Tujuh tahun sebelumnya.
Deru knalpot terdengar berhenti di halaman rumah Ikhsan. Tak berselang lama, Nadya mendengar sapaan salam. Dadanya tiba-tiba memanas disusul debar tak beraturan. Dia kenal suara itu.
Dengan langkah buru-buru, Nadya berlari ke arah jendela. Membuka tirainya sedikit, demi memuaskan rasa ingin tahunya. Lalu debar-debar halus itu kian menggila saat akhirnya, dia benar-benar melihat siapa yang datang.
‘Nggak mungkin, ‘kan? Mau apa dia?’ Nadya menggigit bibir.
Ada yang seketika bergemuruh, namun Nadya tak bisa menghentikannya. Setelah sekali lagi mencoba menenangkan diri, hati-hati Nadya membuka pintu. Lalu tampaklah wajah Ali dihiasi selarik senyum lembut di antara sorot mata teduhnya.
“M—Mas Ali ... ?”
“Ya.” Ali kembali mengulum senyum. “Aku.”
“S—silakan, Mas.”
Nadya menggeser diri, memberi jalan pada Ali untuk masuk. Lalu mempersilakannya duduk. Masih tak percaya pada apa yang dilihat, sesaat Nadya berdiri kikuk memandang laki-laki itu seperti orang bodoh yang tak tahu harus melakukan apa.
“Mau duduk di sini?” tanya Ali sembari menunjuk sebelah tempatnya duduk.
Nadya terenyak kaget. Lalu menggeleng pada detik berikutnya. “A—ada perlu apa ya, Mas?”
“Mau ketemu Kang Ikhsan, dan ...
... kamu.”
“A—aku?” ulangnya kebingungan. Kedatangannya saja sudah merupakan kejutan bagi gadis itu, apalagi jawabannya.
“Ka—kalau gitu, aku ... panggilkan ayah dulu.” Nadya berbalik dengan hati yang mulai diselimuti kecemasan.
Pemuda dewasa. Datang dan mengatakan ingin bertemu orang tuanya setelah selama ini, Nadya merasa tahu apa yang laki-laki itu rasakan.
Nadya baru akan menghilang di balik tirai pintu hubung saat namanya kembali dipanggil.
“Ya?” jawabnya.
Alih-alih menjawab, Ali justru menarik bibir. “Tidak, nanti saja tunggu ayah sekalian.”
Nadya tercenung. ‘Nunggu ayah? Untuk?’
Sayangnya kalimat itu justru membuat jantung Nadya kian berdengap. Apa maksudnya?
Meninggalkan tamunya sendirian. Nadya melangkah buru-buru menemui Ikhsan yang tengah menemani istrinya di dapur.
“Yah ...”
Ikhsan menoleh. “Ya, Nduk?”
“Ada tamu.”
***
Masih lekat dalam ingatan Nadya, hari di mana dia melihat wajah Ali berubah pucat bersamaan dengan dentaman keras di dadanya begitu mengetahui apa maksud kedatangan Ali.
Sebuah kenyataan yang akhirnya membuat dia menyesal telah menuruti sang ayah untuk menerima lamaran Pramono, dan menyerah untuk menunggu.
“Maaf ya, Al, tapi ... Nadya sudah dilamar orang, dan hanya hitungan hari sampai pernikahan mereka dilangsungkan.” Ikhsan mengatakan dengan ekspresi sesal tanpa dibuat-buat.
Wajah yang semula menunduk, sontak menatap tak percaya pada laki-laki di depannya. Lalu berpaling pada perempuan di sebelahnya.
Ali tersenyum sumir. “Wah, nggak berjodoh,” ujarnya, seakan kabar itu bukan apa-apa baginya.
Meski berusaha menarik bibir dan terlihat baik-baik saja, tapi terpampang jelas sesal di wajah itu akibat kabar yang baru didengar.
Nadya bisa melihatnya. Luka yang sama menyakitkan dengan yang dia rasakan. Menganga dan entah bagaimana dia akan membalut setelah itu.
Gadis itu berpaling, demi menyembunyikan panas yang merambat ke wajah.
Di sampingnya, tak kalah menyesal, Ikhsan memandang Nadya sebelum kembali bicara, “Sayang sekali, kenapa baru sekarang? Kamu kenal Nadya dari kecil, bahkan bisa dikatakan besar di lingkungan yang sama.” Kini dia memandang Ali.
Satu hal yang akhirnya Nadya sesali adalah keputusan terburu-buru menerima Pramono. Membuatnya berandai, kalau saja dia bersabar sedikit lagi. Kalau saja, Ali lebih cepat. Kalau saja ...
Nadya menunduk. Diabaikannya wajah pucat laki-laki yang menatapnya dari seberang meja, untuk menyembunyikan hangat yang merebak di wajah. Ngilu di dada merajam hatinya. Air mata menggantung seperti awan mendung yang siap menumpahkan hujan kapan pun.
Nadya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Tak ingin menampakkan kesedihan, dia bangkit. “N—Nad ke kamar dulu,” ucapnya dengan suara bergetar. Lalu melangkah buru-buru ke kamar.
Brak!
Daun pintu tertutup keras. Seruan kalimat istigfar dari arah dapur terdengar setelahnya. Lalu wanita paruh baya muncul dengan langkah terburu-buru.
“Nadya, ada apa?” tanya Dinar cemas sambil mengetuk pintu.
“Maaf, Ibu ... Nadya cuma lagih ... hngg—nggak enak ... badan. Tolong suruh ... Mas Ali pulang,” ucapnya di antara isak. Suaranya tenggelam dalam bantal di bawah wajah.
“Pulang? Kenapa?”
Nadya sudah menduganya. Sang ibu jelas-jelas tak akan membiarkannya begitu saja.
Nadya tak menyahut. Merasa tak mungkin menyatakan perasaannya saat itu, gadis itu hanya menggelengkan kepala di antara tangis yang menderai.
Di ruang tamu, terdengar samar Ali bicara pada Ikhsan, “Kang, boleh saya ngomong sama Nadya?” tanyanya.
Kang begitulah dia memanggil ayah dari Nadya. Nadya dan Ali memang masih kerabat jauh. Seharusnya, Nadya memanggil Ali dengan “Paman” dan bukan “Mas” seperti yang selama ini dia lakukan.
Setelah hening sesaat, Ikhsan mengangguk.
Di kamarnya, Nadya kembali mendengar suara ketukan. “Nad, bisa kita ngobrol?” tanya Ali.
Nadya kembali tergugu. Hatinya remuk. Lalu menggeleng meski tahu Ali tak akan melihatnya. Cukup lama dia mengabaikan, hingga kembali terdengar kalimat kedua, “Nad, sebentar aja.”
Sembari bangkit, Nadya menyeka wajahnya. Memastikan tidak ada sisa air mata di pipi. Lalu membuka pintu dan dilihatnya Ali sudah berdiri di depan kamar.
Lihat, tatapan teduh itu, memindai penuh perhatian disertai senyum samar di bibir. Memburamkan kembali pandangan Nadya dan tak butuh waktu lama sampai butiran bening itu luruh kembali.
Nadya mengangkat tangan. Berkali-kali pukulan geram dia layangkan begitu saja pada Ali. Namun, alih-alih menghindar laki-laki itu justru mendekap, mengabaikan dua orang tua yang berdiri di belakang mereka.
Seperti bangkai yang tak bisa disembunyikan selamanya, begitu pun perasaan cinta. Mau tak mau, Dinar dan Ikhsan pun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada sepasang manusia itu.
“Maaf, Dek. Maaf banget,” ucap Ali dengan suara bergetar.
Pukulan itu berhenti. Berganti gelengan putus asa di antara tangis menderai. ‘Terlambat!’
Nadya berharap bisa pergi saat itu juga. Jauh dari Ali. Jauh dari Pram. Jauh dari semua hal yang mungkin akan menyakiti semua pihak atas keberadaannya. Andai bisa ...
Nadya mengangkat wajah. Pandangan mereka bertemu. Terlihat bekas merah di kedua mata Ali, yang mau tak mau meluruhkan lagi air mata Nadya, memaksanya kembali menunduk.
“Aku pulang?” Ali memastikan.
Kecuali gelengan, tak ada jawaban apa pun. Ali mengurungkan niatnya pergi. Lalu kembali memberinya pelukan.
Detik berikutnya, Ali menggenggam tangan Nadya sebelum berbalik ke arah kedua orang tua yang kini duduk di belakangnya.
“Kang, boleh kubawa Nadya? Sebentar saja.”
Di ruang itu, sesaat keheningan merajai. Ikhsan tampak berat memberikan mereka izin sampai terdengar Dinar bicara, “Izinkan, Yah, percayalah, Nadya dan Ali tak akan menghianati kepercayaanmu.”
Masih enggan memandang sepasang manusia itu, Ikhsan menghela napas berat. “Setengah jam. Tidak lebih,” ucap laki-laki itu akhirnya.
“Percayalah, Kang, kami cuma akan makan sebentar.” Ali menoleh sesaat pada Nadya, lalu pada Ikhsan yang dibalas anggukan pasrah.
To be continue ...
Sepanjang perjalanan, hanya deru knalpot yang terdengar karena keduanya tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing. Ali dengan pertanyaan bagaimana cara meyakinkan orang tua Nadya untuk mengubah keputusannya. Dan Nadya dengan perasaan campur aduk yang lebih banyak dia keluarkan dengan air mata. Ali melirik kaca spion. Tangan kirinya terulur untuk membetulkan letaknya agar bisa menangkap pantulan seseorang di balik punggung. Seseorang yang tubuhnya bergetar sejak kedatangannya tadi. Seseorang yang dia kecewakan meski selama ini tahu bagaimana perasaannya sejak dulu. Di kafe bambu tak jauh dari rumah mereka, Ali membawa Nadya masuk. Sengaja dia memilih kursi paling ujung dekat jendela karena cuaca mendadak hujan. Bukan hanya karena dia suka suasananya, tapi juga itu jarak terjauh dari pengunjung lain. Mencegah orang mendengar apa pun yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, dua cangkir kopi tersaji lengkap dengan kue keju kesukaan Nadya. Rasa manis adalah buster terbaik saat hati s
Akan ada masa kita menyesal pada apa yang telah terjadi. Itulah sebab, pentingnya memikirkan dengan baik sebelum menentukan pilihan. Menghindari penjara berupa “andai-andai” yang tak mungkin terulang lagi. Tepat pukul sebelas malamnya, kajian walimah selesai. Setelah seharian hatinya terguncang oleh pertemuan dengan Ali, Nadya memutuskan pulang. Dia beruntung karena Tasya biasanya akan rewel jika tidur bukan di rumahnya, dan kini dia memiliki alasan pulang. “Nggak nginep aja, Nduk?” Dinar bertanya penuh harap. “Maunya, Bu, tapi tahu kan, Tasya susah tidur di tempat asing.” Dinar mengangguk. Meski firasatnya sebagai orang tua terlalu terasah untuk dibohongi setelah melihat mata sembab putrinya lagi sejak bertemu Ali. Dinar tahu itu. Tak hanya itu, dia juga sempat melihat Ali menyusul Nadya duduk di teras, beberapa jam lalu. Dan memang di sanalah. Tepat di halaman rumah tak jauh dari rumah mertua Dinar, seorang lelaki tengah diam-diam memandang putrinya di balik gelapnya malam. Pemu
Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu. “Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya. Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai. “Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta. “Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut. “Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan. “Tapi Tasya mau
“Halo, Al,” Pramono menyapa Ali yang kedapatan tengah duduk sendirian di jajaran kursi tamu yang hampir kosong. Sebagian besar tamu sudah meninggalkan acara, menyisakan beberapa orang saja. Ali menoleh. “Yo.” “Sendirian aja?” Pram kembali bertanya. Lalu menyusul duduk di samping Ali setelah meraih satu gelas teh hangat di meja tak jauh dari mereka. Ali mengangguk. Di tangannya ponsel masih menyala. Dan segera dia masukkan ke saku. Pramono yakin dia sempat melihat foto seorang bocah bergaun putih dengan rambut terikat, yang diambil dari arah samping. Sekilas, tampak mirip Tasya. “Thanks, tadi sudah membawa Tasya main.” Pramono meletakkan teh yang baru disesapnya ke atas meja, “tak menyangka, Tasya akan secepat itu akrab dengan orang asing.” Ali mengangguk samar. “Bukan masalah. Tasya anak penurut, walaupun sedikit keras kepala.” Ali menarik sebelah bibirnya. “Persis seseorang.” Pramono sempat menangkap ekspresi itu. Dan itu sedikit mengganggunya. Tepatnya, pada kalimat, ‘persis
Pintu terbuka. Hal pertama yang terlihat adalah sorot teduh di bawah topi hitam. Dahi lebar. Alis tebal. Hidung mancung. Bibir tipis lengkap dengan senyumnya yang meski samar, namun Nadya bisa melihatnya dengan jelas. Rahang tegas dengan jenggot tipis yang terarsir, menambah gagah sosok Ali yang Nadya kenal dulu. Menawan. Terutama kedua mata yang hampir selalu menyipit saat tersenyum, namun entah bagaimana bagi Nadya justru bagai lautan dalam yang siap menenggelamkan kapan saja. Nadya berdengap. Dia nyaris kehabisan napas setiap kali memandang wajah itu, dulu. Dan, bagaimana mungkin hal yang sama terjadi lagi sekarang? “Uncle ...” Tasya memanggil. Ali menoleh. Nadya tergagap. Panggilan Tasya seketika memecah keheningan di antara mereka. Nadya nyaris lupa ada Tasya di antara mereka. Tak butuh waktu lama untuk Tasya berada dalam gendongan Ali. Sebuah kecupan mendarat di pipinya, bocah itu tergelak akibat rasa geli. Ali kembali memandang Nadya dengan senyum samar. Seakan pertemuan
“Jadi, apa boleh kubawa Tasya?” Nadya berpaling. Jelas saja tidak. Dan Ali tahu itu. “Aku dibayar untuk menjaga anakmu, suka atau tidak suka.” Nadya mendengkus. Dia bangkit. Mengabaikan pening yang berdenyut setiap kali melangkah, Nadya berjalan memasuki kamar dan duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan mengepal. Hatinya geram menerka apa yang sebenarnya Pramono pikirkan. Membiarkan laki-laki lain datang saat istri sendirian di rumah, apa dia sudah gila? Nadya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama kontak orang yang belum lama meneleponnya tadi. Nada sambung mendengung berkali-kali. Pramono tak kunjung mengangkatnya. Hingga pada putaran ke enam, terdengar sapaan salam di ujung sana. “Assalamualaikum, ada apa, Sayang. Mas lag—“ Belum selesai Pramono mengucap, Nadya memotongnya, “Apa Mas gila?” ucapnya ketus. Gerahamnya beradu. Debar jantungnya berkejaran. Begitu marah sampai tubuhnya bergetar. “Dek, kenapa kok tiba-tiba
Nadya tersentak bangun saat antara sadar dan tidak dia merasa seseorang baru saja keluar dari kamarnya. Seiring kesadaran yang mulai terkumpul, pandangannya mengedar. Tak ada siapa pun di sana. Artinya, itu hanya perasaannya saja. Namun prasangka itu segera lenyap, tepat ketika pandangannya tertuju pada pintu kamar. Dia yakin benar, tidak betul-betul menutupnya tadi. Lalu, benarkah ada seseorang? Siapa? Mas Pram kah? Nadya bertanya-tanya. Tepat ketika menurunkan kakinya dari ranjang, Nadya menyadari sebuah selimut telah menutupinya. Kini dia yakin, seseorang memang baru keluar dari kamarnya. Nadya mengusap wajah. Dia merasa, hanya terlelap sebentar. ‘Jam berapa sekarang?’ Gelisah, Nadya melangkah turun. Cahaya berdenyar, memenuhi ruangan sesaat setelah ditekannya sakelar lampu. Wajah yang semula sedikit segar, seketika berubah pias begitu menoleh ke dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Dua jam sudah dia tertidur. Dan itu jelas bukan waktu yang singkat. ‘Astaga,
“Asya mau ikut Uncle.” Ali mengulum senyum saat terlintas lagi bayangan Tasya yang merengek meminta ikut dengannya. Bagaimana bahagianya diinginkan seorang anak mendadak memenuhi hati, menagih rasa untuk juga memiliki. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada anak yang bukan darah dagingnya? Apa karena ada bagian dari Nadya di sana? Ali memarkirkan mobilnya. Tepat setelah dia melangkah keluar dan berbelok menuju, seorang wanita muncul di depannya. “Dari mana, Al?” Andini. Langkah Ali terhenti. Pandangannya memindai wanita itu sesaat sebelum mencoba melewatinya. “Aku menunggumu hampir satu jam.” Wanita itu menahan lengan Ali. Ali menghela membuang napas kasar. “Tak ada yang menyuruhmu menunggu, bukan?” “Ibu yang nyuruh,” sahut Roro dari arah pintu. “Bukan kebiasaanmu pulang terlambat. Dari mana kamu, Al?” “Ada urusan, Bu.” Ali menarik lengannya dari cekalan Andini dan melanjutkan langkah masuk. Namun, langkahnya kembali terhenti saat mendengar ibunya bertanya: “Jadi baby sitter Tas