"Cari Ibong sampai dapat," jawab Rain tenang, "gue ingin segera menghabisinya," lanjutnya tajam dan dingin.
"Baik." Iqbal mengangguk paham. "Kalo begitu aku akan keluar untuk mengerahkan anak-anak buat menangkap Ibong secepatnya," pamitnya kemudian.
"Pergilah," lepas Rain dingin.
"Yodah ... Rain, aku juga mau cabut. Banyak berkas yang mesti dikerjakan hari ini." Nathan ikut berpamitan.
Sekarang hanya ada aku dan Rain berdua saja di ruangan ini. Ketika aku hendak melangkah pergi, Rain mencegah.
"Untuk beberapa hari ini, Iqbal akan sering tidak pulang. Kamu mesti pindah kamar ke atas," suruh Rain kalem.
"Sekarang?" tanyaku memastikan.
"Terserah ... yang pasti waktu jam makan siang, kamu sudah harus menyiapkan hidangan," tutur Rain kembali duduk di singgasananya. Lelaki itu mulai membuka berkas yang ada di hadapannya. "Kenapa ma
Aku buru-buru melangkah, saat karyawan yang sedang diajak bicara oleh Ingga menoleh. Lantas berlagak cuek seakan tidak pernah mendengar perintah Ingga barusan. Bahkan aku melempar senyum manis untuk keduanya. Mereka pun membalasnya dengan senyuman kikuk. Khas orang ketangkap basah.Sampai toilet hatiku masih saja berpikir mengenai perintah Ingga barusan. Apa yang membuat gadis itu melakukan tindakan seperti itu? Bukankah kami tidak begitu mengenal? Berjumpa pun baru dua kali ini. Seingatku kami bahkan belum pernah terlibat percakapan panjang.Usai menunaikan hadas kecil, aku kembali ke ruang kerja Rain. Mata ini lumayan terkesima melihat pemandangan yang ada. Rain tampak serius memeriksa file.
"Emang kamu mau aku jadi suami kamu?"Jleb!Aku terpaku mendengar pertanyaan serius itu."Bang Rain serius ngelamar aku?" tanyaku memberanikan diri."Ha ... Ha ... Ha." Tawa Rain meledak. "Dasar bocah baperan?" Dia bahkan meraup parasku.Jadi tadi cuma main-main? Becanda doang? Kalo benar ini gak lucu, Bang!"Kok bengong?" tegur Rain usai tawanya surut.Aku ha
"Kalo mau ngen itu di tempat yang lebih berwibawa dong, Bal. Masa iya cewek semanis Kiran diajak main di semak-semak gini," canda Nathan sambil geleng-geleng.Ingga tertawa mendengarnya. Perempuan itu melirik ke Rain. Dan Rain hanya diam membisu."Kak Nathan ngomong apa sih?" tukas Iqbal sambil menepuk-nepuk bahu dan celananya yang kotor. "Tadi itu aku cuma mau nolongin Kiran yang jatuh dari pohon mangga. Gak nyangka aja badan kecil gitu berat juga. Makanya kami oleng," paparnya sejelas mungkin."Kiran bisa manjat pohon?" tanya Nathan tampak terpukau."Dia bahkan bilang sering menang lomba balap panjat tembok sekolah."
"Kok kamu tahu aku ada di sini?" Walau kaget, tapi aku cukup senang Iqbal datang."Lho ... bukannya kamu sendiri yang ngeminta aku untuk datang?" Iqbal menyipit."Hah?" Aku melongo bingung. Kapan aku hubungi dia. "Kamu bercanda ya?""Gak." Iqbal menggeleng yakin. Pemuda itu lekas duduk di bench. Tangannya memegang remote, lalu mulai memilih lagu. "Aku bener-bener sibuk akhir-akhir ini, Ran. Capek banget ngawasin sana-sini," lapornya tanpa kutanya."Yodah ... rileks sejenak di sini."Iqbal tersenyum mengangguk.
"Bang, tolong panggilkan pelayan yang membawakan minuman buat kami." Tiba-tiba Iqbal meminta usul. "Akan kucecar siapa orang yang telah menyuruhnya untuk mencampur minuman kami dengan obat perangsang," tuturnya yakin.Seketika wajah Ingga kembali pias."Panggil saja, tapi gak ada intimidasi ya?!" Nathan berbicara tenang. Di sini terlihat sekali dia sangat membela Ingga."Sebentar aku panggil." Ingga meminta Izin.Wanita itu berlalu meninggalkan ruangan. Tujuh menit kemudian dia hadir lagi bersama pelayan yang mengantar minuman untukku dan Iqbal. Serta seorang pelayan laki-laki yang tidak kukenal.
"Kiran, turuuun!""Aku gak mau turun sebelum kamu mempercayai Iqbal dan mengusut kedua sahabatmu Ingga dan Nathan!"Rain bergeming. Sepertinya dia tengah berpikir. "Baiiik!" Rain berteriak begitu melihatku Kembali memanjat pembatas. "Aku akan segera usut Ingga dan Nathan secepatnya." Dia berjanji tegas."Kamu seriuskan?" tanyaku sedikit semringah."Kapan pernah aku bohong sama kamu?" ketus Rain terlihat sebal, "sekarang turun!" Dia memerintah serius."Baik." Aku menurut. Hati-hati aku menurunkan kaki. "AAa!" Aku memekik takut karena tergeli
"Ya kamulah ... kan cewek satu-satunya cuma kamu. Masa iya Ijong ato temannya." Penuturan dari Ayon membuat aku tersanjung. "Soto Betawi kamu suka kan?" tanya Ayon kemudian."Suka." Aku mengangguk senang. "Sekali lagi makasih banyak ya, Bang.""Iye, Nyonya ratu." Ayon membungkuk hormat.Aku terkekeh melihatnya. "Ya udah aku pergi mandi dulu sambil nungguin sotonya datang," pamitku kemudian."Silakan, Nyonya ratu."Aku kembali tergelak. Setelah itu meninggalkan Ayon menuju kamar kembali. Tanpa menunggu waktu lagi, gegas masuk ke kamar mandi. Air shower mulai menyiram badan ini.Setelah merasa segar, aku pun menyudahi kegiatan ini. Cacing yang berdemo di dalam perut membuatku secepatnya mengenakan makanan. Begitu turun ke dapur sudah berkumpul tiga orang preman yang sedang menyantap Soto Betawi. Termasuk Ayon di antara mereka.
"Ba-baik ... aku akan bicara jujur, Bang.""Katakan!" titah Rain datar."Dua kali aku masuk ke ruang kerja Mbak Ingga adalah agar Mbak Ingga bisa menuangkan obat perangsang itu tanpa terlihat kamera."Wajah Ingga seketika pias. Namun, lekas ia alihkan dengan mendelik pada Vita. "Hei ... jangan buat fitnah sembarang kamu, Vit!" bentak Ingga sambil mendepak tubuh perempuan itu hingga tersungkur."Ingga, biarkan dia menyelesaikan ceritanya dulu!" seru Rain mencegah Ingga berbuat kasar lagi."Tapi, dia sudah ngelantur bicaranya, Rain," kilah Ingga terus menatap Vita dengan sengit."Semua akan dapat jatah bicara." Rain berucap dengan tenang. Dia bangkit dari duduknya. "Kamu pun akan mendapatkan gilirannya. Jadi sekarang diamlah!"Wajah Ingga semakin terlihat keruh. Namun, dia tidak berani bicara lagi."Lanjutkan ceritamu!" suruh Rain pada Vita.Vita terlihat menarik napas perlahan. Seolah tengah mengumpulkan keberanian untuk