“Kamu nggak pernah bilang punya teman bernama Ali?”
Nadya tergagap. Dia memandang suaminya dan Ali bergantian. Belum sempat Nadya membuka mulut, Ali mendahului bicara, “Mungkin dia lupa,” ucapnya tenang, “dia terlalu pelupa untuk mengingat aku.
Lagi pula, kami baru bertemu setelah lebih dari sepuluh tahun,” lanjutnya.
Ali beralih pada Tasya dan menyerahkan boneka panda itu padanya dan menatap teduh seakan ada sesuatu di wajah bocah itu yang sangat menarik perhatiannya.
“Sya ... Papa udah pulang, Uncle ke sana dulu, ya?” tunjuknya pada salah satu sudut halaman rumah Minarti di mana pemuda berpakaian serupa tengah berkumpul.
Tasya mengangguk. “Makasih, Uncle.”
Ali menarik kedua sisi bibirnya. Lalu mengacak gemas rambut bocah itu. “Titip Panda, dijaga baik-baik. Janji?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking. Tasya menyambut riang.
Ali bangkit. Dia memandang Nadya dan Pramono bergantian sebelum melenggang pergi.
Di sampingnya, pandangan Pramono masih mengikuti Ali sampai panggilan Tasya mengalihkannya, “Pa, tadi Tasya mandi bola,” ucap Tasya mengalihkan sang ayah padanya.
“Oya?” sahut Pramono. Dia melirik Nadya sesaat, lalu putrinya. “Terus apa lagi?”
“Trampolin ...”
“Terus ...”
Seharusnya, ini sudah berakhir. Namun, jauh dalam lubuk hati Nadya, dia justru cemas memikirkan apa yang mungkin suaminya pikirkan setelah ini.
***
“Mas keluar, ya. Kamu di sini, atau?”
“Nad nyusul nanti, Mas. Tasya biar lelap dulu.”
Pramono mengangguk. Sebuah kecupan Nadya terima sebelum melangkah suaminya keluar kamar.
‘Ya, benar begini. Ini sudah benar,’ Nadya berbisik dalam hati tepat setelah suaminya menghilang di balik tirai. Diusapnya wajah lembut Tasya, dan mengecupnya.
Nadya bangkit mendekati meja rias. Disapunya tipis pelembab, lalu bedak ke wajah. Pemulas bibir, dia oleskan untuk sentuhan terakhir hanya agar tak terlalu pucat.
Berbeda dari siang tadi, malam ini Nadya tak benar-benar semangat untuk mengikuti acara. Terlihat dari bagaimana dia hanya menutupi homedressnya dengan cardigan, dan rambut yang diikatnya asal-asalan.
Setelah sekali lagi mengecup pipi sang putri, Nadya melangkah keluar, dan mengendap ke balik tirai pembatas antara aula dengan rumah Minarti, duduk menyendiri.
Hujan sejak sore, menjadikan malam terasa membeku. Nadya memeluk tubuh di antara aktivitas menyimak ceramah pemuka agama yang sengaja dihadirkan.
“... maka dari itu, kunci kebahagiaan rumah tangga ada pada kepercayaan dan saling menghargai ...”
Belum sampai Nadya mendengar lebih banyak, sebuah gelas berisi teh terulur tepat di depannya. Nadya melihatnya sekian detik sebelum mengangkat wajah.
Bagai tersengat listrik, panas menjalar ke sekujur tubuh Nadya. Sesaat dipandangnya seseorang yang menyunggingkan selarik senyum itu sebelum menerima gelas darinya.
“Minum?” ucapnya.
‘Lihat ... alangkah baiknya jika aku tidak pernah lagi melihat senyum itu.’
Nadya menerima gelas itu laku menunduk. Helaan napasnya mendadak terasa berat. “Makasih,” ucapnya.
Hening menggantung beberapa saat.
“Kenapa Mas nggak ikut kumpul bareng di sana?” Pandangannya Nadya tertuju pada gelas di tangan saat rasa hangat mulai mengambil alih, menggantikan dingin yang sejak tadi menyerang.
Ali terkekeh. “Kau sendiri kenapa di sini?” jawabnya justru bertanya tanpa benar-benar melihat ke arah Nadya.
“Aku menghindarimu.”
“Tapi kau justru tertangkap olehku.”
Nadya menghela napas dalam. “Berhentilah bersikap seperti ini!”
“Seperti apa?”
Nadya menguatkan gerahamnya. Tak mungkin mengatakan yang sebenarnya, dia memilih bungkam.
“Malam ini dingin, ‘kan?” tanya Ali setelah hening cukup lama.
