Share

5. Masih Berdebar?

“Kamu nggak pernah bilang punya teman bernama Ali?”

Nadya tergagap. Dia memandang suaminya dan Ali bergantian. Belum sempat Nadya membuka mulut, Ali mendahului bicara, “Mungkin dia lupa,” ucapnya tenang, “dia terlalu pelupa untuk mengingat aku.

Lagi pula, kami baru bertemu setelah lebih dari sepuluh tahun,” lanjutnya.

Ali beralih pada Tasya dan menyerahkan boneka panda itu padanya dan menatap teduh seakan ada sesuatu di wajah bocah itu yang sangat menarik perhatiannya.

“Sya ... Papa udah pulang, Uncle ke sana dulu, ya?” tunjuknya pada salah satu sudut halaman rumah Minarti di mana pemuda berpakaian serupa tengah berkumpul.

Tasya mengangguk. “Makasih, Uncle.”

Ali menarik kedua sisi bibirnya. Lalu mengacak gemas rambut bocah itu. “Titip Panda, dijaga baik-baik. Janji?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking. Tasya menyambut riang.

Ali bangkit. Dia memandang Nadya dan Pramono bergantian sebelum melenggang pergi.

Di sampingnya, pandangan Pramono masih mengikuti Ali sampai panggilan Tasya mengalihkannya, “Pa, tadi Tasya mandi bola,” ucap Tasya mengalihkan sang ayah padanya.

“Oya?” sahut Pramono. Dia melirik Nadya sesaat, lalu putrinya. “Terus apa lagi?”

“Trampolin ...”

“Terus ...”

Seharusnya, ini sudah berakhir. Namun, jauh dalam lubuk hati Nadya, dia  justru cemas memikirkan apa yang mungkin suaminya pikirkan setelah ini.

***

“Mas keluar, ya. Kamu di sini, atau?”

“Nad nyusul nanti, Mas. Tasya biar lelap dulu.”

Pramono mengangguk. Sebuah kecupan Nadya terima sebelum melangkah suaminya keluar kamar.

‘Ya, benar begini. Ini sudah benar,’ Nadya berbisik dalam hati tepat setelah suaminya menghilang di balik tirai. Diusapnya wajah lembut Tasya, dan mengecupnya.

Nadya bangkit mendekati meja rias. Disapunya tipis pelembab, lalu bedak ke wajah. Pemulas bibir, dia oleskan untuk sentuhan terakhir hanya agar tak terlalu pucat.

Berbeda dari siang tadi, malam ini Nadya tak benar-benar semangat untuk mengikuti acara. Terlihat dari bagaimana dia hanya menutupi homedressnya dengan cardigan, dan rambut yang diikatnya asal-asalan.

Setelah sekali lagi mengecup pipi sang putri, Nadya melangkah keluar, dan mengendap ke balik tirai pembatas antara aula dengan rumah Minarti, duduk menyendiri.

Hujan sejak sore, menjadikan malam terasa membeku. Nadya memeluk tubuh di antara aktivitas menyimak ceramah pemuka agama yang sengaja dihadirkan.

“... maka dari itu, kunci kebahagiaan rumah tangga ada pada kepercayaan dan saling menghargai ...”

Belum sampai Nadya mendengar lebih banyak, sebuah gelas berisi teh terulur tepat di depannya. Nadya melihatnya sekian detik sebelum mengangkat wajah.

Bagai tersengat listrik, panas menjalar ke sekujur tubuh Nadya. Sesaat dipandangnya seseorang yang menyunggingkan selarik senyum itu sebelum menerima gelas darinya.

“Minum?” ucapnya.

Lihat ... alangkah baiknya jika aku tidak pernah lagi melihat senyum itu.’

Nadya menerima gelas itu laku menunduk. Helaan napasnya mendadak terasa berat. “Makasih,” ucapnya.

Hening menggantung beberapa saat.

“Kenapa Mas nggak ikut kumpul bareng di sana?” Pandangannya Nadya tertuju pada gelas di tangan saat rasa hangat mulai mengambil alih, menggantikan dingin yang sejak tadi menyerang.

Ali terkekeh. “Kau sendiri kenapa di sini?” jawabnya justru bertanya tanpa benar-benar melihat ke arah Nadya.

“Aku menghindarimu.”

“Tapi kau justru tertangkap olehku.”

Nadya menghela napas dalam. “Berhentilah bersikap seperti ini!”

“Seperti apa?”

Nadya menguatkan gerahamnya. Tak mungkin mengatakan yang sebenarnya, dia memilih bungkam.

“Malam ini dingin, ‘kan?” tanya Ali setelah hening cukup lama.

Nadya sama sekali tak bisa fokus pada isi ceramah dari panggung akibat kebekuan yang mendadak menyerang suasana. Berada di dekat Ali, membuatnya merasa lebih menggigil dari sebelumnya.

Sementara di sampingnya, Ali justru tampak menikmati keheningan itu. Sama seperti dua belas tahun lalu.

Lagi-lagi, ingatan Nadya menggelincir jauh. Ada malam di mana dia dan Ali sempat duduk berdua. Meski tak banyak kata yang terucap, namun cukup membuatnya melayang sepanjang malam.

Nalam itu, Ali yang sekian lama terlihat pendiam tiba-tiba mengajaknya pergi.

“Ke mana?” Nadya penasaran.

Tak ada jawaban melainkan seulas senyum tipis. Laki-laki itu melangkah mendahului Nadya, menyalakan mesin motornya.

Ali membawa Nadya menembus dinginnya malam. Tak berselang lama, motor berhenti di pelataran warung bakso. Cuaca hujan, menjebak mereka untuk tetap duduk di warung bambu itu bahkan setelah isi mangkok mereka habis.

“Hari ini dingin, ‘kan?”

“Ya.”

“Kali ini mau kopi?”

Nadya menggeleng. Dan Ali hanya tersenyum.

Selebihnya hanya hening. Laki-laki itu lebih suka mengamati hujan daripada perempuan di depannya. Namun itu sudah cukup untuk membuat Nadya bahagia tak terkira.

Nadya tersenyum samar menyadari Ali sama sekali belum berubah. Namun segera lenyap ketika keadaan melemparnya pada kenyataan.

“Makasih untuk siang tadi. Tolong jangan diulangi lagi!” ucapnya.

Walau bagaimana pun Ali sudah membawa Tasya dengan selamat. Dia merasa perlu berterima kasih untuk itu.

Ali tak langsung menyahut. Dia masih menatap kosong ke depan sana sampai beberapa saat.

“Apa ada kemungkinan untuk melakukan itu lagi?” ucapnya sembari menoleh. Pandangan mereka bertemu.

Pertanyaan itu terdengar ambigu di telinga Nadya. Tanpa sadar, dipindainya wajah Ali cukup lama hingga membuatnya menahan napas.

Menyadari kebingungan Nadya, Ali kembali bicara, “Maksudku, apa mungkin aku main—bareng Tasya lagi?” jelasnya dengan menekankan dua kata “main” dan “bareng”.

Nadya berpaling lalu membuang napas dalam. Dialah yang salah mencerna kalimat itu dan berpikir bahwa Ali mungkin punya maksud lain.

“Aku merasa bermain denganmu saat bersama Tasya. Sesaat, aku bahkan lupa kalau dia masih punya ayah,” ujar Ali nyaris seperti bisikan.

Wajah itu kini menunduk yang dalam pandangan Nadya justru menyiratkan kepedihan mendalam. “Dulu, kau sering—“

“Mas,” sela Nadya, “itu sudah berlalu. Tak perlu diingat lagi!” Nadya tak sanggup mendengarnya.

Nostalgia, akan terasa indah ketika bersama orang tepat. Namun, Nadya yakin, sama seperti dirinya yang tertekan, hal yang sama juga Ali rasakan. Tidak ada yang lebih menyakitkan melebihi rindu yang tak mungkin tersampaikan.

Ali tersenyum sumir. “Ini salahku. Aku minta maaf. Bertemu kau, bahagia dan sakit berbaur menjadi satu. Aku bahkan tak bisa membedakan yang mana.”

“Bagaimana pun, itu sudah berlalu.”

“Itu benar,” Ali mengangguk samar, “terlambat semuanya,” lanjutnya lalu menghela napas dalam.

“Maaf, sebaiknya Mas lupakan saja semua itu. Tak baik membahas itu dengan wanita bersuami,” desis Nadya di antara upaya meredam gejolak hati yang tak mau tenang. Begitu bergemuruhnya sampai perempuan itu takut Ali mendengarnya.

Ali terkekeh. “Kenapa? Hatimu kembali berdebar? Atau—masih?” Pertanyaan itu terdengar seperti godaan yang disengaja, seakan bagi Ali itu bukan apa-apa.

Tapi kedua alis di antara dahi mengernyit itu, jelas lebih jujur dari bibir yang mengembang. Nadya tahu, hatinya lebih terluka lebih dari apa yang bisa dia lihat.

Kesal mendengar tebakan yang tepat sasaran, Nadya bangkit.

“Tolong, Mas ...” ucapnya nyaris seperti pengemis yang meminta belas kasihan. Berharap Ali tahu, bahwa membicarakan ini sekarang hanya menambah penyesalan di hatinya. Membuatnya seperti pembohong yang mengalami perundungan oleh perasaan sendiri.

Menyesakkan.

Memuakkan.

Nadya menutup wajah jengah.

Sesaat raut di wajah Ali berubah pilu. Lalu kembali menyunggingkan senyum samar.

Detik berikutnya laki-laki itu bangkit. “Maaf,” ucapnya, lancang mengusap pucuk kepala perempuan itu. Sementara Nadya hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kekacauan hatinya, lalu mengangkat wajah saat perlahan usapan lembut itu turun ke pipi. Nadya merasakan hangat jemari mengusap separuh wajahnya.

Senyum di wajah Ali memudar dalam tarikan napas dalam. Berganti tatapan getir, sebelum melangkah pergi.

To be continue ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status