Share

AKIBAT PELIT PADA ANAK ISTRI
AKIBAT PELIT PADA ANAK ISTRI
Penulis: NawankWulan

Bab 1

"Ris, kamu ada uang lima ratus ribu nggak, ya? Mbak butuh banget buat bayar sekolah keponakanmu," ucap Mbak Yuli detik ini. 

Dia sedikit malu-malu sembari menatapku, saat terang-terangan minta uang pada Mas Aris yang tak lain adik semata wayangnya.

 

"Ada kok, Mbak. Kebetulan tadi dapat bonus bulanan dari atasan karena bulan lalu mencapai target penjualan," ucap Mas Aris dengan senyum lebar. Dia memberikan lima lembar uang seratus ribuan itu pada Mbak Yuli tepat di hadapanku.

 

Rasanya sesak itu kembali menyesaki dadaku. Betapa tidak? Beberapa jam lalu aku minta uang pada Mas Aris untuk membelikan Zahra sepatu sekolah namun Mas Aris menolak mentah-mentah. 

 

Dia bilang pemborosan karena sepatu Zahra masih bagus, padahal sepatunya sudah sempit di kaki Zahra. Dari TK A hingga kini kelas satu sekolah dasar belum ganti. Tapi Mas Aris seolah tak peduli, meski kuperlihatkan tumit Zahra lecet-lecet karena sepatu kesempitan. 

 

"Yasudah kalau begitu, Ris. Mbak pulang dulu, langsung mau ke sekolahnya Denis. Terima kasih banyak ya, Ris. Kamu selalu menolong mbak saat kesusahan," pamit Mbak Yuli dengan senyum manisnya. Mas Aris pun mengangguk pelan diakhiri sebuah senyuman. 

 

"Mas! Tega kamu sama anak dan istri sendiri," ucapku begitu kesal saat Mbak Yuli sudah menghilang di tikungan jalan. 

 

"Maksud kamu apa, Wit? Memangnya selama ini kamu aku telantarkan? Makanmu kurang atau apa?" Mas Aris mulai membentak. 

 

"Tadi pagi kamu bilang nggak ada duit karena belum gajian. Tiap kali aku minta duit buat beliin sepatu Zahra kamu selalu bilang pemborosan tapi apa? Tiap kali Mbak Yuli atau Denis minta duit selalu kamu kasih tanpa banyak alasan!" ucapku lagi. Air mataku tak bisa kubendung lagi, mengalir sesukanya ke pipi.

 

"Kamu nggak dengar kalau Mbak Yuli minta duit buat bayar SPP Denis?" Bentak Mas Aris lagi sembari melotot tajam ke arahku. 

 

"Iya sekarang minta uang SPP, tapi minggu lalu Mbak Yuli juga sudah minta uang dua ratus ribu buat beli sepatu dan tas baru. Apa kamu lupa, Mas? Kenapa sangat royal pada ponakan tapi sama anak sendiri terlalu perhitungan? Jelas-jelas sepatu Zahra sudah nggak muat dan bikin kaki lecet tapi tiap mau beli selalu dibilang pemborosan!" Aku bersungut kesal.

 

Mas Aris menghela napas lalu menatapku lekat. 

 

"Aku sudah bilang dari awal sama kamu, kan, Wit! Aku berhutang budi sama Mbak Yuli!" Mas Aris kembali menjawab dengan suara meninggi.

 

"Aku tahu, Mas. Sejak SMP kamu yatim piatu, Mbak Yuli lah yang merawatmu. Dia banting tulang menyekolahkan kamu sampai SMA dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga, hingga akhirnya kamu bisa kerja dan kuliah dengan biaya sendiri sampai sarjana. Aku tahu, aku nggak pernah melarangmu balas budi asalkan kamu juga nggak perhitungan sama anak dan istri sendiri," ucapku dengan air mata yang membanjiri pipi. 

 

"Kamu harus hemat, Wit. Jangan boros dan mubadzir. Aku punya duit juga buat jaga-jaga kalau Mbak Yuli sewaktu-waktu membutuhkannya. Apalagi pekerjaan Mas Danu sekarang hanya seorang pelayan restoran dengan gaji pas-pas an. Aku nggak ingin lihat Mbak Yuli dan keponakanku kesusahan," balas Mas Aris lagi. 

 

Selalu begitu alasannya tiap kali berdebat masalah uang dan tabungan. Mas Aris tak pernah memprioritaskan aku dan Zahra, namun begitu mengistimewakan Mbak Yuli dan anaknya.  

Mbak Yuli juga sama saja menyebalkannya. Sengaja memanfaatkan kata balas budi untuk memeras adiknya sendiri. Aku nggak tahu mengapa kakak iparku itu semakin hari semakin berubah. 

