Bukan di kantor, pertemuan itu diadakan di kafe, setelah Pramono menyebutkan alasannya tak bisa berlama-lama.
Pramono bangkit ketika pandangannya menangkap dua orang mendekat ke meja yang telah dipesannya. Satu di antaranya lelaki berkaca mata dengan badan sedikit berisi. Usianya kisaran lima puluh lima atau sedikit lebih tua dari itu. Kemeja kotak-kotak, dengan dua kancingnya terbuka. Satu yang lain, wanita dengan rambut coklat dan sedikit kusut, dan ... menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Pramono mengabaikannya.
“Selamat siang, Pak Bram,” sapanya ramah dengan tangan kanan terulur.
“Siang. Senang akhirnya bisa bertemu Anda, Pak Pram.”
“Ayah!” pekik wanita muda di samping laki-laki itu tertahan. Pandangannya memindai bergantian ke arah sang ayah dan Pramono masih dengan ekspresi yang sama. Satu tangannya kemudian kikuk merapikan rambut kusutnya.
“Betul,” jawab Bramantyo. “Apa dia mirip ayah?” tanyanya seraya memandang Pramono, lalu kembali ke arah putrinya yang menunduk. Semu merah tampak di kedua pipinya, sebelum dia berpaling, untuk menyembunyikannya. Sesaat tadi Bramantyo juga sempat melihat sipu di wajah itu.
Pramono mengulas senyum. “Suatu kehormatan bagi saya mendapat tamu seorang senior dari seniornya penulis ternama,” jawab Pramono, lalu berpaling pada perempuan di samping Bramantyo.
“Dia putri saya,” ucapnya, menunjuk wanita di sebelahnya dengan selarik senyum kebanggaan.
Pramono manggut-manggut. Sebenarnya, dia sudah tahu. Enam puluh lima persen genetik anak perempuan didapat dari sang ayah. Dan itu tergambar jelas di wajahnya.
Perempuan itu mengulurkan tangan. “Jesica,” ucapnya. Dan langsung disambut oleh Pramono.
“Pramono Aji.”
“Aku sudah tahu.”
Pramono hanya mengangguk. Seperti wanita pada umumnya, dia tahu, kedua mata yang diam-diam mencuri pandang itu berarti sesuatu. Ada sorot tak biasa pada kedua mata gadis itu. Dan, segera diabaikannya.
“Silakan duduk.”
Bramantyo menarik kursi, mendudukinya. “Saya tahu, Anda penulis berbakat, Pak Pram. Sering mengikuti Anda di media sosial, dan saya cukup yakin, Anda adalah orang yang positif dan bisa dipercaya,” lugas Bramantyo. “Itulah kenapa saya mengajak Jesica ke sini.”
Pramono menoleh pada Jesica, lalu kembali berpaling pada sang ayah, mengangguk. “Anda terlalu memuji, Pak Bram.”
“Tidak-tidak. Sungguh. Jesica sangat mengagumimu, dan dia akhirnya mau menggeluti dunia kepenulisan berkat darimu. Atas keinginan untuk membuka toko buku di berbagai kota, saya akhirnya memberinya kejutan ini.
Saya yakin kedatangan kami ke sini cukup jadi kejutan buat dia.”
Jesica tersenyum malu-malu. “Ayah nggak bilang kita akan bertemu penulis terkenal,” gerutu Jesica, lalu memandang Pramono ragu. “Tahu gitu tadi Jesi bawa sesuatu.”
Kedua laki-laki itu tergelak bersama.
The power of daddy. Pramono langsung merasakan itu begitu melihat bagaimana peran Bramantyo untuk putrinya. Kerja sama konsinyasi disetujui. Bahkan kini, Pramono punya sebuah ide.
***
“Senang bertemu Anda, Pak Bram.” Tangan kanan Pramono terulur menyalami pada dua orang yang telah berdiri di depan pintu mobilnya. “Saya sangat menyesal, tidak bisa berlama-lama.”
“Sangat disayangkan ...”
Pramono menarik bibir. “Kalau saja saya terpikir untuk mengubah jadwal.”
“Tidak. Itu lebih baik. Artinya akan ada pertemuan selanjutnya.” Bramantyo tersenyum yakin. Dia melangkah memasuki mobil.
Sementara sang putri, tampak ragu-ragu memandang ke arah Pramono. “Mas, saya boleh minta nomor ponsel?”
***
Jesica Bramantyo. Nama itu terlihat di layar ponsel milik Pramono tepat setelah benda pipih itu dikembalikan padanya.
Pramono hampir menolak, kalau saja dia tak ingat siapa laki-laki yang sedang memandang dari balik kaca mobil. Lagi pula, tak semua perempuan yang meminta nomor ponsel adalah penggoda, bukan?
Atau, iya?
Seperti yang pernah terjadi, menyimpan nomor perempuan artinya gangguan. Kecuali Nadya, tentunya. Karena jika ada yang pantas disebut pengganggu, maka Pramono orangnya.
Laki-laki itu menarik bibir saat terlintas di benaknya nama Nadya Arfianti. Lalu buru-buru menggulirkan ibu jari di layar ponselnya dan mulai mengetik.
[Dek, Mas dalam perjalanan balik, kamu mau titip apa?] tulis Pramono dalam pesan singkatnya.
[Enggak, Mas,] balas Nadya cepat, seolah memang sedang menunggu kabar darinya.
Pramono memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu melangkah menuju mobilnya.
***
“Dek, Mas dalam perjalanan balik, kamu mau titip apa?”
Jantung Nadya seakan tersengat membaca pesan singkat dari suaminya. Dia tak menyangka Pramono akan pulang secepat itu. Lebih tak menyangka karena Ali juga terlambat membawa pulang Tasya.
