Seorang gadis yang sedang berjuang melawan ujian hidupnya terutama konflik keluarganya yang semakin hari, semakin memanas, serta konflik tentang asmaranya. Mampukah dia bisa menyelesaikan masalah hidupnya seorang diri? ataukah ada seseorang yang dengan setia terus menemaninya? penasaran? yuk segera dibaca. Saya jamin ceritanya nggak melulu tentang kesedihan, ada kebahagiaan yang tersembunyi, ada sebuah pengorbanan yang begitu tulus, dan juga ada seseorang yang ternyata mencintainya diam-diam.
Lihat lebih banyakSuara bentakan nyaring memecah kesunyian pagi, menggema dari dalam dapur, yang berada di ujung rumah. Seorang wanita paruh baya dengan wajah penuh amarah sedang berdiri di depan kran air. Kedua tangannya mengepal, matanya menatap tajam orang yang ada di hadapannya.
"Bisa nggak sih? Kalau buka kran air, itu jangan bolak-balik terus?! Ini keran air punyaku, aku yang bayar! Jadi, jangan terlalu boros!" katanya dengan suara yang menggelegar, membuat suasana pagi yang tadinya tenang, seketika berubah menjadi tegang. Di depannya, seorang wanita yang jauh lebih muda, dengan apron yang masih basah karena baru saja mencuci sayuran. Wanita itu membalas dengan nada datar. Namun, terdengar jelas kalau nada yang dikeluarkan oleh kakak iparnya sangat melukai hatinya. "Aku cuma cuci sayuran, mba! Bukan buang-buang air! Kamu juga sering mandi di kamar mandi itu, tapi aku nggak pernah mempermasalahkannya! Sekarang aku pakai air dari kran ini, kamu malah marah?" Wanita yang menjadi kakak iparnya, atau Tante dari anaknya. Ia sedang mengerutkan kening, matanya menyipit tajam menatap adik iparnya yang sudah berani melawannya. Kedua tangannya yang awalnya mengepal, kini disilangkan di depan dada. Dagunya sedikit terangkat, wajahnya menunjukkan amarah dan arogan yang sengaja ia tunjukkan. "Oh, jadi kamu mulai ungkit-ungkit soal kamar mandi itu?" katanya senyumannya menyeringai, menatap nyalang adik iparnya. "Dengar baik-baik, wahai adik ipar! Ini rumah milik orang tuaku! Aku sudah tinggal di sini dari kecil! Wajar saja kalau aku gunakan kamar mandi itu! Seharusnya kamu yang tahu diri! Kamu cuma numpang, cuma beban di keluarga ini!" bentaknya sambil sedikit berteriak. Dengan kesadaran penuh, dan emosi yang begitu memuncak, ia pun mendorong tubuh adik iparnya ke belakang. Tubuh Fatim terhuyung mundur, hampir saja terjatuh. Namun beruntungnya, ada seorang gadis remaja dengan rambut panjang yang tergerai, gadis itu segera melangkah cepat dan menangkap tubuh ibunya. Nafas gadis itu memburu saat melihat sang ibu diperlakukan semena-mena oleh Tantenya sendiri. "Ibu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir. Suaranya sedikit gemetar, bukan cuma cemas, tetapi ada kemarahan yang begitu membara di dalam hatinya. Fatim, wanita yang menjadi ibunya, kini menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan dirinya sendiri dan menyakinkan sang anak, kalau dirinya baik-baik saja. "Ibu nggak apa-apa kok, Nak," jawabnya lirih, sambil berusaha menyembunyikan rasa ketakutannya. Zahra, gadis itu kini berdiri tegak menatap Tantenya dengan tatapan tajam. Wajahnya berubah menjadi tegang, sorot matanya begitu dingin dan menusuk. Ia berusaha untuk menahan gejolak amarahnya yang bisa saja meledak. "Ada masalah apa Tante sama ibu? Sampai-sampai Tante dorong-dorong ibu?" Sinta, Tantenya Zahra hanya mengendus kesal. Matanya menatap Zahra dengan tatapan tajam, seakan tak terima dengan pertanyaan yang keluar dari mulut keponakannya sendiri. "Ibumu itu orangnya boros! Masa iya dia buka tutup kran air terus? Ya saya kesal lah sama sikap ibumu itu!" katanya dengan nada ketus. Zahra menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk bersikap lebih tenang. Meskipun darahnya begitu mendidih. Zahra tahu, kalau wanita yang ada di hadapannya itu lebih tua darinya. Namun, tak dapat dipungkiri kalau kesabarannya semakin menipis. "Kalau ibu salah, coba bicarakan baik-baik. Pakai hati, bukan pakai kekerasan gini! Apalagi sampai dorong-dorong orang!" ujarnya sambil berusaha menjaga nada suaranya, supaya tidak meninggi. "Dibicarakan baik-baik? Nggak bisa, Ra! Nanti malah ngelunjak! Ibumu juga keterlaluan. Kran air ini milik Tante! Saya yang bayar, jadi kalau mau pakai, yang hemat! Cari uang itu susah!" Zahra tersenyum tipis. Berusaha untuk tersenyum dibalik hatinya yang bergemuruh. Ia tahu betul, kalau sang Tante juga sering menggunakan fasilitas ibunya, tanpa izin. Termasuk kamar mandi yang setiap hari selalu mereka pakai. "Apa Tante lupa?" tanyanya, menatap Sinta tajam. "Tante sering pakai kamar mandi itu? Tante tahu kan kalau air itu ibu yang bayar! Sekarang ibu cuma pakai air ini saja, Tante marah sampai segitunya?" Sang Tante menggeleng pelan, ia tertawa getir. "Kamar mandi itu punya orang tuaku, Zahra! Bukan bukan milik ibumu! Memang kamar mandi itu sudah jadi milik kalian, tapi tetap aja. Yang bayar air itu ya, adik ku sendiri, Faisal!" ucapnya. Sebelum pergi, ia menyenggol lengan Zahra dengan kasar. Lalu berjalan pergi meninggalkan dapur, membiarkan mereka menatap punggungnya yang mulai menjauh. Zahra hanya diam sambil menatap punggung wanita itu dengan tatapan getir. Di sampingnya, sang ibu masih berdiri sambil menenangkan dirinya. Sementara bola mata Zahra mulai berkaca-kaca, bukan karena takut, tapi karena kecewa. Kecewa karena harus ribut dengan keluarganya sendiri. Kenapa malah sang Tante bisa meributkan hal sekecil ini? Dan membuat keluarganya menjadi berantakan, hanya karena masalah air saja.“Oh, jadi lo bohongin gue? Mana pura-pura pingsan lagi!” Akhirnya Zahra sadar jika ini semua hanyalah sebuah sandiwara Fathan semata. “Kalau iya emangnya kenapa?” tanya Fathan sambil menaik turunkan alisnya, menatap Zahra, bahkan ia sambil mengedipkan sebelah matanya. Saat ini ia sudah duduk dengan sempurna, sedangkan tatapan matanya terus tertuju kepada Zahra. “Ihhhh! Ngeselin banget siiii!!!” Karena gemas, Zahra langsung mencubit perut Fathan, tujuannya hanya satu. Ingin menumpahkan kekesalan yang ada di hatinya. “Ampun, Ra...ampun, aku minta maaf...” “Nggak ada kata maaf buat orang ngeselin kayak lo!” Bukannya berhenti, Zahra kembali menggelitiki Fathan. Ada rasa puas ketika melihat Fathan terpaksa tertawa. “Ngeselin tapi khawatir , kan? Apalagi waktu aku denger suara kamu yang panik banget. Takut kehilangan aku, yaaa?” bukannya berhenti, Fathan terus meledek Zahra. Bahkan wajahnya semakin dimajukan ke depan, dengan pandangan mata tetap tertuju ke wajah cantik mantan pacarnya.
