengan suami Mbak.”“Ini bukan salahmu, Lia. Tapi memang Mbak sendiri yang mau merawat Mas mu. Biar masalah rumah tangga Mbak itu jadi urusan Mbak. Sekarang kita fokus saja kepada kesehatan Mas mu!”“Terima kasih, Mbak. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi jika tidak ada Mbak.” Lia memeluk Zahra dan mencurahkan kesedihan padanya.“Sama-sama Lia. Coba nanti Mbak konsultasi dulu dengan dr. Ferry. Beliau sa