Hari ini jalan-jalan ke pantai Ngrenehan Jogjakarta untuk menikmati pemandangan menyejukkan mata. Saat lapar mulai melanda, bisa menyewa tempat makan untuk sekalian dimasakkan ikan segar sesuai menu yang kita minta, karena di sana banyak sekali perahu nelayan yang setiap pagi mendarat membawa berbagai jenis ikan segar.
Setelah agak siang, kami ke Pasar Beringharjo untuk membeli beberapa jilbab buat ibu dan kaos dan celana pendek bapak. Tak lupa membeli perabot memasak dan aneka camilan. Agak sore kami ke Malioboro. Menikmati suasana malam kota Jogjakarta yang selalu dirindukan banyak orang.
Aku sengaja menyewa rental milik tetangga dan mengajak Zahra, ibu dan bapak piknik bersama. Bahagia sekali rasanya melihat mereka tersenyum dan tertawa menikmati piknik sederhana hari ini. Jarang sekali aku bisa melakukan kegiatan menyenangkan seperti ini bersama mereka.
|Alhamdulillah, gajian bulan ini bisa untuk piknik sederhana bersama keluarga. Bahagianya melihat senyum dan tawa mereka. Apalagi bisa membelikan oleh-oleh spesial untuk orang-orang tercinta dan tetangga. Sudah lama banget nggak pernah sebahagia ini. Semangat cari rupiah lagi untuk membahagiakan mereka dan diri sendiri|
Klik. Foto dan caption status w******p sudah terkirim. Sengaja kusetting untuk Mbak Yuli dan keluarga besar saja, setidaknya agar mereka sadar jika saat ini aku bisa membeli aneka barang dengan penghasilan sendiri. Kuharap dengan ini mereka tak meremehkanku lagi bahkan menyebutku istri pemalas yang hanya gemar ongkang-ongkang kaki.
|Wit, kapan kamu pulang? Rumah berantakan banget ini nggak ada yang beberes. Jangan lama-lama di kampungnya|
Pesan dari Mas Aris muncul di aplikasi whatsappku. Baru lima hari aku mudik, sudah ditanya kapan pulang. Padahal aku sudah bilang, di rumah ibu sepuluh hari.
|Kenapa nggak minta tolong Mbak Yuli buat beresin rumah, Mas? Dia juga nggak ada kerjaan. Lagipula gajimu juga dia yang habiskan|Balasku kemudian.
|Mbak Yuli kakak kandungku, Wit. Kamu pikir dia babu?|
Aku cukup kaget membaca balasan dari Mas Aris. Memangnya aku menyebut Mbak Yuli babu?
|Aku juga bukan babumu, Mas. Memang kamu pikir aku babumu? Aku ini istrimu, tapi sayang sekali tak berhak menikmati uangmu padahal aku semua yang mengurusi kebutuhan harianmu. Harusnya kamu juga tahu, apa hak seorang istri dan hak seorang kakak kandung. Sekalian aja aku disebut babu, malah dapat gaji tiap bulan darimu.|
Kesal. Capek. Sedih. Rasanya nano-nano melihat Mas Aris tak juga sadar dengan kelakuannya itu. Justru makin hari makin nggak bertanggung jawab dengan anak dan istri. Beruntungnya sekarang aku bisa menghasilkan duit sendiri, kalau nggak? Lama-lama aku makan hati.
|Makin lama kamu memang makin ngelunjak ya, Wit. Satu hal lagi, kata Mbak Wita, di rumah ibu kamu shopping dan piknik ke mana-mana? Duit darimana, Wit! Padahal tiket saja kamu utang sama Mbak Lintang, kan? Apa sudah kamu bayar juga hutangmu itu?|
Mas Aris mulai penasaran. Aku hanya tersenyum tipis membayangkan kekagetan Mas Aris saat Mbak Yuli memperlihatkan foto-fotoku di status w******p. Aku memang sengaja hanya memunculkan status itu untuk beberapa orang saja, sementara Mas Aris tak termasuk di dalamnya.
|Urusan utang tiket aku yang akan bayar kok, Mas. Tenang aja aku nggak akan merepotkanmu untuk urusan itu. Kamu tak perlu khawatir soal uang itu, InsyaAllah halal|
|Uang dari mana? Jangan macam-macam kamu, Wita! Jangan mempermalukan suami di depan bapak dan ibu apalagi keluargamu yang lain!|
Aku hanya tersenyum sinis membaca pesan dari Mas Aris. Rupanya dia masih punya malu juga. Takut aku permalukan di depan keluarga besarku?
