BAGIAN 5
“Nggak usah. Kamu di sini aja sama ibumu. Dia lebih berhak mendapatkan kasih sayang dan kehadiranmu ketimbang aku!” Aku membuang muka. Tangisan Mas Faris malah terdengar kian keras.
Aku enggan untuk peduli. Gegas kukemaskan diri. Menukar pakaian dengan sepotong gamis satin bermotif abstrak warna abu-putih-merah muda. Sebuah pasmina crinkle berwarna cokelat tua pun kukenakan dengan hanya sebuah jarum pentul untuk mengencangkan bagian dagu. Selebihnya, dua sisi pasmina itu asal kulemparkan ke atas dua pundak.
Tanpa perlu mematut diri di depan cermin, aku beringsut seraya menyambar tas jinjingku dari genggaman Mas Faris.
“Gis … aku ikut.” Dia berucap pelan. Sebak air mata di pipi membuat Mas Faris semakin terlihat konyol. Laki-laki cengeng!
“Ikut apanya? Aku nggak mau menampung laki-laki cengeng sepertimu di rumah orangtuaku. Beban!” Kuputar balik semua ucapan Ibu kepada anak lelaki kesayangannya tersebut. Tak terbesit sedikit pun sesal atau tak enak hati pada Mas Faris, meskipun dia suamiku sendiri.
Aku pun berbalik badan. Memacu langkah secepat mungkin, kemudian membuka kenop pintu. Kaget, kulihat Ibu sudah berdiri tepat di depanku.
“Mau ke mana kamu?” Suaranya dingin. Tatapannya sekilas sinis.
“Pulang. Ke rumah orangtuaku. Aku tidak mau lagi membebani kalian,” kataku sengit.
“Oh, begitu? Kamu mau jadi istri durhaka?”
Aku sontak mencibir. Istri durhaka? Pandai juga ya, Ibu bermain kata-kata. Menyudutkanku demi membuat nyali ini ciut.
“Siapa yang durhaka? Ibu?” kataku sambil memasang raut mengajak tengkar.
“Jaga bicaramu!” Ibu terlihat menggeram. Matanya pun langsung membeliak besar.
“Silakan introspeksi diri, Bu. Sepertinya, Bapak meninggalkan Ibu karena tak tahan dengan sikap Ibu. Bukan karena dia yang gatal atau tak setia.”
“Lancang kamu, ya!” Ibu mengangkat tangan kanannya ke udara. Sigap, kutangkap tangan itu, kemudian kuempaskan.
“Jangan harap bisa memukulku, Bu. Aku tak akan pernah biarkan itu. Orangtuaku tak sekali pun seumur hidupnya memukul atau menamparku!” Aku berucap tegas. Kilatan di mataku kini membuat Ibu entah mengapa senyap. Dia mungkin syok melihatku yang mendadak gahar tak terbantahkan.
“Pergi kamu dari sini!” kata Ibu sambil menunjuk ke arah luar sana.
“Ya. Aku memang akan keluar dari sini dan jangan khawatir, aku tidak akan sudi untuk kembali menginjakkan kakiku di rumah ini!”
“Gista, jangan lakukan itu!” Mas Faris berteriak dengan suaranya yang parau dari arah belakang sana.
Tak kupedulikan suamiku. Aku langsung menerobos tubuh Ibu dan berjalan meninggalkan area kamar. Terdengar di telinga, suara derap langkah yang mengikuti.
“Kamu mau ke mana, Faris? Biarkan perempuan gila itu pergi dari sini!”
“Nggak, Bu. Nggak bisa. Dia istriku. Aku harus sama-sama dia.”
“Anak durhaka kamu, Ris! Di mana baktimu sama Ibu?!”
“Maafin aku, Bu. Aku harus pergi sama Gista.”
Aku mendengar rentetan percakapan memuakan itu dari sini. Tubuhku sudah berada di depan pintu depan, tapi suara dua beranak itu merambat hingga sini.
Laki-laki bodoh, pikirku. Tak kusangka, yang kunikahi ini ternyata seorang pria lembek tak berdaya. Hanya tangisan yang dia keluarkan di hadapanku. Sudah keadaan begini, dia malah ingin ikut bersamaku.
Kala kubuka kunci pintu depan rumah Mas Faris, bahuku dipegang dari belakang. Kutoleh, ternyata suamiku.
“Ayo, Mas antar, Gis.”
Aku mlengos. Membuang muka dan terus membuka pintu. Tak kuhiraukan kata-kata Mas Faris.
“Faris, apa-apaan kamu! Kembali!” Teriakan Ibu terdengar kencang. Aku enggan untuk menoleh. Buru-buru saja melangkah ke luar sambil membawa tas kulitku yang lumayan besar.
Mas Faris kini berjalan di sampingku. Dia memencet kunci remot mobil hingga alarmnya berbunyi. Aku memilih untuk meninggalkan pria itu dan ibunya yang kini berhasil menyusul kami.
Sedikit berlari, kupacu langkah. Bahkan sandal yang kukenakan adalah sandal untuk turun ke halaman, bukan sandal untuk jalan-jalan. Bodo amat, pikirku. Yang penting aku bisa kabur.
Tak kupedulikan berapa banyak tetangga sekitar yang keluar dari rumah dan nongkrong di teras masing-masing demi menonton keributan ini. Silakan jadikan bahan gunjingan. Aku tak mau peduli.
Baru berapa langkah aku berjalan, Mas Faris sudah berada di sampingku dengan mobil LCGC hitam miliknya. Dia menyalakan klakson dan melambatkan laju kendaraannya.
“Gis, ayo naik. Kumohon, Sayang.”
Aku diam. Terus berjalan. Pandanganku pun tetap tertuju ke depan.
“Gis, please. Lebih baik aku mati saja ketimbang harus kamu tinggalkan.”
Aku mendecak sebal. Mati saja kamu. Memangnya aku peduli.
“Pulang sana! Ibumu bisa gila kalau kamu ikut denganku.”
“Gista, tolonglah. Naik, Gis. Kita sama-sama ke rumah orangtuamu.”
Aku lalu menoleh. Jendela mobil Mas Faris dibuka lebar-lebar. Lampu kabin pun dia nyalakan. Tampak muka pria itu begitu murung dan bersimbah air mata.
“Asal kamu tahu, Mas. Aku sudah tak sudi lagi menjadi istrimu. Harga diriku hancur karena ulah ibumu dan itu sulit sekali untuk kumaafkan. Aku masih bisa hidup tanpa kamu. Camkan itu!” Kutunjuk wajah Mas Faris. Lelaki itu mendadak. Menghentikan laju mobilnya.
Aku pun gegas meninggalkan pria itu di tengah malam yang semakin pekat. Tak kusangka, Mas Faris mengejarku dari belakang. Langkahnya terdengar semakin mendekat dan ….
“Gista, aku minta maaf! Aku sayang kamu, Gis! Tolong jangan ceraikan aku!” Mas Faris memelukku dari belakang sambil berteriak. Teriakannya terdengar sangat nyaring. Kendaraan yang lalu lalang di sekitar kami bahkan beberapa di antaranya sampai berhenti.
Aku malu. Murka. Bagiku, sikap Mas Faris sangat norak dan tak berguna. Makin kuat saja keinginanku untuk meninggalkannya selama-lamanya.
(Bersambung)
BAGIAN 41ENDINGBAHAGIA ADALAH PILIHANKU “Saya terima nikahnya Gista Visesa binti Herlambang dengan mas kawin seratus gram logam mulia dan sebidang tanah seluas 400 meter persegi dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Air mataku sontak menetes. Debaran lembut di dada ini pun kian mengencang saat sosok pria di sebelahku yang mengenakan beskap putih dan blangkon batik di kepalanya tersebut mulai merangkulkan tangannya ke pundak. “Sayang, kita sudah sah,”
BAGIAN 40 Aku hanya membaca pesan tersebut. Tanpa berniat untuk membalasnya kembali. Entah mengapa, hatiku masih kesal saja. Aku pun heran, mengapa perasaan ini bisa sekeras karang jika berhubungan dengan Mas Faris sekeluarga, kecuali Farah tentunya. “Siapa, Gis?” tanya Mama kepadaku. “Ibu.” Mata Mama memicing. “Ibu siapa?” tanyany heran. “Ibunya Mas Faris, Ma,” sahutku pelan. Mas Ken yang sedang memainkan ponsel, langsung menoleh. Mata kami saling bertatap. Entah mengapa, wajah Mas Ken tampak kurang
BAGIAN 39 “Gista, nifasmu masih lama, ya?” Mas Ken bertanya saat dirinya menyambangiku di rumah. Usia Shaki tepat tiga minggu hari ini. Itu artinya, belum juga sebulan tepat aku melahirkan. Eh, Mas Ken malah nanyain nifasku masih lama atau belum. Aku meringis. Tertawa kecil sambil menggendong Shaki. Bocah itu baru selesai menyusu. Kenyang. Saat Mas Ken datang dan mengetuk pintu kamar, anak itu langsung tidur. Aku bawa saja dia ke ruang tengah. Tak hanya ada kami bertiga di sini. Ada Gio yang menemani. Dia berbaring di atas karpet, tak jauh dari tempatku duduk. Sambil mainan ponsel tentunya. Yang jelas, kalau Mas Ken datang ‘mengapel’ aku selalu mengikutsertakan keluargaku. Entah itu Mama, Papa, atau Gio. “Masih, Mas. Kan, nifas itu sel
BAGIAN 38POV BU AGIT “Faris, kamu cuma bikin malu Ibu aja!” Aku murka. Marah besar. Merasa dipermalukan di depan Gista sebab memohon agar perempuan itu mau diajak rujuk oleh anakku. Pulang dari rumah Gista, aku langsung memarahi Faris habis-habisan. Bagiku, anak itu harus kuhajar habis-habisan hari ini! “M-maafkan aku, Bu.” Faris menyahut dengan suaranya yang serak dan terbata. Anak lelaki yang semula sangat kusayangi itu kini duduk berlutut di bawah kakiku. Dia memohon. Tangannya sampai gemetaran saat meminta ampun. “Nggak ada maaf-maafan! Ibu kan, sudah bilang ke kamu, Ris! Jangan mau minta rujuk segala sama Gista! Dia nggak akan mau. Nggak bakalan sudi! Apalagi, sejak kamu kecelakaan itu, nama baikmu sudah tercoreng di masya
BAGIAN 37 Shaki Aiman Emeraldy Faris. Begitulah nama bocah lelaki itu. Bayi tampan berkulit putih dengan bola mata yang cemerlang nan indah. Dialah anakku. Putra semata wayang hasil pernikahanku dengan mantan suami, Mas Faris. Meskipun aku belum bisa melupakan seperti apa kelakuan Mas Faris maupun ibunya, tetap saja tersemat nama Faris di belakang nama anak lelakiku. Tak apa. Dia berhak mendapatkan nama belakang dari nama ayahnya. Anakku memanglah keturunan dari Mas Faris. Walau kami sudah resmi bercerai, Shaki tetaplah darah daging dari mantan suamiku tersebut. Sejak kehadiran Shaki, hidupku rasanya semakin sempurna. Apalagi, bocah itu tidak rewel sama sekali. Dia tidak menangis kencang di tengah malam. Hanya bangun untuk minum ASI dan kembali tidur nyenyak. Shaki
BAGIAN 36Menjelang persalinan Gista ….POV AUTHOR “Izinkan Faris masuk ke dalam, Pa.” Faris memohon pada Herlambang agar bisa masuk ke ruang bersalin mendampingi Gista. Namun, jelas permintaan itu ditolak mentah-mentah. “Kalian bukan suami istri lagi. Kamu cukup menunggu di luar sini. Tolong jangan mengacau.” Herlambang menatap sengit kepada Faris yang beberapa bulan lalu sudah resmi menduda. Tangan Herlambang pun mendorong lengan Faris agar pria itu keluar dari ambang pintu utama ruang kebidanan. Sigap, Herlambang pun kembali masuk seraya menutup pintu. Berjalan menuju bilik di mana Gista tengah mempertaruhkan separuh nyawanya demi kelahiran sang putra pertama. Langkah Faris gontai. Dia terpaksa duduk di