Share

3

BAGIAN 3

            “Gista, kamu ini kenapa?” Mas Faris tiba-tiba membuka pintu kamar tidur kami lebar-lebar. Dia masuk dengan wajah yang setengah gusar dan setengah bimbang.

            Aku terduduk di ranjang. Desiran di dada rasanya masih membabi buta. Tanganku bahkan sampai tremor saking emosinya.

            “Astaghfirullah,” lirihku seraya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

            Terdengar suara derap langkah kaki Mas Faris yang kian mendekat. Pria dengan tinggi 170 sentimeter dan berbobot 75 kilogram itu lalu kulihat duduk di sampingku. Aku yang baru membuka mata pun mengerling tajam ke arahnya.

            “Gis, istighfar!” katanya sambil mencengkeram pundakku.

            “Tanpa kamu ingatkan, aku sudah istighfar duluan, Mas!” Aku kesal. Kutepis tangan Mas Faris yang memiliki bulu lebat itu agar menjauh dari tubuhku.

            Pria berjanggut tipis rapi itu menghela napas dalam. “Kamu nggak biasanya begini,” ucap Mas Faris lagi.

            “Jangan menyalahkan aku, Mas. Salahkan ibumu!” Suaraku bergetar. Bibir ini lebih-lebih lagi.

Tak tega aku sebenarnya memuntahkan kemarahan pada lelaki yang pernah menjadi kakak kelas semasa SMA dulu. Aku terbiasa patuh hormat padanya. Bersuara rendah dan lemah lembut. Aku pun heran, mengapa sikapku bisa berubah sedrastis ini. Apakah karena dilanda tsunami kecewa?

“Ibu salah apa padamu, Gis? Jelaskan padaku! Kamu dari tadi bicara seperti orang yang baru bangun tidur. Ngaco!”

Aku tersinggung sebenarnya. Ngaco, Mas Faris bilang?

“Dengar ya, Mas! Aku mau menikah denganmu sebab terbuai akan sikap lembut dan salehmu. Aku yakin, sebagai lelaki taat agama, kamu tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita. Kamu suruh aku resign sebelum kita nikah, aku manut! Kamu minta aku tinggal di rumah ibumu, aku patuh. Kamu suruh aku di rumah saja untuk membantu beliau, aku nurut! Bahkan aku masih menyempatkan diri untuk membuat usaha kecil-kecilan.”

“Ya Allah, Gista. Kenapa kamu harus menyebut-nyebut kebaikanmu, seolah aku berutang budi?”

“Jangan potong bicaraku, Mas!” Aku berubah bringas. Seakan leherku kini tumbuh surai dan geligi taringku memanjang seperti milik singa jantan.

Mas Faris seketika terhenyak. Dari bahasa tubuhnya, seakan dia terkejut dengan perubahanku yang begitu signifikan. Andai dia tahu, kelakuanku bisa begini sebab harga diri yang telah dinodai oleh ibunya!

“Aku bangun dini hari! Pergi ke pasar untuk belanja. Padahal, sejak habis Isya aku sudah menyiapkan bahan-bahan untuk dagangan besoknya. Kamu pikir aku nggak capek, Mas? Aku capek!” Kutunjuk dada Mas Faris dan kutekan sampai dia semakin terkesiap.

“Pagi-pagi aku sudah berkutat di dapur. Membuat jajanan pasar, menyiapkan sarapan, dan mencuci semua perkakas sendirian. Apa Ibu pernah bantu? Nggak!” Api amarah sepertinya sudah membumbung tinggi di puncak kepalaku.

“Jadi, kamu nggak ikhlas selama ini?”

“Tutup mulutmu, Mas! Jangan bicarakan ikhlas dan tidak. Hanya Allah yang tahu tentang itu. Kamu sebagai manusia tidak berhak menghakimi rasa ikhlasku!”

Lagi-lagi Mas Faris terdiam membisu. Mukanya kini tertunduk. Seakan malu dengan sindiranku barusan.

“Setelah perjuanganku yang mati-matian membabu di rumahh besar ini, kamu tahu apa yang dikatakan Ibu tadi pagi kepada kawannya? Kamu tahu, Mas?” Aku mendekatkan wajah ke muka Mas Faris seraya memiringkan kepala. Perlahan, pria berambut ikal tebal yang dipotong pendek rapi itu menoleh ke arahku.

“Dia bilang kalau aku menyebalkan! Aku bikin dia malu kepada para tetangga, hanya karena aku sarjana dan tidak bekerja. Jualan kueku yang hasilnya selama ini ikut dia makan, katanya bikin malu, Mas! Dia juga eneg melihatku hidup menumpang selama setengah tahun ini.”

Muka Mas Faris langsung pucat pasi. Bibirnya agak terbuka seperti hendak bersuara. Namun, tunggu punya tunggu, suamiku tak juga kunjung berbicara.

“Kenapa? Kamu tidak percaya padaku, Mas?”

Mas Faris masih diam. Lambat laun, dia menggeleng pelan sambil menatapku lekat.

Aku langsung mengecimus. Kutarik napas dalam seraya menahan tawa yang rasanya ingin menyeruak. Gila! Suamiku yang kukira baik dan pintar menghargai istri, ternyata tak ubahnya seorang anak mama manja yang hanya mau percaya pada ibunya saja.

“Ibuku tidak seperti itu, Gis,” lirihnya.

“Oh, ya? Ibumu memang baik sekali, Mas. Seperti malaikat. Sayangnya, itu hanya di depanmu saja.” Aku menyahut dengan muka sinis.

“Dan satu hal, Mas. Seharusnya kamu peka, kenapa Bapak meninggalkan Ibu. Kamu juga harusnya sadar, kenapa Farah lebih memilih tinggal berjauhan dari kalian ketimbang bekerja di sini untuk merawat Ibu.” Aku tersenyum kecil. Lebih tepatnya sebuah seringaian penuh sindiri.

“Lancang bicaramu, Gis.” Mas Faris tiba-tiba menatapku sengit. Dia menggelengkan kepala beberapa kali, seolah aku inilah yang paling bersalah di muka bumi.

“Aku memang lancang, Mas. Kamu tidak pernah menduga, ya, kalau aku bisa seberontak ini? Sama, Mas. Aku juga tidak pernah menduga bahwa ibumu akan sejahat itu di belakangku.” Aku beringsut dari tempat tidur dan turun dari ranjang. Aku harus minggat. Ya, malam ini juga!

(Bersambung)

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
udah kesel banget sampe memberontak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status