"Saya tahu kamu pria yang baik, Rain," ucap Bapak terdengar bergetar.
Tidak disangka tiba-tiba dia mendekati kursi Rain. Aku cukup terpana saat menyaksikan Bapak bersimpuh di kaki lelaki itu.
"Tolong jangan sentuh dia sebelum, kamu resmi menikahinya," mohonnya seraya menunjuk aku.
Aku cukup tercengang mendengar permintaan Bapak. Rain pun menunjukkan ekspresi wajah yang sama denganku. Tanpa diduga mata kami saling bertemu pandang. Tatapannya yang tajam dan dingin membuat aku menunduk pada detik kelima. Rasanya aku tak sanggup menatap lebih lama mata elang itu.
Rain tampak melepas belitan tangan Bapak. Pria itu membimbing Bapak agar bangkit dan tidak lagi bersimpuh padanya. Lelaki yang hari ini terlihat macho dengan jaket jeans belel itu justru memutari meja, lalu berdiri tepat di hadapanku. Baru kusadari ternyata dia punya postur tubuh yang cukup tinggi. Bahkan tinggiku hanya sebatas lehernya.
"Kamu ingat Bambang? Kamu sendiri yang menyerahkan anakmu padaku saat kalah main judi," tutur Rain mencoba mengingatkan. "Lalu saat kamu lagi sekarat di rumah sakit, anakmu datang menyerahkan diri. Dia bahkan sudah berjanji akan melaksanakan semua perintahku."
"Benar, tapi--"
"Itu artinya aku bebas mau ngelakuin apa saja sama dia," sela Rain sedikit mengerling padaku.
"Rain, saya mohon." Bapak menangkupkan kedua tangannya, "kamu boleh menjadikan dia pelayan di sini, tapi tidak untuk teman tidur."
"Ha ... ha ... ha." Rain terbahak. Detik berikutnya tawanya lenyap. Berganti seringai sinis. "Kamu pikir aku menyukai dia?" ujarnya dingin.
Entah kenapa cibiran sinis dari Rain membuat hatiku tersayat. Ini seperti penghinaan. Aku memang tidak terlalu cantik. Namun, belum pernah disepelekan seperti ini.
"Entah suka atau tidak, saya mau kamu menjaga kehormatan anak saya," balas Bapak kalem. "Jika berkenan, saya mau menggantikan tugas Kirani di sini."
"Gak!" Rain menolak, "di sini sudah banyak laki-laki. Rumah ini butuh sentuhan seorang wanita."
"Tapi Kirani bukan seorang jalang. Jadi tolong perlakuan dia dengan baik." Bapak kembali memohon. "Dia anak gadis. Dia pasti tersiksa saat harus hidup seatap dengan banyak laki-laki."
"Sudahlah! Aku tahu apa yang mesti kulakukan."
"Terima kasih." Bapak mengangguk. "Semoga janjimu bisa kupegang."
Rain tidak berkomentar. Dia kembali duduk pada singgasananya. "Iqbaaal." Lelaki itu meneriaki nama seseorang.
Tidak lama muncul seorang pemuda. Dari parasnya sepertinya dia seumuran denganku.
"Ada apa, Bang?" tanya pemuda dengan badan yang masih kerempeng. Tubuh khas anak muda.
"Bawa dia ke kamar belakang!" Dengan dagunya Rain memerintah.
"Ke bekas kamarnya Bik Yati?" Pemuda bernama Iqbal itu bertanya dengan penuh kehormatan.
Rain menjawab hanya dengan anggukan dan kibasan tangan. Sepertinya dia malas untuk berbicara lagi.
"Mari!" ajak Iqbal kemudian.
Aku dan Bapak mengikuti pemuda bercelana robek-robek itu. Kami keluar dari ruang kerjanya Rain. Kaki kami melintasi sebuah ruangan panjang.
Ada sebuah meja biliar lagi di ruangan ini. Ada juga satu set sofa minimalis di depan televisi. Di ujung ruangan terdapat minibar.
Gelas-gelas panjang terlihat menggantung indah. Sementara di rak kaca buffet aneka botol minuman berjejer rapi. Sepertinya ini ruangan bersantai para preman itu.
Iqbal terus membawaku ke belakang. Kami sampai di sebuah dapur. Lumayan bersih. Terdapat meja makan dengan kursi kayu. Setelah kuhitung ada sepuluh kursi.
Di sebelah dapur ada sebuah kamar. Iqbal berhenti pada pintu kamar tersebut. Dia membukanya perlahan.