|Kamu tak perlu takut, aku tak pernah menceritakan tentang keburukanmu pada ibu sampai detik ini. Tapi ingat, Mas. Setiap orang punya batas kesabaran. Aku pun begitu. Mungkin saat ini aku masih sabar menghadapi sikapmu. Lagipula ibu juga masih sakit, aku masih terus berpura-pura kalau kita baik-baik saja. Tapi aku nggak bisa menjamin esok atau lusa bisa sesabar ini. Ada waktunya aku lelah dan menyerah, kalau kamu tetap tak berubah!|
|Apa maksudmu, Wit? Kamu mau mengancamku? Keterlaluan kamu!|
|Anggap saja itu memang sebuah ancaman agar kamu mau berbenah. Introspeksi lah dulu, bagaimana kamu memperlakukan istri dan anakmu beberapa tahun terakhir. Ingat-ingat lagi, kapan kamu terakhir kali membelikanku sandal, baju atau sekadar daster untuk tidur. Pasti lupa. Karena yang selalu kamu utamakan hanya Mbak Yuli dan Annisa. Nggak ada nama Wita dan Zahra di dalamnya.|
|Halah, makin banyak alasan kamu, Wita. Sengaja menyudutkanku dan Mbak Yuli padahal kamu hanya menutupi borokmu sendiri. Mungkin memang benar kata Mbak Yuli, kamu dapat uang banyak hasil selingkuh. Apa kamu balik lagi dengan mantanmu yang kaya raya itu? Dia yang meninggalkanmu begitu saja tanpa kabar berita? Makanya sekarang kamu punya banyak duit bahkan berani mengancam dan mendikte sikap-sikapku selama ini!|
Astaghfirullah, teganya Mas Aris menuduhku macam-macam bahkan mengungkit masa laluku lagi. Masa lalu bersama Mas Hanan yang berakhir dengan air mata penyesalan. Menyesal karena sudah mau menerima cintanya bahkan mempersiapkan pernikahan sederhana bersamanya.
Padahal jelas keluarga besarnya nggak ada yang setuju, terlebih mama dan papanya karena dia dan aku memang terlalu berbeda. Seperti sebuah lagu, dia orang kaya sedangkan aku orang tak punya.
Aku sadar diri siapa diriku dan siapa dirinya. Aku pun tahu setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk kedua orang tua Mas Hanan saat itu yang mungkin sudah memiliki calon sepadan untuk Mas Hanan. Yang jelas, itu bukan aku.
|Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli barang-barang sebanyak itu, Wita? Apa dugaan Mbak Yuli benar kalau kamu bertemu dengan laki-laki itu lagi di Solo? Atau kamu dapat uang dari laki-laki lain? Aku sudah tanya ke beberapa tetangga, mereka kompak nggak pernah lihat kamu berangkat atau pulang kerja!|i
Air mataku menitik seketika. Dia pikir aku semurah itu? Meminta uang laki-laki lain yang bukan mahramku? Sekalipun dulu Mas Hanan begitu royal dengan keluargaku, namun tak pernah sekali pun aku minta uang padanya. Dia sendiri yang sengaja membelikan keperluanku dan ibu.
Dia yang kupikir begitu tulus mencintaiku, namun ternyata tak jauh beda dengan laki-laki lainnya. Aku tak tahu di mana temoat tinggalnya. Yang aku tahu, dia orang Jakarta dan kuliah di Solo. Pamit padaku untuk meyakinkan mama dan papanya tentang hubunganku dengannya, namun justru dia menghilang begitu saja tanpa kabar berita. Bahkan hingga kini, sepuluh tahun lamanya.
|Kenapa diam saja? Benar dugaanku?|
Lagi-lagi pertanyaan Mas Aris begitu menyesakkan dada. Dia tetap bersikukuh dengan persepsinya sendiri. Apa dia kurang mengenal aku selama delapan tahun ini, hingga tega menuduhku serendah itu.
|Aku tak $3murah itu, Mas! Jangan selalu mengiyakan omongan kakakmu, kalau hidupmu ingin baik-baik saja. Dia itu benalu. Dia yang membuat rumah tangga kita berantakan! Tapi kalau kamu tetap percaya pada Mbak Yuli, silakan. Aku tak peduli lagi! Karena kalau sudah siap untuk jujur pada ibu bagaimana sikapmu padaku dan Zahra selama ini, aku akan melambaikan tangan, menyerah dan memilih pergi!|
Klik. Pesan kembali terkirim. Cukup lega rasanya bisa menulis kata sepanjang itu. Setidaknya agar Mas Aris tahu, aku sudah cukup lelah dengan sikap-sikapnya juga sikap Mbak Yuli selama ini. Jika sudah waktunya, b0m kekesalan itu pasti akan meledak juga!
💕💕💕
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin