BAGIAN 2
Siang itu, aku benar-benar merasa jengkel yang luar biasa. Merasa baru saja dikhianati oleh orang yang terduga. Ibu, sudah kuanggap seperti mamaku sendiri. Rela kutinggalkan rumah kedua orangtuaku yang nyaman, demi hidup membersamai Mas Faris dan ibunya yang telah ditinggal oleh bapak mertuaku menikah dengan wanita lain di Kalimantan sana.
Ikhlas kulayani Ibu seperti kepada mama kandungku. Padahal, dia sendiri punya anak perempuan dan anaknya itu ogah tinggal di sini. Namanya Farah. Dek Farah, aku memanggilnya. Farah belum menikah. Dia bekerja di luar kota dan hidup mengontrak. Mungkin dia menghindari hidup bersama ibunya di sini. Aku saja baru tahu seperti apa sifat asli mertuaku yang munafik.
Mulai hari ini, aku harus lebih waspada pada Ibu. Apa yang dia ucapkan, jelas bukan berasal dari hatinya. Semua hanya tipu daya. Manis di depan, busuk di belakang. Begitulah ungkapan yang tepat untuknya.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarku terdengar diketuk dari luar. Sejak Ibu menjelekkanku pada Bu Puji di ruang tamu, aku sudah mengurung diri selama kurang lebih sejam di dalam kamar. Aku enggan keluar. Padahal, biasanya siang-siang begini aku sudah standby di dapur untuk masak dan menghidangkan makan siang.
Agak malas aku bangkit dari ranjang. Kuhilangkan raut kesal di wajah. Gista, bila Ibu bisa berpura-pura manis, maka kamu pun juga bisa!
“Gis, kok, di kamar aja?” Ibu berucap saat aku membuka kamar. Ekspresi muka Ibu tampak tak senang.
“Aku sakit kepala, Bu,” ucapku. Kupasang muka lelah. Kupegang pelipis dengan tangan kanan sambil memicingkan mata.
“Lho, tadi kayanya baik-baik aja?” Ibu yang memiliki tubuh singset dan wajah yang masih kencang itu seperti tak percaya. Aku memang jarang sakit selama di rumah ini. Tubuh kupaksa untuk terus sehat demi bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Ya, demi menjadi istri saleha di mata Mas Faris! Namun, ternyata tetap saja aku dianggap gombal amoh oleh mertua sendiri.
“Tiba-tiba pusing, Bu. Kayanya … aku nggak bisa masak siang ini.”
Ibu yang telah bertukar pakaian menjadi daster dan melepaskan hijab yang sempat menaungi rambut pendek bersemir cokelat itu pun makin tak senang rautnya. “Duh, terus, gimana dong?”
Aku terhenyak. Wah, makin terlihat sifat aslinya. Lihat saja. Baru sekali aku mengaku sakit dan enggan masak, Ibu sudah kelabakan.
“Ya, nggak gimana-gimana, Bu. Aku nggak laper, kok. Aku cuma butuh tidur, Bu,” kataku lagi.
Ibu terdengar menghela napas dalam. “Ya, sudah. Kamu mau Ibu kerokin? Biar cepat enakan.”
Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Ibu sudah menganggapku beban. Sekalian saja menjadi beban betulan dalam hidupnya. Biar dia tahu, seperti apa punya mantu tak berguna!
“Nggak ngerepotin, Bu?” Aku berbasa-basi. Makin kupasang wajah lelah sekaligus menyipitkan mata supaya aktingku terlihat kian greget.
“Nggak. Ibu kerokin aja. Biar pusingmu cepat hilang. Ibu repot juga kalau harus masak dan ngurus rumah sendirian.”
Hahaha! Kena perangkap. Lumayan, dapat kerok dan pijat gratis.
“Bu, boleh nggak sekalian?”
Ibu yang semula mau masuk ke kamarku, langsung menghentikan langkahnya. “Sekalian apa?” tanya Ibu yang berkulit kuning langsat dengan satu tahi lalat di atas bibir kiri tersebut.
“Sekalian bikinin teh anget, Bu. Aku kalau sakit di rumah, Mama selalu bikini teh anget yang dicampur madu. Tolong, ya, Bu,” kataku tanpa rasa sungkan sedikit pun.
Ibu diam. Bibirnya sekilas kulihat bergerak miring. “Ya!” serunya ketus sambil berbalik badan.
Melihat Ibu gegas bergerak ke belakang, aku hanya bisa tersenyum lebar sambil mengayunkan tangan kanan. Yes! Kena juga si Ibu. Siapa suruh menejelekkanku di belakang? Pakai acara nyebut aku numpang dan beban. Yang mau tinggal di sini memangnya siapa? Kan, situ yang nyuruh! Sekarang, sekalian saja aku jadi beban. Buat apa capek-capek jadi mantu penurut, kalau akhirnya hanya dijadikan bahan ghibah?
***
“Bu, kelihatannya capek banget?” tanya Mas Faris saat kami berada di meja makan.