"Ini kamarmu," ujar Iqbal dengan tangan mempersilakan.
"Terima kasih."
Aku mengangguk kecil, lalu memasuki ruangan empat kali empat meter ini. Mataku mengelilingi isi kamar. Ada sebuah ranjang single dengan kain seprai berwarna putih. Di sebelah terdapat meja rias lengkap dengan cermin dan bangku kecilnya. Lalu ada lemari kayu berpintu satu.
Sementara di sebelah kiri ranjang terdapat nakas tempat lampu tidur. Ada sebuah pigura foto yang bersandar pada lampu tersebut. Agar lebih jelas melihat, aku maju mendekat ke nakas.
"Itu fotonya Bik Yati. Pelayan kesayangannya Bang Rain." Tanpa ditanya Iqbal memberi tahu. Pemuda itu bergerak mendekatiku. "Dia yang dulu mengatur tatanan rumah tangga di sini. Sayangnya dia berpulang dua tahun yang lalu karena sakit," terangnya tampak bersedih. Dari gaya bicaranya sepertinya Iqbal pemuda yang baik.
"Apa tugas Bik Yati sehari-hari?" tanyaku usai menaruh kembali pigura itu di tempatnya.
"Tugas utamanya ya melayani Rain," sahut Iqbal sembari bersidekap, "tapi karena dia orang yang baik, tanpa diminta Bik Yati sering melayani kami juga."
Aku mengangguk mengerti.
"Iqbal." Bapak memanggil. Aku dan Iqbal menoleh pada lelaki itu. "Tolong jaga Kiran baik-baik ya. Jangan biarkan teman-temanmu menjahili dia," mohon Bapak bersungguh-sungguh.
"Siap, Bang Bambang." Iqbal menaruh hormat. "Apalagi dia anakmu, pasti akan kujaga dengan baik." Pemuda itu tampak serius berjanji.
"Bapak kenal Iqbal?" tanyaku heran.
"Kita teman minum di club, Ran," sahut Iqbal sok akrab. Padahal kami belum berkenalan.
"Ya sudah ... kalo begitu bapak pulang ya, Ran," pamit Bapak kemudian. "Jaga diri baik-baik."
Bapak memelukku tubuhku sebentar. Setelah itu dia melangkah keluar. Aku dan Iqbal mengantarnya sampai ke depan. Pada anak buah Rain, Bapak berpesan agar mereka memperlakukan aku dengan baik.
Setelah itu Bapak benar-benar pergi. Hatiku gerimis melihat lelaki itu mengayun langkah menuju pintu gerbang. Tiba-tiba Bang Tigor keluar dari dalam.
"Jong, antar si Bambang sampai rumah," titah Bang Tigor pada anak buahnya.
"Baik, Bang." Pria keriting yang sedang duduk santai itu langsung bangkit berdiri. Dirinya mengeluarkan motor lalu menyusul Bapak. Kulihat Bapak membonceng padanya.
Kuhapus kaca-kaca di mata ini. Merasa malu karena telah menangis, aku memilih kembali ke kamar. Apalagi bayangan Bapak sudah tidak terlihat lagi.
Aku bukanlah gadis yang cengeng. Namun, tinggal sendirian di sarang mafia ini sungguh membuatku ketakutan. Apalagi tidak ada batas waktu sampai kapan kehidupanku di sini.
Semakin kuhapus air mata ini kian deras mengalir. Sehingga tidak sadar aku menabrak seseorang. Ketika mendongak, ternyata aku menabrak Rain.
"Eung ... maaf," ucapku menunduk karena ketakutan.
Rain tidak menyahut. Dia hanya menatapku sekilas. Setelah itu dia berlalu menaiki anak tangga. Mungkin ke kamar pribadinya.
Aku sendiri kembali menuju kamar. Masih dengan air mata menetes, kumasukkan beberapa helai pakaian ke lemari kayu itu.
"Kiran." Walau tanpa menoleh, tetapi aku tahu jika itu suara Iqbal. Benar saja menit kemudian dia sudah berada di dekatku. "Kamu menangis?" tanya Iqbal tampak perhatian.
Aku langsung menghapus sudut mata ini dengan tangan. "Seumur hidup baru kali ini aku berpisah lama dengan keluargaku," jawabku lirih.
Iqbal memegang pundakku. "Gak usah takut. Di sini aku akan menjagamu sesuai pesan Bang Bambang."
"Makasih." Suaraku masih terdengar lirih.
"Eum ... gini aja. Aku tuh mau buat makan siang buat anak-anak. Kebetulan kulkas di dapur kosong. Kita pergi belanja saja, yuk!" ajak Iqbal terlihat tulus.
"Jadi tugas kamu di sini membuat makanan untuk anak-anak?" tanyaku ingin tahu.
"Gak juga. Selama ini kita makan sembarang. Kadang di jalan, kadang pesan. Ya sedapatnya aja. Kalo dulu mah selalu disiapkan Bik Yati."
"Oh." Aku mengangguk paham.
"Ya udah ... kita berangkat yuk!"
Aku mengangguk pelan. Kami pun keluar kamar bersama. Iqbal menuju garasi untuk mengeluarkan motor, aku menunggunya di teras. Beberapa saat kemudian, dari pintu keluar Rain.
Pria itu tampak mengenakan kacamata hitam. Aku agak takjub melihatnya. Pasalnya penampilan Rain justru mirip aktor action. Rantai emas pada kantung celananya menambah kesan ngrock.
Saat melintas, Rain sama sekali tidak menoleh. Lelaki itu berjalan gagah menuju mobil jenis SUV berwarna putih. Tidak disangka dia menoleh padaku ketika akan membuka pintu mobil depan.
BLUSH.
Kenapa pipiku terasa menghangat?
Next
Rain hanya menatapku sejenak. Lelaki itu membuka pintu mobil. Tidak lama kendaraan roda empat itu pun melaju."Kiran, ayo kita berangkat!"Panggilan dari Iqbal membuatku tersadar. Pemuda itu sudah duduk di atas motor besar berwarna hitam. Wajahnya cukup tampan dengan kacamata hitam. Penampilannya kian keren dengan sebuah tas kecil di pinggangnya.Perlahan aku menuruni undakan teras, ketika Iqbal menunjukkan helm. Ketika mendekat, dia langsung memasangkan alat pengaman tersebut pada kepalaku."Biar aku aja!" tolakku saat tangan Iqbal memasang pengait helm.
"Kita ke dapur lagi yuk, Ran!"Aku mengangguk menyetujui ajakan Iqbal. Kami akan membuat makanan."Makanan kesukaanmu apa?" tanya Iqbal mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.Aku berpikir sejenak. "Semua makanan aku suka. Kami tidak punya kesempatan untuk memilih. Apa yang ada ya dilahap saja," jawabku jujur disertai seringai malu. Tapi, memang seperti itu kenyataannya.Iqbal tersenyum tipis mendengarnya. "Tapi setidaknya ada kan makanan yang paling kamu suka?""Eum ... apa ya?" Mataku menerawang, "aku suka ayam
Tinggal di kamar sendirian pada tempat baru sungguh tidak menyenangkan. Aku bingung harus melakukan apa. Di kamar ini tidak ada televisi, buku bacaan, atau majalah. Sementara jika memutuskan untuk tidur, ini masih terlampau sore.Baru pukul delapan malam. Satu setengah jam dari kepergian Rain dan anak buahnya. Belum ada tanda-tanda mereka akan kembali.Aku gelisah sendiri di sini. Dari kata-kata yang terlontar tadi sore, sepertinya Rain dan anak buahnya akan memerangi pengacau yang juga penganiaya Bang Tigor.Hatiku masih bimbang untuk melakukan apa. Tiba-tiba mata ini tertuju pada sebuah buku tebal di nakas kamar ini. Ketika kutengok, ternyata sebuah kitab suci umat Islam.Pada halaman pertama tertulis nama almarhumah Bik Yati. Pasti ini punya beliau. Akhirnya, hati ini sedikit tercerahkan. Untuk membunuh waktu, aku akan mengaji saja.Walau pun bukan seorang penghap
"A-a-antarkan aku ke-ke kamar!" pinta Rain tersengal. "Cepaaat!" sentaknya terdengar kasar."I-iya." Akumengangguk cepat.Kusampirkan tangan kirinya ke pundak. Perlahan kami mulai menapaki tangga kayu. Napas Rain terdengar memburu. Jarak yang begitu cepat membuatku dapat merasakan hembusannya.Tidak lama kami tiba di lantai dua ini. Tempatnya lumayan rapi dan bersih dibanding lantai bawah. Ada dua buah kamar berseberangan di sini. Sementara di tengah-tengahnya terdapat satu set sofa minimalis."Itu kamarku," tunjuk Rain dengan suara lirih. Sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan. Kubimbing Rain ke kamar tersebut. "Ambil anak kunci di ... saku." Suara Rain terdengar kian lirih.Tidak mau mendapat bentakan lagi, lekas kupenuhi perintah Rain. Kurogoh pelan saku celana jeans pria berhidung lancip ini."Saku belakang!" tegur Rain ketika aku
"Aku juga gak begitu tahu siapa sosok gadis dalam foto itu, karena Bang Rain sendiri gak pernah mau bercerita," ujar Iqbal kemudian. "Tapi, dari keterangan almarhum Mbok Yati, katanya gadis itu orang yang sangat berarti bagi Bang Rain.""Lalu?" Lagi-lagi aku bertanya karena penasaran."Gadis itu sudah meninggal.""Me-meninggal?" Mataku terbeliak lebar.Iqbal mengangguk pelan. "Bik Yati yang cerita dulu, tapi ya cuma sebatas itu." Iqbal menghembus napas panjang. Dia mengompres dahi Rain kembali. "Ini udah cukup malem, sebaiknya kamu tidur, Ran!" suruh Iqbal kemudian."Ta-tapi Bang Rain--""Biar aku yang jaga," sela Iqbal santai, "sepertinya Bang Rain terkena infeksi makanya demam gitu. Tapi aku udah beli obat dan antibiotik kok," terangnya mencoba menenangkan.Karena sudah tidak ada lagi alasan berada di situ, aku pun pamit turun. Walau sebenarnya masih banyak sekali hal yang membuatku penasaran. Namun, kutahan. Sepertinya tidak etis j
"Jangan sampai gue naik pitam!"Ibong membuang muka. Lelaki itu menghembus napas. Tidak lama dia mendekat pada Iqbal, lalu mengulurkan tangan."Maafin gue," ucap Ibong datar. Terlihat seperti tidak tulus."Sama-sama, Bong." Iqbal membalas jabatan itu.Kemudian Ibong melakukan hal yang sama padaku. Kumaafkan pria itu dengan menangkupkan kedua tangan."Kamu!" Rain menunjuk aku, "tolong buatkan kita sarapan!" suruhnya datar.Tanpa menunggu jawabanku, Rain berlalu. Aku ditemani Iqbal lekas menuju dapur."Kita buat bubur ayam saja. Rain suka sarapan itu." Iqbal memberi tahu.Kami membuat bubur ayam satu panci penuh. Kebetulan pagi ini banyak sekali anak buah Rain yang menginap di sini. Saat kuhitung ada sekitar dua puluh orang.Mereka makan di sembarang tempat. Ada yang di meja makan dapur
"Ndan, kami menemukan ini di tas cewek ini."Aku dan Iqbal sama-sama terbeliak, saat seorang intel menemukan sebuah plastik kecil berisi serbuk putih dari dalam tasku."Amankan barang bukti dan gadis ini!" seru seorang intel yang mungkin komandannya."Siap!" Pria bertopi yang tadi memeriksa tasku langsung meraih tanganku. "Ayo kamu ikut kami untuk pemeriksaan lebih lanjut!" perintahnya padaku."Gak benar! Itu bukan punyaku." Aku menggeleng cepat. "Bal, tolongin aku," rengekku ketakutan."Pak, teman saya ini bersih. Dia gak pake barang gituan." Iqbal mencoba membujuk sang komandan."Buktinya dia menyimpan barang haram tersebut," tukas sang komandan tegas, "sekarang suruh dia tes urine supaya tahu dia pemakai atau pengedarnya!" titahnya serius."Siap, Ndan!"Aku pun digelandang ke kamar mandi bersama Iqbal.
"Cari Ibong sampai dapat," jawab Rain tenang, "gue ingin segera menghabisinya," lanjutnya tajam dan dingin."Baik." Iqbal mengangguk paham. "Kalo begitu aku akan keluar untuk mengerahkan anak-anak buat menangkap Ibong secepatnya," pamitnya kemudian."Pergilah," lepas Rain dingin."Yodah ... Rain, aku juga mau cabut. Banyak berkas yang mesti dikerjakan hari ini." Nathan ikut berpamitan.Sekarang hanya ada aku dan Rain berdua saja di ruangan ini. Ketika aku hendak melangkah pergi, Rain mencegah."Untuk beberapa hari ini, Iqbal akan sering tidak pulang. Kamu mesti pindah kamar ke atas," suruh Rain kalem."Sekarang?" tanyaku memastikan."Terserah ... yang pasti waktu jam makan siang, kamu sudah harus menyiapkan hidangan," tutur Rain kembali duduk di singgasananya. Lelaki itu mulai membuka berkas yang ada di hadapannya. "Kenapa ma