Nadya sama sekali tak bisa fokus pada isi ceramah dari panggung akibat kebekuan yang mendadak menyerang suasana. Berada di dekat Ali, membuatnya merasa lebih menggigil dari sebelumnya.
Sementara di sampingnya, Ali justru tampak menikmati keheningan itu. Sama seperti dua belas tahun lalu.
Lagi-lagi, ingatan Nadya menggelincir jauh. Ada malam di mana dia dan Ali sempat duduk berdua. Meski tak banyak kata yang terucap, namun cukup membuatnya melayang sepanjang malam.
Nalam itu, Ali yang sekian lama terlihat pendiam tiba-tiba mengajaknya pergi.
“Ke mana?” Nadya penasaran.
Tak ada jawaban melainkan seulas senyum tipis. Laki-laki itu melangkah mendahului Nadya, menyalakan mesin motornya.
Ali membawa Nadya menembus dinginnya malam. Tak berselang lama, motor berhenti di pelataran warung bakso. Cuaca hujan, menjebak mereka untuk tetap duduk di warung bambu itu bahkan setelah isi mangkok mereka habis.
“Hari ini dingin, ‘kan?”
“Ya.”
“Kali ini mau kopi?”
Nadya menggeleng. Dan Ali hanya tersenyum.
Selebihnya hanya hening. Laki-laki itu lebih suka mengamati hujan daripada perempuan di depannya. Namun itu sudah cukup untuk membuat Nadya bahagia tak terkira.
Nadya tersenyum samar menyadari Ali sama sekali belum berubah. Namun segera lenyap ketika keadaan melemparnya pada kenyataan.
“Makasih untuk siang tadi. Tolong jangan diulangi lagi!” ucapnya.
Walau bagaimana pun Ali sudah membawa Tasya dengan selamat. Dia merasa perlu berterima kasih untuk itu.
Ali tak langsung menyahut. Dia masih menatap kosong ke depan sana sampai beberapa saat.
“Apa ada kemungkinan untuk melakukan itu lagi?” ucapnya sembari menoleh. Pandangan mereka bertemu.
Pertanyaan itu terdengar ambigu di telinga Nadya. Tanpa sadar, dipindainya wajah Ali cukup lama hingga membuatnya menahan napas.
Menyadari kebingungan Nadya, Ali kembali bicara, “Maksudku, apa mungkin aku main—bareng Tasya lagi?” jelasnya dengan menekankan dua kata “main” dan “bareng”.
Nadya berpaling lalu membuang napas dalam. Dialah yang salah mencerna kalimat itu dan berpikir bahwa Ali mungkin punya maksud lain.
“Aku merasa bermain denganmu saat bersama Tasya. Sesaat, aku bahkan lupa kalau dia masih punya ayah,” ujar Ali nyaris seperti bisikan.
Wajah itu kini menunduk yang dalam pandangan Nadya justru menyiratkan kepedihan mendalam. “Dulu, kau sering—“
“Mas,” sela Nadya, “itu sudah berlalu. Tak perlu diingat lagi!” Nadya tak sanggup mendengarnya.
Nostalgia, akan terasa indah ketika bersama orang tepat. Namun, Nadya yakin, sama seperti dirinya yang tertekan, hal yang sama juga Ali rasakan. Tidak ada yang lebih menyakitkan melebihi rindu yang tak mungkin tersampaikan.
Ali tersenyum sumir. “Ini salahku. Aku minta maaf. Bertemu kau, bahagia dan sakit berbaur menjadi satu. Aku bahkan tak bisa membedakan yang mana.”
“Bagaimana pun, itu sudah berlalu.”
“Itu benar,” Ali mengangguk samar, “terlambat semuanya,” lanjutnya lalu menghela napas dalam.
“Maaf, sebaiknya Mas lupakan saja semua itu. Tak baik membahas itu dengan wanita bersuami,” desis Nadya di antara upaya meredam gejolak hati yang tak mau tenang. Begitu bergemuruhnya sampai perempuan itu takut Ali mendengarnya.
Ali terkekeh. “Kenapa? Hatimu kembali berdebar? Atau—masih?” Pertanyaan itu terdengar seperti godaan yang disengaja, seakan bagi Ali itu bukan apa-apa.
Tapi kedua alis di antara dahi mengernyit itu, jelas lebih jujur dari bibir yang mengembang. Nadya tahu, hatinya lebih terluka lebih dari apa yang bisa dia lihat.
Kesal mendengar tebakan yang tepat sasaran, Nadya bangkit.
“Tolong, Mas ...” ucapnya nyaris seperti pengemis yang meminta belas kasihan. Berharap Ali tahu, bahwa membicarakan ini sekarang hanya menambah penyesalan di hatinya. Membuatnya seperti pembohong yang mengalami perundungan oleh perasaan sendiri.