Aku yang duduk di sebelah Mas Faris langsung melempar pandang ke arah Ibu. Di depan sana, Ibu tampak lesu. Berulang kali menggerakkan lehernya ke kiri da kanan hingga menimbulkan bunyi. Dia juga memukul-mukul pelan pundaknya, seperti habis membersihkan got satu kecamatan. Lebay, pikirku.
“Ya, gimana nggak capek, Ris? Ibu dari siang sampai malam ngerjain pekerjaan rumah. Mijit istrimu, bikinin dia teh anget, masakin dia bubur. Eh, harus bikinin kalian makan malam pula. Ibu ini sudah tua lho, Ris!” Ibu menggerutu. Ngomel-ngomel dengan muka yang kecut. Tak kusangka, Ibu yang terlihat sangat lembut, ternyata bisa juga ngedumel di depan kami. Kukira dia hanya bisa jahat di belakang kami saja.
“Faris minta maaf ya, Bu,” ucap Mas Faris sambil mengangguk dalam. Lelaki yang bekerja sebagai PNS di salah satu dinas tersebut tampak tak enak hati dari sikapnya.
“Namanya juga sakit, Bu. Aku juga nggak pengen sakit begini,” sahutku berani. Aku geram betul mendengarnya. Sudah tak bisa kutahan amarah di dada yang sejak siang sudah mau meledak.
Ibu terdengar mendecak. Beliau lantas menyambar secangkir teh hangat di atas meja.
“Kamu jaga kesehatan makanya, Gis! Ibu ini sudah tua. Nggak bisa lagi masak-masak atau berberes rumah segala.”
“Lho, memangnya, tugasku di rumah ini hanya untuk masak dan berberes rumah ya, Bu? Jadi, aku ini sebenarnya apa? Menantu apa pembantu?”
Uhuk! Ibu langsung tersedak. Dia menyemburkan teh dari mulutnya. Aku refleks mengelak agar tak kena cipratan semburan tersebut.
“Gista!” Mas Faris yang duduk di sebelah langsung membentak. Mata suamiku yang belo dan berlensa hitam seperti memakai softlens tersebut pun membeliak besar.
“Kenapa, Mas Faris? Betul kan, ucapanku? Aku baru sakit sehari saja, Ibu sudah protes. Kamu dengar sendiri, kan? Aku harus jaga kesehatan, karena Ibu sudah nggak bisa masak atau berberes lagi. Lantas, semua jadi tanggung jawabku begitu?”
“Ya, itu tanggung jawabmu dong, Gis! Kamu itu kan, nganggur! Terus, kamu mau apa di rumah ini? Ongkang-ongkang kaki?!” Ibu menyahut dengan membabi buta. Suaranya mencelat. Telingaku sampai merasa sangat bising saking kencangnya teriakan tersebut.
“Oh, jadi menantu yang tidak bekerja itu harus jadi pembantu ya, Bu? Kalau begitu, silakan kamu cari perempuan lain saja Mas, yang bisa dijadikan pembantu! Aku capek juga di rumah. Hanya jadi beban! Aku kan, sarjana, Mas! Masa hanya jualan kue yang hasilnya cuma recehan! Beban, Mas! Aku ini beban! Kamu paham, kan, beban itu apa artinya?!” Aku mencerocos tanpa bisa berhenti. Kudorong bahu Mas Faris dengan perasaan geram yang bukan main. Suamiku tampak terhenyak. Apalagi Ibu. Mukanya langsung pucat pasi dengan mulut yang menganga lebar.
“Bu, lain kali, kalau mau ghibah itu suaranya dikecilin! Jangan besar-besar, Bu. Aku jadinya dengar hinaan Ibu untukku ke Bu Puji!”
Aku pun gegas bangkit dari kursi makan. Meninggalkan Mas Faris dan ibunya di sana. Hatiku langsung plong. Akhirnya, semua beban di dada sanggup juga untuk diluahkan.
(Bersambung)
BAGIAN 3 “Gista, kamu ini kenapa?” Mas Faris tiba-tiba membuka pintu kamar tidur kami lebar-lebar. Dia masuk dengan wajah yang setengah gusar dan setengah bimbang. Aku terduduk di ranjang. Desiran di dada rasanya masih membabi buta. Tanganku bahkan sampai tremor saking emosinya. “Astaghfirullah,” lirihku seraya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Terdengar suara derap langkah kaki Mas Faris yang kian mendekat. Pria dengan tinggi 170 sentimeter dan berbobot 75 kilogram itu lalu kulihat duduk di sampingku. Aku yang baru membuka mata pun mengerling tajam ke arahnya. “Gis, istighfar!