‘Lalu harus kujawab apa kalau Mas Pram tanya nanti?’
‘Tidak akan lama, katanya? Ini lebih dari satu jam.’
Nadya mendengkus. Beberapa kali dia menguatkan genggaman pada ponsel di tangan akibat kegelisahan yang tak beralasan.
Kalian tentu tahu, ketika hati merasa bersalah, akal akan mencari alasan sebagai pembenaran untuk menutupinya.
Begitu pun Nadya. Dia tak akan sekalut itu andai tak mengakui bahwa Ali adalah seseorang yang pernah berarti lebih. Akan mudah baginya menjawab, Ali memang hanya teman, alih-alih cemas memikirkan apa jawaban yang akan dia berikan kepada Pramono.
Kegelisahan Nadya kian menjadi saat terlihat Pramono muncul dari ujung aula. Pandangannya mengedar. Lalu berhenti ketika tatapan mereka bertemu. Dan mendekat.
Nadya kian gugup. Seperti orang kelaparan, tubuhnya gemetar hanya dengan membayangkan pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab.
‘Aku kenapa, sih? Apa salahnya jujur? Kenapa aku harus bersikap seperti pembohong yang sibuk mencari alasan?’
Pramono mengulas senyum. Sebuah kecupan mendarat di dahi sang istri. “Hai, kenapa duduk sendirian?” tanyanya menyusul duduk.
“Lagi nunggu Mas,” jawab Nadya bohong.
“Ini, Mas udah di sini,” sahutnya mengusap kepala perempuan itu. Lalu mengedar pandang.
“Tasya mana?” tanya Pramono lagi.
Nadya menggigit bibir. Yang ditakutkan akhirnya terjadi.
“Hm ... Mas mau diambilin minum dulu?” Nadya mencoba mengalihkan perhatian Pramono.
Dijawab gelengan samar. “Udah tadi sama tamu,” jawabnya kali ini meraih tangan istrinya.
“Mm—makan?” Nadya semakin gugup. ‘Sial, kenapa aku gugup begini?’
“Udah juga, tadi sama tamu,” jawab Pramono lagi.
“Kenapa sih, Dek? Kamu gugup? Nggak enak badan?” Pramono melekatkan telapak tangan di kening istrinya bermaksud memeriksa suhu tubuhnya. Dahinya berkerut begitu saja.
“Enggak panas, kok.”
“Um ... mungkin cuma laper, Mas,” jawab perempuan itu asal-asalan.
Laki-laki itu menatap skeptis. “Lapar lagi? Kamu hamil?” Pramono melirik perut istrinya. Selarik senyum penuh harap terlukis di wajahnya, yang dalam pandangan Nadya tampak seperti ekspresi penuh harap.
Nadya kembali mengumpat dalam hati. Dia lupa, waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi dan dia bahkan sudah makan sebelum berangkat tadi.
“Nad?” Pramono mengibas tangan di depan wajah Nadya. “Malah ngalamun. Tasya mana, sih?”
Sekali lagi Pramono mengedar pandang. Lalu melambaikan tangan ketika pandangannya bertemu seseorang di ujung sana, itu salah satu kenalannya.
Nadya mendesah putus asa. Merasa tak mungkin berbohong, dia bermaksud mulai bicara. Namun, belum sampai dia berucap, terdengar Tasya memanggilnya dari ujung aula. Keduanya menoleh bersamaan.
Nadya mendesah lega. Antara Tasya yang baik-baik saja. Atau, dia yang selamat dari pertanyaan suaminya. Nadya tak tahu mana yang membuatnya merasa harus bersyukur. Keduanya hampir tak bisa dibedakan saat ini.
Dari ujung aula, Tasya melangkah panjang. Kedua tangannya begitu sibuk. Satu yang kanan memegang es krim, sementara tangan lain memegang balon merah berbentuk hati bertuliskan, I Love U.
Jantung Nadya berdesir hangat. Prasangka bahwa Ali sengaja membeli itu agar dia membacanya, muncul begitu saja.
‘Astaga, mikir apa aku?’
Pandangan Nadya lalu beralih pada laki-laki di belakang Tasya yang kini tengah memindainya sering langkah mendekat. Nadya bisa melihat raut puas di sana. Puas, karena berhasil membuatnya cemas satu jam lamanya, setelah mengatakan, aku tak akan lama.
Kesal, Nadya membuang pandang.
“Pa, aku tadi main sama Uncle Ali,” lapor Tasya girang pada laki-laki yang kini menyejajarkan diri dengan putrinya.
“Uncle Ali?” Pramono menyipit. Pandangannya kembali tertuju pada laki-laki yang kini telah berdiri tepat di belakang Tasya. Sebuah boneka panda pink seukuran Tasya dengan bulatan hitam pada kedua mata, berada di lengan kiri. Dilihat dari ukurannya, Nadya bisa memperkirakan berapa harga benda itu.
Ali melirik Nadya sesaat. Wajah gusar wanita itu memancingnya untuk tersenyum tipis, sebelum berpaling pada Pramono dan mengulurkan tangan.
“Ali,” ucapnya, “teman lama Nadya.”
Pramono menyambut uluran itu.
Sebelum mengulurkan tangan tadi, Ali sempat menangkap tatapan tajam dan gelengan samar. Dia tahu, Nadya tak ingin Pramono tahu.
Namun, sekali lagi dia harus kecewa, cemas, sekaligus kesal di waktu yang sama saat dengan santai Ali memperkenalkan diri sebagai teman lama.
Pramono memandang Nadya. Lalu berpaling pada Ali dan kembali pada Nadya. “Kamu nggak pernah bilang punya teman bernama Ali?”
To be continue ...
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j