Menyesakkan.
Memuakkan.
Nadya menutup wajah jengah.
Sesaat raut di wajah Ali berubah pilu. Lalu kembali menyunggingkan senyum samar.
Detik berikutnya laki-laki itu bangkit. “Maaf,” ucapnya, lancang mengusap pucuk kepala perempuan itu. Sementara Nadya hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kekacauan hatinya, lalu mengangkat wajah saat perlahan usapan lembut itu turun ke pipi. Nadya merasakan hangat jemari mengusap separuh wajahnya.
Senyum di wajah Ali memudar dalam tarikan napas dalam. Berganti tatapan getir, sebelum melangkah pergi.
To be continue ...
Tujuh tahun sebelumnya. Deru knalpot terdengar berhenti di halaman rumah Ikhsan. Tak berselang lama, Nadya mendengar sapaan salam. Dadanya tiba-tiba memanas disusul debar tak beraturan. Dia kenal suara itu. Dengan langkah buru-buru, Nadya berlari ke arah jendela. Membuka tirainya sedikit, demi memuaskan rasa ingin tahunya. Lalu debar-debar halus itu kian menggila saat akhirnya, dia benar-benar melihat siapa yang datang. ‘Nggak mungkin, ‘kan? Mau apa dia?’ Nadya menggigit bibir. Ada yang seketika bergemuruh, namun Nadya tak bisa menghentikannya. Setelah sekali lagi mencoba menenangkan diri, hati-hati Nadya membuka pintu. Lalu tampaklah wajah Ali dihiasi selarik senyum lembut di antara sorot mata teduhnya. “M—Mas Ali ... ?” “Ya.” Ali kembali mengulum senyum. “Aku.” “S—silakan, Mas.” Nadya menggeser diri, memberi jalan pada Ali untuk masuk. Lalu mempersilakannya duduk. Masih tak percaya pada apa yang dilihat, sesaat Nadya berdiri kikuk memandang laki-laki itu seperti orang bodoh y
Sepanjang perjalanan, hanya deru knalpot yang terdengar karena keduanya tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing. Ali dengan pertanyaan bagaimana cara meyakinkan orang tua Nadya untuk mengubah keputusannya. Dan Nadya dengan perasaan campur aduk yang lebih banyak dia keluarkan dengan air mata. Ali melirik kaca spion. Tangan kirinya terulur untuk membetulkan letaknya agar bisa menangkap pantulan seseorang di balik punggung. Seseorang yang tubuhnya bergetar sejak kedatangannya tadi. Seseorang yang dia kecewakan meski selama ini tahu bagaimana perasaannya sejak dulu. Di kafe bambu tak jauh dari rumah mereka, Ali membawa Nadya masuk. Sengaja dia memilih kursi paling ujung dekat jendela karena cuaca mendadak hujan. Bukan hanya karena dia suka suasananya, tapi juga itu jarak terjauh dari pengunjung lain. Mencegah orang mendengar apa pun yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, dua cangkir kopi tersaji lengkap dengan kue keju kesukaan Nadya. Rasa manis adalah buster terbaik saat hati s
Akan ada masa kita menyesal pada apa yang telah terjadi. Itulah sebab, pentingnya memikirkan dengan baik sebelum menentukan pilihan. Menghindari penjara berupa “andai-andai” yang tak mungkin terulang lagi. Tepat pukul sebelas malamnya, kajian walimah selesai. Setelah seharian hatinya terguncang oleh pertemuan dengan Ali, Nadya memutuskan pulang. Dia beruntung karena Tasya biasanya akan rewel jika tidur bukan di rumahnya, dan kini dia memiliki alasan pulang. “Nggak nginep aja, Nduk?” Dinar bertanya penuh harap. “Maunya, Bu, tapi tahu kan, Tasya susah tidur di tempat asing.” Dinar mengangguk. Meski firasatnya sebagai orang tua terlalu terasah untuk dibohongi setelah melihat mata sembab putrinya lagi sejak bertemu Ali. Dinar tahu itu. Tak hanya itu, dia juga sempat melihat Ali menyusul Nadya duduk di teras, beberapa jam lalu. Dan memang di sanalah. Tepat di halaman rumah tak jauh dari rumah mertua Dinar, seorang lelaki tengah diam-diam memandang putrinya di balik gelapnya malam. Pemu
Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu. “Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya. Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai. “Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta. “Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut. “Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan. “Tapi Tasya mau
“Halo, Al,” Pramono menyapa Ali yang kedapatan tengah duduk sendirian di jajaran kursi tamu yang hampir kosong. Sebagian besar tamu sudah meninggalkan acara, menyisakan beberapa orang saja. Ali menoleh. “Yo.” “Sendirian aja?” Pram kembali bertanya. Lalu menyusul duduk di samping Ali setelah meraih satu gelas teh hangat di meja tak jauh dari mereka. Ali mengangguk. Di tangannya ponsel masih menyala. Dan segera dia masukkan ke saku. Pramono yakin dia sempat melihat foto seorang bocah bergaun putih dengan rambut terikat, yang diambil dari arah samping. Sekilas, tampak mirip Tasya. “Thanks, tadi sudah membawa Tasya main.” Pramono meletakkan teh yang baru disesapnya ke atas meja, “tak menyangka, Tasya akan secepat itu akrab dengan orang asing.” Ali mengangguk samar. “Bukan masalah. Tasya anak penurut, walaupun sedikit keras kepala.” Ali menarik sebelah bibirnya. “Persis seseorang.” Pramono sempat menangkap ekspresi itu. Dan itu sedikit mengganggunya. Tepatnya, pada kalimat, ‘persis
Pintu terbuka. Hal pertama yang terlihat adalah sorot teduh di bawah topi hitam. Dahi lebar. Alis tebal. Hidung mancung. Bibir tipis lengkap dengan senyumnya yang meski samar, namun Nadya bisa melihatnya dengan jelas. Rahang tegas dengan jenggot tipis yang terarsir, menambah gagah sosok Ali yang Nadya kenal dulu. Menawan. Terutama kedua mata yang hampir selalu menyipit saat tersenyum, namun entah bagaimana bagi Nadya justru bagai lautan dalam yang siap menenggelamkan kapan saja. Nadya berdengap. Dia nyaris kehabisan napas setiap kali memandang wajah itu, dulu. Dan, bagaimana mungkin hal yang sama terjadi lagi sekarang? “Uncle ...” Tasya memanggil. Ali menoleh. Nadya tergagap. Panggilan Tasya seketika memecah keheningan di antara mereka. Nadya nyaris lupa ada Tasya di antara mereka. Tak butuh waktu lama untuk Tasya berada dalam gendongan Ali. Sebuah kecupan mendarat di pipinya, bocah itu tergelak akibat rasa geli. Ali kembali memandang Nadya dengan senyum samar. Seakan pertemuan
“Jadi, apa boleh kubawa Tasya?” Nadya berpaling. Jelas saja tidak. Dan Ali tahu itu. “Aku dibayar untuk menjaga anakmu, suka atau tidak suka.” Nadya mendengkus. Dia bangkit. Mengabaikan pening yang berdenyut setiap kali melangkah, Nadya berjalan memasuki kamar dan duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan mengepal. Hatinya geram menerka apa yang sebenarnya Pramono pikirkan. Membiarkan laki-laki lain datang saat istri sendirian di rumah, apa dia sudah gila? Nadya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama kontak orang yang belum lama meneleponnya tadi. Nada sambung mendengung berkali-kali. Pramono tak kunjung mengangkatnya. Hingga pada putaran ke enam, terdengar sapaan salam di ujung sana. “Assalamualaikum, ada apa, Sayang. Mas lag—“ Belum selesai Pramono mengucap, Nadya memotongnya, “Apa Mas gila?” ucapnya ketus. Gerahamnya beradu. Debar jantungnya berkejaran. Begitu marah sampai tubuhnya bergetar. “Dek, kenapa kok tiba-tiba
Nadya tersentak bangun saat antara sadar dan tidak dia merasa seseorang baru saja keluar dari kamarnya. Seiring kesadaran yang mulai terkumpul, pandangannya mengedar. Tak ada siapa pun di sana. Artinya, itu hanya perasaannya saja. Namun prasangka itu segera lenyap, tepat ketika pandangannya tertuju pada pintu kamar. Dia yakin benar, tidak betul-betul menutupnya tadi. Lalu, benarkah ada seseorang? Siapa? Mas Pram kah? Nadya bertanya-tanya. Tepat ketika menurunkan kakinya dari ranjang, Nadya menyadari sebuah selimut telah menutupinya. Kini dia yakin, seseorang memang baru keluar dari kamarnya. Nadya mengusap wajah. Dia merasa, hanya terlelap sebentar. ‘Jam berapa sekarang?’ Gelisah, Nadya melangkah turun. Cahaya berdenyar, memenuhi ruangan sesaat setelah ditekannya sakelar lampu. Wajah yang semula sedikit segar, seketika berubah pias begitu menoleh ke dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Dua jam sudah dia tertidur. Dan itu jelas bukan waktu yang singkat. ‘Astaga,