Sepanjang perjalanan, hanya deru knalpot yang terdengar karena keduanya tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing. Ali dengan pertanyaan bagaimana cara meyakinkan orang tua Nadya untuk mengubah keputusannya. Dan Nadya dengan perasaan campur aduk yang lebih banyak dia keluarkan dengan air mata.
Ali melirik kaca spion. Tangan kirinya terulur untuk membetulkan letaknya agar bisa menangkap pantulan seseorang di balik punggung. Seseorang yang tubuhnya bergetar sejak kedatangannya tadi. Seseorang yang dia kecewakan meski selama ini tahu bagaimana perasaannya sejak dulu.
Di kafe bambu tak jauh dari rumah mereka, Ali membawa Nadya masuk. Sengaja dia memilih kursi paling ujung dekat jendela karena cuaca mendadak hujan. Bukan hanya karena dia suka suasananya, tapi juga itu jarak terjauh dari pengunjung lain. Mencegah orang mendengar apa pun yang mereka bicarakan.
Tak lama kemudian, dua cangkir kopi tersaji lengkap dengan kue keju kesukaan Nadya. Rasa manis adalah buster terbaik saat hati sedang kacau. Meski keduanya sama-sama tahu makanan manis apa pun tidak akan bisa mengubah apa yang mereka rasakan sekarang.
Hening masih menguasai sampai Ali mulai membuka suara, “Maaf, ya. Mas terlambat.
Meski tahu bagaimana perasaanmu, aku tak berani mengatakannya sejak awal,” imbuhnya. “Dan sekarang ...” Ali tak melanjutkan kalimatnya. Karena akhir dari kisah itu sudah jelas. Sensasi ngilu kembali terasa di dadanya.
“Ayo kita lari,” ucap Nadya tiba-tiba. Raut putus asa tampak jelas di wajahnya.
Ali menatap tajam perempuan di depannya. Lalu melengos. “Nad ...”
“Mas ....” Suara itu terdengar bergetar. Tak kuasa menahan air matanya kembali menitik.
“Pernikahan tanpa ridho orang tua tidak akan berjalan baik, Nadya. Kita bahagia. Tapi hancur setelahnya,” ucapnya meraih tangan kiri perempuan yang kembali terisak di depannya.
“Dan Mas biarin aku nikah sama orang lain?” Nadya memandang dengan tatapan menuntut. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran Ali. Jelas-jelas mereka saling mencintai.
Laki-laki itu masih diam. Dia berpaling ke arah jendela. “Tidak kecuali Ayahmu mengizinkan.”
Kali ini, Nadya yang membuang muka. Diusapnya kasar kasar setetes yang meluncur bebas dengan punggung tangan.
Setelahnya, tak ada perbincangan apa pun. Nadya menggeleng di antara sedu yang menyedihkan. Menolak, entah untuk hal yang mana. Barangkali untuk rasa sakit yang akhirnya harus dia rasakan. Lebih pedih daripada saat mencintai laki-laki itu diam-diam.
Alangkah bahagianya seorang wanita atas lamaran yang sangat ditunggu. Mendapati kenyataan laki-laki yang dicintai selama ini, rupanya—benar—menaruh perhatian, hati perempuan mana yang tak bahagia?
Sayangnya ... semua terlambat. Bahagia dan luka itu melebur menjadi satu dalam deraian air mata.
Merajam jantung.
Menyesakkan.
***
Malamnya, Dinar berupaya bicara dengan suaminya mengenai nasib Nadya. Dia berharap Ikhsan bersedia membatalkan rencana pernikahan Nadya dengan Pramono demi menghindari masalah di kemudian hari.
Alih-alih setuju, laki-laki murka. Bukan hanya pada Nadya yang selama ini bisu atas perasaan pada Ali. Tapi juga ide sang istri yang menurutnya mustahil. Pernikahan Nadya tinggal menghitung hari.
Hidup di kampung dengan masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi, sulit bagi Ikhsan membatalkan pernikahan setelah semuanya nyaris siap—seingin apa hatinya melihat sang putri bahagia.
“Tapi, Yah, lihat anakmu,” keluh Dinar. “Dia mencintai Ali.”
Ikhsan menoleh dengan tatapan menghunus. “Ibu ingin ayah bagaimana? Itu salah dia, kenapa diam selama ini?” jawab Ikhsan terkesan tak peduli, meski Dinar yakin itu hanya sebatas kata-katanya saja.
Dinar menarik napas dalam. “Menurut Ayah, dengan watak Ayah yang begini, apa putrimu berani mengungkapkan perasaannya?” Dinar menekan nada bicaranya. “Jangankan mengungkapkan perasaan, memikirkan untuk itu pun, dia tak akan berani.” Wanita itu berpaling.
Ikhsan tak menyahut.
“Pasti ada alasan kenapa Nadya bungkam, Yah. Putrimu itu pemalu. Penakut lebih tepatnya. Mana mungkin dia berani mengatakan lebih dulu. Ke Ayah, apalagi ke Ali?”
Ikhsan masih diam. Keheningan itu berlangsung beberapa menit, sampai terdengar sahutan, “Menurut Ibu, bagaimana malunya keluarga Pramono kalau kita membatalkan pernikahan?
Dan jika kita yang di posisi mereka, apa bisa ibu membayangkan bagaimana kecewa dan malunya kita?” Ikhsan menghela napas dalam.
“Pramono pemuda baik. Dia mencintai Nadya sama seperti Ali—setelah kita tahu semuanya. Apa adil, jika dia harus mendapat hukuman atas kesalahan yang tidak diperbuat?”
Pertanyaan itu pula yang akhirnya melenyapkan harapan di hati gadis yang menguping di balik pintu kamar. Dia yang sempat mengira sang ayah akan mendukung batalnya pernikahan itu, harus kecewa setelah mendengar jawabannya.
Pupus sudah. Di kamar yang sengaja dibiarkan gelap, Nadya tergugu menyadari betapa jahat pikirannya, andai batalnya pernikahan itu sampai terjadi. Dia yang salah, bagaimana mungkin membiarkan orang lain menanggung akibatnya?
Tak ingin kedua orang tuanya kembali bersitegang, Nadya bangkit. Diputarnya knop pintu. Dua orang yang semula beradu mulut menoleh ke arahnya. Nadya mendekati dua orang yang duduk di ruang tengah keluarga, tak jauh dari kamarnya dan berdiri tak jauh dari mereka.
“Nadya nggak berubah pikiran, Yah. Kita lanjutkan pernikahan sesuai rencana.”
***
“Selamat, sebentar lagi kau jadi wanita yang yang sesungguhnya,” Ali berucap.
Nadya memilih diam, mengabaikan laki-laki di sampingnya. Pandangannya tertuju pada bunga-bunga di halaman yang entah kenapa seperti sedang ikut terluka.
“Kau pasti akan sangat cantik.” Ali menatap lekat wanita menunduk di sampingnya.
Pandangan Nadya tertuju pada tangan di pangkuan, meski sebenarnya tidak ada apa-apa kecuali jemari lentik yang dibalut kulit bersih.
Detik berikutnya gadis itu menoleh. “Masih ada waktu untuk kita lari, Mas.” Kedua matanya tampak memerah.
Menatap wajah Nadya yang menyedihkan, senyum yang semula terlukis di wajah Ali, seketika terhapus. Dia kemudian berpaling.
“Aku bisa saja membawamu pergi,” ucap Ali terjeda helaan napas dalam, “aku hanya tak siap membiarkan orang tuamu menanggung akibatnya. Lalu menjadikan aku menantu yang dibenci. Hal yang sama, mungkin juga akan terjadi pada orang tuaku. Bayangkan bagaimana malunya juga Pramono dan keluarganya.
Kamu tak ingin itu terjadi bukan?”
Nadya seharusnya tahu jawaban Ali akan tetap sama. Gadis itu berpaling hanya untuk menghapus air mata dengan ujung jari sebelah seseorang keluar dari pintu Ikhsan.
“Aku pulang dulu.” Roro berpamitan pada Dinar. Dengan mata yang sama-sama sembab, keduanya saling memeluk. Pandangannya kemudian berpaling pada Nadya yang telah bangkit. Roro merentangkan tangan seiring langkah mendekat.
Sebuah pelukan hangat Nadya terima dari orang yang biasa dipanggilnya, “Mbah”. Bukan karena orang itu benar-benar tua, namun karena silsilah keluarga mereka.
“Selamat ya, Nduk. Wis, ndak papa.”
Pertahanan Nadya runtuh. Perempuan itu tergugu dalam pelukan wanita yang dia kira akan menjadi ibu mertuanya.
To be continue ...
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j