Tepatnya sejak Mas Danu diangkat menjadi manager keuangan enam tahun lalu. Mbak Yuli seperti OKB alias orang kaya baru yang mendadak glamor. Tapi puncak kesuksesan Mas Danu sepertinya hanya dua tahun saja karena setelahnya dipecat. Mas Danu ketahuan menggelapkan uang perusahaan hingga di penjara selama tiga tahun dengan denda entah berapa juta. 

 

Sejak itu lah Mbak Yuli mulai mengusik rumah tanggaku dengan alasan balas budi. Balas budi yang terlalu kebablasan, menurutku. Karena setelah Mas Danu ke luar penjara setahun belakangan dan sudah mendapatkan pekerjaan tetap pun, Mbak Yuli tetap memeras keringat adiknya sendiri, hingga detik ini. 

 

"Kamu nggak tahu kan kalau uang dari kamu selama ini dipakai Mbak Yuli buat foya-foya?" ucapku lagi. Brakkk! Mas Aris menggebrak meja. 

 

"Jangan ngomong sembarangan kamu, Wit. Mbak Yuli nggak mungkin seperti itu. Dia selalu berpenampilan sederhana sedari dulu. Lihat saja kalau ke sini, selalu pakai daster biasa." 

 

"Kamu nggak percaya, Mas? Memangnya nggak pernah lihat media sosialnya?" 

 

"Sudah. Sudah. Aku nggak mau dengar kamu jelek-jelekkan Mbak Yuli, Wit. Baru delapan tahun kamu mengenal pribadi Mbak Yuli, sudah sok tahu tentangnya. Aku sudah bersamanya selama 32 tahun, Wita!" 

 

Kuhembuskan napas panjang seraya mengucap istighfar. 

 

"Kamu minta duit buat beli sepatu Zahra, kan? Nih aku kasih seratus ribu. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah rela kamu menjelek-jelekkan Mbak Yuli. Aku yang jauh lebih paham karakter dia seperti apa dibandingkan kamu! Kalau kamu begini terus, Wit. Lama-lama aku bosan sama kamu!" Bentak Mas Aris lagi. 

 

Kuucap istighfar dalam hati. Apa maksud ucapan Mas Aris ini? Bisa-bisanya dia bilang bosan, padahal yang kukatakan memang benar! Kupejamkan mata beberapa detik lalu membukanya perlahan. Menatap wajah Mas Aris beberapa saat, berusaha untuk menyelami hatinya. 

 

Semakin hari kurasakan perbedaan dalam dirinya. Entah lah, aku dan dia terasa semakin jauh. Dia sibuk dengan dunianya sendiri, tanpa pernah peduli bagaimana keadaan istri dan anaknya. 

 

"Ambil uangmu, Mas. Aku sudah nggak membutuhkannya lagi," ucapku lirih, menahan sesak di dada. Kulirik wajah Mas Aris begitu kaget, seolah tak percaya apa yang didengarnya. 

 

"Ambil saja uangmu, jika memang kamu tak ikhlas memberikannya padaku," ucapku lagi sembari meninggalkannya sendiri. 

 

"Jangan belagu kamu, Wita! Dikasih uang suami sendiri ditolak tapi koar-koar nggak diurusi suami!" 

 

Aku tak peduli teriakan suami dari ruang keluarga. Gegas ke kamar dan menumpahkan segala rasa di sana. Pikiranku melayang pada Zahra-- anak semata wayang kami yang kadang iri pada Annisa karena dia sering gonta-ganti tas dan sepatu. Sementara Zahra baru sekali kubelikan tas dan sepatu sejak dia TK A dulu. 

Annisa adalah anak kedua Mbak Yuli yang satu kelas dengan Zahra, bahkan satu bangku di kelas satu ini. Zahra seringkali komplen, kenapa Annisa sering dibelikan peralatan sekolah sama bapaknya, sementara dia sendiri jarang ganti peralatan sekolah. Jika minta pun pasti dibilang mubadzir dan pemborosan. 

"Kalau kamu nggak mau menerima uang ini, jangan harap aku memberimu uang lagi!" Mas Aris menutup pintu dengan kasar. Aku tak peduli. Biar saja dia hidup sesukanya. Lebih baik tak dapat apa-apa jika dia tak ikhlas memberikannya. 

 

Aku harus bersabar hingga seminggu lagi, karena tanggal 22 nanti aku mendapat gaji dari youtube untuk pertama kali. Akan kubuktikan pada Mas Aris, aku bisa hidup mandiri tanpa uang darinya. 

 

💕💕💕

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ijin baca ceritanya
goodnovel comment avatar
Jho SP
menarik sekaliii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status