Namun, dari dalam kamar, Zahra sama sekali tak menggubris ucapan dari Fathan. Gadis itu duduk di atas lantai sambil bersandar di dinding kamarnya. Menenggelamkan wajahnya sambil terisak pelan. "Bukan gue nggak mau ketemu lo lagi, Fathan..tapi ucapan lo itu masih terasa di dada ini.." lirihnya sambil menyembunyikan kepalanya di antara kedua kakinya. "Gue tetap di sini, gue nggak akan pulang sebelum lo keluar dan temui gue!""Fathan, mending lo pergi saja. Gue pengin sendiri!" balas Zahra dari dalam kamarnya, tubuhnya masih dalam posisi yang sama. Masih meringkuk di pojokan. "Gue nggak pulang sebelum lo temui gue, titik!""Lo bandel banget sih! Di luar hujan, Fathan! Mending lo pulang, daripada nanti sakit, malah gue yang disalahkan!" "Biarin! Biarin gue sakit! Gue gak peduli! Yang terpenting sekarang lo mau temui gue, sebentar saja, Ra..." suara Fathan bercampur dengan rintikan air hujan yang jatuh membasahi bumi. Semakin lama, suara hujan itu semakin terdengar dengan kerasnya. "D
"Guys, gue sama Zahra duluan ya," ujar Triani tiba-tiba begitu mereka berdua telah kembali ke mejanya masing-masing. Semua teman seangkatannya seketika langsung menoleh ke arah Zahra dan Triani. Mereka semua saling pandang setelah mendengar perkataan Triani yang sangat tiba-tiba itu. "Loh, kenapa? Ada masalah?""Lo yang ngajak kita, terus lo juga yang ninggalin kita di sini? Ada apa sih?""Sorry, guys. Sebenarnya gue pengin banget ngumpul bareng kalian. Tapi saat ini yang jauh lebih penting itu kondisinya Zahra." Perkataan Triani langsung membuat semua orang kembali mengalihkan pandanganya ke arah Zahra, yang sedang berdiri di sampingnya Triani. "Lo kenapa, Ra? Nggak enak badan?""Apa ada masalah lain?""Udah nanti saja tanyanya. Yang penting sekarang Zahra harus pergi dulu dari tempat ini," sela Triani supaya mereka tak bertanya lagi kepada zahra. "Ayo, Ra!" ajak Triani sambil melirik Zahra, kemudian gadis itu menarik pergelangan tangan Zahra dan berjalan pergi meninggalkan cafe t
“Kalau Zahra nggak mau ya jangan dipaksa dong!” Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari arah belakang. Sontak mereka berdua langsung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Triani sedang berdiri dengan ekspresi wajah yang mengkerut.Triani melangkahkan kakinya menghampiri mereka berdua, tatapannya terus tertuju kepada mereka, seolah tak ada hal menarik lainnya, selain Zahra dan Fathan. Melihat tatapan tajam yang dilontarkan Triani, sontak langsung membuat Zahra dan Fathan seketika menundukkan kepalanya.PLAK!Tanpa basa-basi, Triani mendaratkan salah satu tangannya tepat di pipi kiri Fathan, gerakannya begitu tiba-tiba sehinggga Zahra dan Fathan langsung melebarkan bola matanya, terutama Fathan.“Triani!”“Biarin aja, Ra. Orang kayak dia pantas ditampar, bahkan kalau bisa dihajar habis-habisan juga gapapa,” karena sudah begitu muak dengan tampang Fathan, membuat Triani berkata asal-asalan, tanpa memikirkan perasaan orang lain saja.“Ya gue tau kalau Fathan salah, tapi jangan ma
“Ngapain sih lo ajak gue ke sini?" tanya Zahra yang langsung terus terang, gadis itu tak suka berbasa-basi apalagi dengan cowok yang dulu pernah menyakitinya.Fathan tak menjawab, pria itu menatap Zahra dengan tatapan sendu, seolah menyesal telah membuat keputusan yang ternyata malah menyakitinya. Perlahan, ia mengambil tangan Zahra, menyentuh tangan mulus itu sambil menatap dalam-dalam bola mata kecoklatan milik gadis itu."Zahra..."Deg!Mendengar suara lembut dari Fathan, seketika membuat jantung gadis itu berpancu lebih cepat dari biasanya. Dengan refleks, ia menatap balik bola mata Fathan, keduanya saling bertatapan satu sama lain."Apa kamu mau tau perasaanku setelah kita putus?"Entah keberanian apa yang membuat Zahra menganggukkan kepalanya. Melihat hal itu, Fathan mengulum senyum tipis, nyaris tak terlihat."Jujur, Ra...setelah kita putus waktu itu, namamu masih tersematkan di hatiku, Ra..."Deg!Zahra menatap Fathan dalam-dalam, mencoba untuk mencermati gerak-gerik dari Fath
"Sorry guys, kita telat ya? Tadi macet soalnya."Begitu mobil Triani sudah terparkir rapi di area parkir dan mereka berdua sudah masuk kedalam cafe. Ternyata temen-temen yang lain sudah datang terlebih dahulu. "Gapapa kok lagian masih ada yang belum datang," sahut Fariza sambil menyeruput minuman miliknya. Setelah berjabat tangan layaknya seorang teman, Triani dan Zahra duduk di kursi dan bergabung bersama mereka. Candaan ringan terdengar di malam hari, sehingga membuat suasananya terasa menghangat. Hingga beberapa detik kemudian, pintu cafe terdengar, seolah ada yang baru saja melangkah masuk. Pandangan mereka langsung teralihkan oleh sosok tampan yang sedang berjalan ke arahnya. "Akhirnya lo datang juga, bro!" sahut Kevin setelah mengetahui siapa yang baru datang. Fathan tak menjawab, lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, itupun hanya beberapa detik sebelum kembali ke muka datarnya. Lelaki itu menarik kursi dan ikut bergabung bersama mereka. Sementara Zahra, gadi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen