Bertahun-tahun Lorenzo memperlakukan Amoora tak lebih dari babu, perempuan bodoh yang selalu tunduk tanpa pernah bertanya. Tapi segalanya berubah ketika satu rahasia busuk Lorenzo terbongkar. Amoora kembali, bukan sebagai istri yang dulu ia kenal, melainkan sosok yang siap menghancurkan segalanya. Bukan hanya Lorenzo, tapi juga wanita simpanannya. Bahkan keluarga yang dulu membanggakan nama Lorenzo ikut terseret dalam kehancuran yang tak bersisa. Saat perempuan yang diremehkan bangkit, siapa yang sebenarnya harus takut? Dan di detik terakhir kejatuhannya, mungkinkah Lorenzo akhirnya sadar bahwa ia sedang berperang dengan perempuan yang pernah mencintainya sepenuh hati?
View More"Telan makanan itu! Cepat, telan!"
Dengan mata melotot penuh amarah, seorang wanita paruh baya mencengkeram dagu menantunya, memaksa mulut itu terbuka. Tangannya yang lain menyumpalkan makanan basi ke dalam mulut perempuan muda yang terduduk lemas di lantai. "Uhuk! Uhuk! Makanan ini... sudah basi, Bu..." Amora tersedak, air matanya meleleh deras, membasahi pipi pucatnya. "Memangnya kenapa kalau basi?" desis ibu mertua itu tajam. "Masih makanan, kan? Apa kamu pikir pantas dapat hidangan mewah di rumah ini?!" Amora menggeleng lemah. "Tapi... ini sudah beracun, Bu. Mau Ibu racuni aku?" Senyum sinis melengkung di bibir wanita tua berambut konde itu. "Racun? Huh! Kamu itu gembel! Dasar perempuan tak berguna!" tangannya melayang, menoyor kepala Amora dengan kasar. "Kamu harus tahu diri! Hidupmu saja sudah untung bisa numpang di rumah anakku!" "Aku menantu Ibu," lirih Amora, mencoba bertahan dengan sisa harga dirinya. "Menantu? Pantas? Dari mana? Anak siapa kamu?! Asal-usulmu saja nggak jelas! Pantas saja hidup anakku malah jatuh miskin setelah nikah sama kamu!" dengusnya penuh jijik. "Pemilik toko meubel seharusnya dapat perempuan terhormat, bukan sampah sepertimu!" Tiba-tiba, rambut Amora ditarik paksa. Tubuhnya terhuyung, tapi ia tak melawan. Ia menahan semuanya. Luka batin, sakit fisik, dan harga diri yang diinjak-injak, semua ia telan demi janji suci kepada lelaki yang amat dicintainya. "Apapun yang terjadi, jangan pernah melawan, ya Sayang. Kalau kamu melawan, Ibu pasti makin jadi. Aku nggak tega lihat kamu disakiti, tapi percayalah... aku akan selalu setia sama kamu. Kumohon, demi aku, bersabarlah." "Aku janji, Mas. Asal Mas tetap setia sama aku, aku akan taat. Aku nggak akan pernah melawan Ibu." Cinta membuatnya rela menjadi tahanan di rumah sendiri. Bahkan kakak iparnya pun ikut menghina dan menyiksanya. Tapi Amora tetap diam, tetap pasrah demi Enzo, suaminya, lelaki yang telah membuatnya mencintai hingga separuh nyawa. "Hei! Jangan malah melamun!" Bentakan nyaring sang ibu mertua membuyarkan lamunannya. "Cepat habiskan makanan itu!" Dengan tangan gemetar, Amora menyendokkan makanan basi itu, memaksakan masuk ke mulutnya yang sudah penuh air mata. Suara tawa meledak dari bibir sang ibu mertua. Gelak puas yang terdengar lebih mengerikan dari teriakan apapun. "Habiskan! Satu butir nasi pun jangan sampai tersisa! Aku mau lihat kamu melata seperti anjing kampung!" Amora menangis tanpa suara, tanpa perlawanan. Yang ada hanya luka, perih, dan kepedihan yang membungkam. Namun tubuhnya tak mampu lagi bertahan. Dengan napas tersengal, ia bangkit, berlari sempoyongan menuju kamar mandi. "Hoek!" Semua makanan itu keluar bersama kepahitan yang telah ia telan sejak lama. Belum sempat menenangkan diri, terdengar lagi suara langkah keras mendekat. Sang ibu mertua mendobrak masuk. "Kurang ajar! Sudah dikasih makan malah dimuntahin! Dasar perempuan tak tahu diuntung!" Dorongan keras mendarat di punggung Amora. Tubuh lemah itu terjungkal, kepalanya menghantam bak air. Bukkk! Seketika dunia terasa berputar. Suara, warna, semuanya berbaur menjadi gelap... *** "Amora... Sayang... kamu dengar suara Mas, kan?" Suara lembut namun cemas menyelinap masuk di antara kegelapan. Samar-samar, Amora membuka mata. Wajah Enzo, suaminya, tampak buram di pandangan matanya. "Kamu kenapa bisa jatuh di kamar mandi, Sayang?" lirih Enzo, menatap Amora penuh tanya sekaligus khawatir. Jemarinya menyapu lembut rambut istrinya yang kusut berantakan. "A-aku..." Amora tercekat. Tenggorokannya terasa pahit. Dan untuk pertama kalinya ada kilatan keraguan dalam matanya. "Istrimu memang bebal, Enzo! Sudah Ibu bilang, jangan bersihkan kamar mandi pembantu. Tapi tetap saja dia ngeyel! Dasar perempuan keras kepala, lihat sendiri akibatnya sekarang! Malah bikin repot semua orang!" serapah Bu Ratna, penuh nada menyalahkan. Amora ingin membela diri. Ingin berteriak bahwa semua ini bukan salahnya. Tapi lidahnya kelu. Bahkan untuk sekedar bernafas saja terasa berat. Perutnya melilit, seluruh tubuhnya gemetar tak berdaya. Sedari pagi bahkan sedari kemarin ia tak diberi makan layak. Hanya nasi basi siang tadi yang dipaksa masuk ke kerongkongannya. Jika ia tak salah ingat, matahari kini hampir tenggelam, hampir maghrib waktunya berbuka puasa, walau ia tak berniat puasa, tetapi hidupnya dipaksa menahan lapar setiap hari. “La-par…” lirihnya nyaris tak terdengar. Enzo yang sedari tadi menatapnya penuh kekhawatiran segera membungkuk. “Lapar? Kamu lapar, Sayang?” Matanya yang biasanya penuh kepercayaan diri kini tampak rapuh. Amora mengangguk lemah. “Bu… tolong ambilkan Amora makan. Kasihan dia,” pinta Enzo tanpa sadar sedikit meninggikan suara, mulai muak dengan sikap ibunya. Bu Ratna mendengus. “Iya, iya! Bentar!” Dengan langkah berat penuh rasa malas, wanita itu berjalan menuju dapur. Tak lupa ia mengomel sendiri. “Dasar perempuan pembawa sial! Hidup di rumah orang kok repotnya minta ampun!” Ia mengambil nasi putih dingin dalam magic jar yang hampir kosong. Dua potong tempe goreng yang sudah layu ia letakkan asal-asalan di atas piring. Segelas air putih ia siapkan tanpa niat tulus sedikit pun. “Ini nasinya,” katanya sinis, kembali ke kamar. Enzo menatap piring itu. Hanya nasi dan tempe. “Lho, kok cuma tempe doang, Bu? Lauk yang lain?” “Ya adanya cuma itu. Lauk yang lain udah dimakan kakakmu. Mau protes? Mau masak sendiri?!” Enzo hanya terdiam. Tak ada gunanya berdebat. Ia memilih mendekati istrinya lagi. “Nggak apa-apa, ya Sayang. Makan seadanya dulu. Aku tahu kamu nggak keberatan, kan?” Amora ingin tertawa getir. Ingin berteriak, ‘AKU MUAK MAKAN TEMPE!’ Tapi apa gunanya? Enzo akan merasa bersalah, dan ia tak sanggup melihat itu. Lagi-lagi, Amora mengorbankan perasaannya demi menjaga harga diri suami yang bahkan tak mampu melindunginya. “Iya, Mas,” jawabnya dengan senyum palsu yang hampir tak mampu ia lukiskan. Amora dulu perempuan yang cantik. Kulit putihnya bersih, rambutnya hitam lebat, alisnya tebal alami. Tubuhnya proporsional, ideal. Tapi lihatlah dia sekarang... tubuh tinggal tulang berbalut kulit kusam. Pipi tirus, mata cekung. Amora perlahan berubah menjadi bayangan dirinya sendiri. “Bu, istirahat aja. Biar aku yang temani Amora makan,” ucap Enzo lagi, mencoba bersikap baik. “Huh! Dasar anak bodoh! Terserah kalianlah! Ibu mau tidur, jangan ganggu!” sahut Bu Ratna ketus, berbalik menuju kamarnya. “Istirahat yang cukup, Bu!” balas Enzo, memaksakan senyum. Begitu pintu kamar tertutup, Enzo kembali menatap istrinya dengan mata sendu. “Maafin Ibu, ya Sayang. Aku tahu... semua ini gara-gara dia.” Amora memalingkan wajah. Bukan karena marah, tapi karena lelah. Hati dan tubuhnya sudah habis. “Sayang... jangan nyerah, ya! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Bertahanlah sedikit lagi. Percayalah, suatu saat Ibu akan luluh melihat kesabaranmu.” “Berapa lama lagi, Mas?” lirih Amora, matanya berkaca-kaca. “Aku capek. Aku... aku nggak kuat lagi. Ibu nggak pernah akan luluh, Mas. Yang ada, aku mati di rumah ini!” Enzo menggenggam tangannya erat. “Sabar, Sayang! Sabar sedikit lagi!” Amora menggeleng pelan, tangisnya hampir pecah. “Aku nggak butuh sabar lagi, Mas. Aku butuh hidup! Aku butuh harga diriku kembali! Aku butuh kamu... untuk benar-benar ada di pihakku, bukan cuma berdiri di antara aku dan Ibu!” Enzo terdiam. Ada luka yang dalam di matanya. Tapi tetap saja... ia terlalu lemah. “Aku mau kita pindah, Mas. Rumah kontrakan kecil pun nggak apa-apa. Aku rela. Asal kita lepas dari neraka ini.” “Maaf... uang Mas belum cukup buat kontrak rumah. Semua uang keuntungan bulan ini sudah Mas kasih ke Ibu... buat bayar cicilan toko.” Amora menatap suaminya dengan luka yang tak bisa ia ucapkan. “Mas... aku nggak kuat lagi...” “Jangan marah... jangan kecewa sama aku, Amora. Aku nggak bisa kalau kamu benci aku...” Air mata Amora jatuh tanpa suara. Di satu sisi, ia ingin marah. Tapi Enzo... adalah satu-satunya alasan ia masih bernafas sampai detik ini. “Aku nggak marah, Mas...” Amora berbohong, seperti biasanya. Demi Enzo. Demi cinta yang entah masih berharga atau sudah berubah jadi racun perlahan membunuhnya. "Mas... aku mau tidur sebentar, ya. Badanku rasanya remuk." "Tentu, Sayang. Istirahatlah," jawab Enzo, tersenyum lembut, seolah-olah pria paling penyayang di dunia. Amora perlahan memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam lelah yang menumpuk. Enzo pun ikut merebahkan diri di sampingnya, memeluknya dari belakang dengan tangan hangat yang terasa seperti belenggu. Tak sampai setengah jam, dering ponsel memecah keheningan kamar. Enzo sontak terbangun. Dengan gerakan cepat, dia meraih ponsel di atas nakas, matanya sekilas melirik Amora yang masih membelakangi dirinya. "Amora?" panggilnya pelan, pura-pura memastikan. Ditepuk-tepuknya pelan bahu sang istri. Tak ada respons. "Bagus," bisiknya puas. Dengan cekatan, Enzo mengangkat panggilan. "Halo, Sayang? Uangnya udah habis? Yaudah... nanti Mas transfer, lima juta cukup? Beli lingerie yang paling seksi, ya. Besok Mas kangen banget sama kamu." DEG! Amora yang sejak tadi hanya memejamkan mata pura-pura tidur, mendengar setiap kata dengan jelas. Setiap ucapan Enzo menampar telinganya seperti cambuk. Tubuhnya membeku, tapi jemari kurusnya mulai mencengkram selimut erat-erat, nyaris robek. ‘Sayang? Lima juta? Lingerie? Untuk siapa, Mas?’Enzo memasuki rumahnya seperti badai, matanya merah padam, dan napasnya memburu. "LIVY!! DI MANA KAMU!?" Suara Firman menggelegar di seluruh penjuru rumah, memecah keheningan sore itu dengan amarah membara. Wajahnya merah padam, urat lehernya menegang, dan matanya memancarkan api kemarahan. Di belakangnya, Vivi, istri mudanya, berjalan tergesa-gesa dengan senyum tipis penuh kepuasan. "Mas, sabar, Mas… Jangan marah-marah begini." Suaranya terdengar begitu lembut, namun ada nada licik di baliknya. "Nanti tetangga dengar, Mas. Aku tidak mau kita jadi bahan pembicaraan.""Aku tidak peduli apa kata tetangga!" Enzo membentak tanpa menoleh. "Yang aku pedulikan adalah kamu tidak sabar seperti yang aku rasakan sekarang. Aku harus menemukan perempuan itu dan memberinya pelajaran!""LIVY!!" teriak Enzo lagi.Livy, yang sedang bersantai di kamarnya, segera bangkit. "Ada apa, Mas? Kenapa kamu teriak-teriak gitu? Apa ada masalah?" tanyanya sambil berdiri di hadapan Enzo. Wajahnya dipenuhi kebingu
Tok! Tok! Tok!Palu hakim diketuk tiga kali, mengakhiri pernikahan Amora dan Enzo. Enzo, dengan angkuh, menjatuhkan talaknya lagi. Aiden, yang duduk di belakang, menyaksikan semua itu tanpa disadari Enzo. Namun, perpisahan ini bukan akhir, karena Enzo kembali bersuara, ingin menunjukkan dominasinya. "Maaf, Yang Mulia! Sidang belum bisa dianggap selesai. Seharusnya, kita juga harus membahas soal harta gono-gini."Amora menatap lelah mantan suaminya. Ia muak dengan drama Enzo yang tak berkesudahan, yang kini menuntut harta gono-gini. Livy, iparnya, ikut campur dengan berteriak penuh tuduhan, menunjuk Amora dengan jari telunjuknya."Betul, Yang Mulia! Amora sudah mengambil banyak uang dari suami saya selama ini. Uang-uang itu bahkan sudah dia belikan mobil dan rumah mewah. Kami ingin semuanya dibagi dua!"Amora memutar matanya, merasa muak namun memilih untuk tenang menghadapi Livy yang iri dan penuh tuduhan. Ia yakin kebenaran akan terungkap. Setelah sidang ditutup, saat Amora hendak p
Ruang sidang pengadilan terasa menyesakkan karena ketegangan yang menggantung pekat. Di antara deretan bangku kayu yang usang dan kerumunan orang yang berlalu-lalang, berdirilah sekelompok manusia yang menjadi pusat perhatian. Suara Bu Ratna, ibu mertua Amora yang kini nyaris menjadi mantan, memecah kesunyian dengan nada yang melengking dan penuh amarah."Hei, kamu! Dasar perempuan gatal, ya! Tidak tahu malu! Bisa-bisanya kamu masih berani menggoda anak saya, bahkan di tempat suci seperti ini?" Bu Ratna menuding Amora dengan tangan gemetar, wajahnya merah padam karena amarah yang memuncak. Sejak tadi, Bu Ratna terus menyudutkan Amora dengan kata-kata kasar. Amora terkejut dan matanya melebar, tak percaya dengan tuduhan tak masuk akal itu. Setelah bertahun-tahun menahan diri, kesabarannya habis. Sebuah senyum sinis dan muak tersungging di bibirnya."Saya? Menggoda anak Ibu?" Amora memekik, suaranya naik satu oktaf, namun tetap terdengar tenang dan terkontrol. "Apa mata Ibu sudah buta?
Suara gemericik air dari akuarium besar di hadapan mereka menjadi satu-satunya melodi di tengah keheningan yang canggung. Jericho, seorang pria dengan aura wibawa yang tak terbantahkan, memecah keheningan itu. "Bagaimana grand opening tokomu hari ini" tanya Amora, suaranya tenang, namun di matanya tersirat rasa ingin tahu yang dalam. Jericho menoleh sejenak, menatap Amora yang duduk di seberangnya, sebelum kembali fokus pada dunia bawah air yang damai itu."Sukses," jawab Jericho singkat, namun senyumnya yang merekah jauh lebih ekspresif daripada kata-kata. "Semua berjalan sesuai dengan yang saya mau." Ada kilatan bangga di matanya, sebuah cahaya yang sudah lama meredup selama masa-masa sulitnya. Ia tidak lagi merasa seperti korban, melainkan seorang pemenang."Terima kasih," ucap Amora dengan menatap Jericho dengan tulus. "Terima kasih karena sudah membantu saya. Anda memang hebat."Jericho, yang biasanya menjaga sikap dingin dan profesional, tampak sedikit terusik. Bibirnya menceb
Hembusan angin sore tak mampu menyejukkan hati Enzo. Ia berdiri di depan kantor mewah, menatap kosong ke pintu putar. Besok, palu pengadilan akan meresmikan perpisahannya dengan Amora. Ikrar talak tiga yang dulu diucapkannya mudah, kini terasa seperti bom waktu yang menghancurkan hidupnya. Enzo menyesali keputusannya yang bodoh. Ia tahu ia harus kembali, menghentikan perpisahan ini. Enzo melangkah masuk, menelan ludahnya. Ia merasa semua mata tertuju padanya, seorang pria yang jatuh, memohon-mohon pada istrinya."Amora!" Suara Enzo yang serak memecah keheningan lobi, menarik perhatian para karyawan. Ia berjalan mendekati meja Amora. Amora mendongak, hatinya mencelos melihat Enzo di depannya. Dengan wajah kusut dan mata memohon, pria itu kembali lagi. Amora menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya, dan berpura-pura tidak mengenalinya."Kamu lagi, Mas?" Amora menaruh dokumennya dengan suara keras. "Apa nggak bosan datang ke sini terus? Ini kantor, Mas, bukan tempat kamu bikin dr
Pintu rumah Enzo berderit dan bergetar hebat di bawah gedoran yang tak kenal lelah. Suara gedoran itu memecah keheningan pagi yang tadinya damai, menciptakan nada alarm yang mencekam. Di dalam, suasana tegang menyelimuti ruang tamu yang sederhana. "Mas, siapa mereka? Kenapa mereka berteriak-teriak di depan rumah kita?" tanya Livy, suaranya dipenuhi kecemasan saat ia menarik-narik lengan kemeja Enzo. Wajahnya pucat pasi, matanya membesar karena ketakutan. Enzo sendiri, yang biasanya tegar, terlihat gelisah. Enzo menutupi mulut Livy dengan tangan kirinya, berbisik pelan, "Sstt! Diam, Livy!" Ia mencoba menenangkan istrinya, tetapi napasnya sendiri memburu, menunjukkan betapa cemasnya ia."Mereka siapa, Zo? Bukan rentenir, kan?" Dengan suara bergetar, Bu Ratna bertanya pada Enzo. Belum sempat Enzo menjawab, pintu rumah mereka didobrak paksa hingga terbuka.Brak! Suara yang memekakkan telinga membuat semua orang terlonjak kaget. Di balik pintu, beberapa pria berbadan besar, anak buah da
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments