Share

6

last update Last Updated: 2022-01-28 14:11:02

BAGIAN 6

            “Lepas!” Aku berontak. Berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Mas Faris. Apalagi, suara klakson di depan sana terdengar sangat membisingkan gara-gara lalu lintas sempat macet akibat aksi memalukan suamiku.

            “Bikin malu aja!” kataku jengkel.

            Mas Faris pun melepaskan pelukannya. Gegas, aku masuk ke mobil. Mukaku sudah merah sekali pasti. Rasa malu yang mendera akibat jadi tontonan orang ramai, membuatku buru-buru masuk ke mobil untuk menyembunyikan diri.

            Suamiku ikut masuk. Dia buru-buru menyalakan mesin. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menyetir dalam kecepatan sedang.

            “Gis, kamu jangan marah lagi, ya?”

            Aku hanya diam membisu. Tak peduli. Tas yang semula kujinjing kini kuinjak dengan kaki telanjang.

            “Maafin aku. Ibu mungkin sudah sangat keterlaluan,” ucapnya lagi.

            Pikiranku tiba-tiba menerawang jauh. Inikah akibat menikah terlalu instan? Perjumpaan singkat setelah bertahun-tahun tak jumpa. Bahkan, saat di bangku SMA pun, kami tak begitu akrab bahkan hanya tahu nama saja karena pernah satu organisasi yaitu sispala. Itu pun aku tak begitu aktif mengikuti kegiatan.

            Sekonyong-konyong aku menyesal. Kenapa sih, aku terima lamaran Mas Faris, padahal aku tak begitu tahu seluk beluknya? Hanya karena melihat tampilan pria itu seperti tampang baik-baik, aku jadi terbuai. Apalagi ketika dia menawarkan sebuah hadiah hapalan surat Ar-Rahman di akad nikah kami. Ya Allah, aku yang polos pun jadi terbujuk. Kupikir, suamiku pasti berasal dari kalangan agamis yang taat agama. Orangtuanya pasti baik sekali. Nyatanya?

            “Gis, kenapa kamu diam saja?” tanya Mas Faris pelan.

            “Andai waktu bisa kuputar kembali,” gumamku seraya bersandar di jendela mobil.

            “Jangan begitu. Artinya kamu tidak terima ketentuan Allah.”

            Aku tersenyum kecil. Pandai sekali suamiku berkhotbah. Wajar bila aku terbuai selama ini. Maklum jika aku rela melepaskan segala kenikmatan hidup demi menghamba-sahaya di rumahnya yang besar itu.

            “Ucapanmu sangat meyakinkan, Mas,” sahutku sambil menatap nanar ke arah jalanan.

            “Gis, kita tidak usah bahas itu dulu, ya? Sekarang, kita ke rumah orangtuamu. Aku mohon sekali, jangan cerita yang tidak-tidak. Nanti, rumah tangga kita bisa rusak karena reaksi orangtuamu, Gis. Belum tentu yang kamu ceritakan nanti itu bisa diterima oleh Mama-Papa.”

            Aku menelan liur. Pahit rasanya. Dengarlah. Bukankah dia tengah mengintimidasiku? Bukankah Mas Faris tengah berusaha memanipulasiku? Oh, tentu saja aku tak akan menurut. Lihat saja nanti apa yang bakal kulakukan di depan kedua orangtuaku.

            “Gis, kamu dengar Mas, kan?”

            “Ya, aku dengar,” sahutku pura-pura manis. Kulempar pandangan ke arah Mas Faris. Menatapnya dalam-dalam.

            “Ibu sebenarnya sayang sekali sama kita. Mungkin, dia sedang lelah, Gis. Kamu harap maklum saja.”

            “Begitu, ya?” tanyaku dengan menahan dongkol.

            “Ya. Namanya juga orangtua, Sayang. Aku sebenarnya tidak ingin kita meninggalkan rumah seperti ini. Namun, semua demimu, Gis. Apa pun akan kulakukan, termasuk bertingkah kurang ajar pada ibuku sendiri. Aku takut sekali sebenarnya. Takut durhaka. Akan tetapi … aku juga takut kehilangan kamu.”

            Wow! So sweet dan terdengar sangat sopan. Kalau kamu jadi tahanan, pasti vonis hukumanmu akan dihapuskan oleh hakim sebab sudah bertingkah sangat sopan di pengadilan.

            “Aku ingin menenangkan pikiranmu dulu khusus untuk malam ini. Selebihnya, kita harus pulang ya, Gis? Bagaimanapun, seorang istri itu kalau sudah bersuami, pada suaminyalah dia harus menurut. Di rumah suaminyalah dia harus tinggal.”

            What the … siapa juga yang masih mau menjadi istrimu rupanya, Mas? Kamu terlalu percaya diri. Ketimbang aku harus tinggal di neraka dunia itu, baiknya aku menjanda dan hidup sebebas burung camar di tepi pantai sana!

(Bersambung)

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
h-d
istri gak ada akhlak!!! diagama gak siajarain kek gitu deh....
goodnovel comment avatar
Laiqanisa olethea
trus kok gampang banget mau cerai?, pdhl di cari penyelesaiannya aja belum, kan bisa usulin pindah dari rumah mertua kepada suaminya?
goodnovel comment avatar
Laiqanisa olethea
rada lebay ceritanya, kemarahan yg ditampilkan nggak sesuai dengan masalahnya. kemarahan seperti yg ditampilkan gista itu seharusnya karena sakit hati yg dipendam berlarut larut. kan kejadian baru 1x mertuanya ngomongin dia. bukan berarti kelakuan mertuanya benar ya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   41

    BAGIAN 41ENDINGBAHAGIA ADALAH PILIHANKU “Saya terima nikahnya Gista Visesa binti Herlambang dengan mas kawin seratus gram logam mulia dan sebidang tanah seluas 400 meter persegi dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Air mataku sontak menetes. Debaran lembut di dada ini pun kian mengencang saat sosok pria di sebelahku yang mengenakan beskap putih dan blangkon batik di kepalanya tersebut mulai merangkulkan tangannya ke pundak. “Sayang, kita sudah sah,”

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   40

    BAGIAN 40 Aku hanya membaca pesan tersebut. Tanpa berniat untuk membalasnya kembali. Entah mengapa, hatiku masih kesal saja. Aku pun heran, mengapa perasaan ini bisa sekeras karang jika berhubungan dengan Mas Faris sekeluarga, kecuali Farah tentunya. “Siapa, Gis?” tanya Mama kepadaku. “Ibu.” Mata Mama memicing. “Ibu siapa?” tanyany heran. “Ibunya Mas Faris, Ma,” sahutku pelan. Mas Ken yang sedang memainkan ponsel, langsung menoleh. Mata kami saling bertatap. Entah mengapa, wajah Mas Ken tampak kurang

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   39

    BAGIAN 39 “Gista, nifasmu masih lama, ya?” Mas Ken bertanya saat dirinya menyambangiku di rumah. Usia Shaki tepat tiga minggu hari ini. Itu artinya, belum juga sebulan tepat aku melahirkan. Eh, Mas Ken malah nanyain nifasku masih lama atau belum. Aku meringis. Tertawa kecil sambil menggendong Shaki. Bocah itu baru selesai menyusu. Kenyang. Saat Mas Ken datang dan mengetuk pintu kamar, anak itu langsung tidur. Aku bawa saja dia ke ruang tengah. Tak hanya ada kami bertiga di sini. Ada Gio yang menemani. Dia berbaring di atas karpet, tak jauh dari tempatku duduk. Sambil mainan ponsel tentunya. Yang jelas, kalau Mas Ken datang ‘mengapel’ aku selalu mengikutsertakan keluargaku. Entah itu Mama, Papa, atau Gio. “Masih, Mas. Kan, nifas itu sel

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   38

    BAGIAN 38POV BU AGIT “Faris, kamu cuma bikin malu Ibu aja!” Aku murka. Marah besar. Merasa dipermalukan di depan Gista sebab memohon agar perempuan itu mau diajak rujuk oleh anakku. Pulang dari rumah Gista, aku langsung memarahi Faris habis-habisan. Bagiku, anak itu harus kuhajar habis-habisan hari ini! “M-maafkan aku, Bu.” Faris menyahut dengan suaranya yang serak dan terbata. Anak lelaki yang semula sangat kusayangi itu kini duduk berlutut di bawah kakiku. Dia memohon. Tangannya sampai gemetaran saat meminta ampun. “Nggak ada maaf-maafan! Ibu kan, sudah bilang ke kamu, Ris! Jangan mau minta rujuk segala sama Gista! Dia nggak akan mau. Nggak bakalan sudi! Apalagi, sejak kamu kecelakaan itu, nama baikmu sudah tercoreng di masya

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   37

    BAGIAN 37 Shaki Aiman Emeraldy Faris. Begitulah nama bocah lelaki itu. Bayi tampan berkulit putih dengan bola mata yang cemerlang nan indah. Dialah anakku. Putra semata wayang hasil pernikahanku dengan mantan suami, Mas Faris. Meskipun aku belum bisa melupakan seperti apa kelakuan Mas Faris maupun ibunya, tetap saja tersemat nama Faris di belakang nama anak lelakiku. Tak apa. Dia berhak mendapatkan nama belakang dari nama ayahnya. Anakku memanglah keturunan dari Mas Faris. Walau kami sudah resmi bercerai, Shaki tetaplah darah daging dari mantan suamiku tersebut. Sejak kehadiran Shaki, hidupku rasanya semakin sempurna. Apalagi, bocah itu tidak rewel sama sekali. Dia tidak menangis kencang di tengah malam. Hanya bangun untuk minum ASI dan kembali tidur nyenyak. Shaki

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   36

    BAGIAN 36Menjelang persalinan Gista ….POV AUTHOR “Izinkan Faris masuk ke dalam, Pa.” Faris memohon pada Herlambang agar bisa masuk ke ruang bersalin mendampingi Gista. Namun, jelas permintaan itu ditolak mentah-mentah. “Kalian bukan suami istri lagi. Kamu cukup menunggu di luar sini. Tolong jangan mengacau.” Herlambang menatap sengit kepada Faris yang beberapa bulan lalu sudah resmi menduda. Tangan Herlambang pun mendorong lengan Faris agar pria itu keluar dari ambang pintu utama ruang kebidanan. Sigap, Herlambang pun kembali masuk seraya menutup pintu. Berjalan menuju bilik di mana Gista tengah mempertaruhkan separuh nyawanya demi kelahiran sang putra pertama. Langkah Faris gontai. Dia terpaksa duduk di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status