BAGIAN 4 “Gis, kamu mau ngapain?!” Mas Faris menahan tanganku erat ketika aku hendak membuka pintu lemari. Kuat kutepis, tetapi dia enggan untuk melepas. “Lepas!” “Nggak! Aku nggak akan ngelepasin kamu, Gis! Kamu istriku. Kamu nggak bisa seenaknya kaya gini.” Napas Mas Faris terdengar menderu. Kilatan di kedua netranya yang pekat membuatku agak gentar. Namun, kukuatkan tekad untuk memberikan perlawan ke tiap blunder yang Mas Faris buat. “Kamu suamiku. Kamu juga nggak pantes untuk giniin aku, Mas! Satu, kamu nggak mau dengerin aku. Dua, kamu lebih mihak ke ibumu padahal dia salah. Dan tiga, jangankan mau minta maaf, yang ada malahan kamu merasa paling
BAGIAN 5 “Nggak usah. Kamu di sini aja sama ibumu. Dia lebih berhak mendapatkan kasih sayang dan kehadiranmu ketimbang aku!” Aku membuang muka. Tangisan Mas Faris malah terdengar kian keras. Aku enggan untuk peduli. Gegas kukemaskan diri. Menukar pakaian dengan sepotong gamis satin bermotif abstrak warna abu-putih-merah muda. Sebuah pasmina crinkle berwarna cokelat tua pun kukenakan dengan hanya sebuah jarum pentul untuk mengencangkan bagian dagu. Selebihnya, dua sisi pasmina itu asal kulemparkan ke atas dua pundak. Tanpa perlu mematut diri di depan cermin, aku beringsut seraya menyambar tas jinjingku dari genggaman Mas Faris. “Gis … aku ikut.” Dia beru
BAGIAN 6 “Lepas!” Aku berontak. Berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Mas Faris. Apalagi, suara klakson di depan sana terdengar sangat membisingkan gara-gara lalu lintas sempat macet akibat aksi memalukan suamiku. “Bikin malu aja!” kataku jengkel. Mas Faris pun melepaskan pelukannya. Gegas, aku masuk ke mobil. Mukaku sudah merah sekali pasti. Rasa malu yang mendera akibat jadi tontonan orang ramai, membuatku buru-buru masuk ke mobil untuk menyembunyikan diri. Suamiku ikut masuk. Dia buru-buru menyalakan mesin. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menyetir dalam kecepatan sedang. “Gis,
BAGIAN 7 Dua puluh menitan lebih berkendara, akhirnya kami tiba di depan halaman rumah orangtuaku. Dua minggu lalu terakhir kali aku main ke sini. Menjenguk adikku, Gio, yang terkena demam tifoid alias tipes. Rasanya, aku sudah rindu sekali ingin tidur di ranjang kamarku yang lega. Menikmati harumnya kamar masa remajaku yang penuh kenangan. Lekas aku turun dari mobil sambil menjinjing tas. Mas Faris yang secepat kilat menyusul pun, merampas tasku. Demi terlihat baik, dia membawakan tas itu sampai ke depan pintu. “Gis, aku mohon. Bicara yang baik-baik saja. Katakan kalau kamu rindu dan ingin menginap di sini,” ucap Mas Faris dengan mata yang penuh pinta. “Iya,” sahutku.
BAGIAN 8POV AUTHOR “Ma, bawa Gista ke kamar. Kamu, Gio, masuk ikut Mama. Papa mau bicara empat mata dengan laki-laki ini.” Herlambang memberikan perintah pada keluarganya. Tanpa dibantah sepatah kata pun, ketiganya langsung menurut. Hazra—istri dari Herlambang yang berkulit putih bersih dengan wajah persis mirip putri sulungnya, kini merangkul Gista untuk masuk ke kamar. Begitu juga dengan Gio. Cowok 17 tahun yang masih duduk di bangku kelas XI SMA itu pun mengikuti langkah mama dan kakaknya. Kini, tinggal Herlambang bersama sang menantu yang berdiri di ruang tamu. Tangan Herlambang yang cukup kekar dan penuh kekuatan meski usia tak muda lagi itu pun melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Faris.&nbs
BAGIAN 9 “Gista, Mama sebenarnya … nggak mau kamu gegabah dalam mengambil keputusan.” Mama tiba-tiba menasihatiku ketika kami hanya berduaan di kamar. Beliau duduk di atas ranjangku, sementara aku berbaring di atas pangkuannya dengan air mata yang kini perlahan menitik. “S-sakit rasanya, Ma,” lirihku sambil menghapus jejak bulir kesedihan di pipi. “Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi, kamu harus tahu, kalau setiap pernikahan itu pasti ada cobaannya. Pernikahanmu baru seumur jagung. Bukankah semuanya bisa diselesaikan baik-baik?” Kalimat demi kalimat yang Mama lontarkan begitu bijaksana. Akan tetapi, sedikit pun rasanya aku bergeming dari nasihat itu. Kugele
BAGIAN 10 “Ih, ngaco kamu!” Aku mengibaskan tangan sambil cepat-cepat mengusap ujung pelupuk. “Eh, iya nggak, sih?” “Mau hamil apa enggak, tetap aja bisa cerai. Nggak ngaruh. Aku tetap mau cerai. Titik!” Aku bersikukuh dengan segala keras kepalaku. Andai kata memang hamil, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Lebih baik aku di sini membesarkan anakku, ketimbang harus bersama Mas Faris dan ibunya. Aku sudah ogah! “Kamu mau tes urin, nggak? Apa mau aku beliin?” Gio yang penuh perhatian itu bertanya sambil menatapku dalam. Aku yang masih agak eneg, hanya bisa menerawang ke langit