Share

Bab 8

Hari ini jalan-jalan ke pantai Ngrenehan Jogjakarta untuk menikmati pemandangan menyejukkan mata. Saat lapar mulai melanda, bisa menyewa tempat makan untuk sekalian  dimasakkan ikan segar sesuai menu yang kita minta, karena di sana banyak sekali perahu nelayan yang setiap pagi mendarat membawa berbagai jenis ikan segar.

Setelah agak siang, kami ke Pasar Beringharjo untuk membeli beberapa jilbab buat ibu dan kaos dan celana pendek bapak. Tak lupa membeli perabot memasak dan aneka camilan. Agak sore kami ke Malioboro. Menikmati suasana malam kota Jogjakarta yang selalu dirindukan banyak orang.

Aku sengaja menyewa rental milik tetangga dan mengajak Zahra, ibu dan bapak piknik bersama. Bahagia sekali rasanya melihat mereka tersenyum dan tertawa menikmati piknik sederhana hari ini. Jarang sekali aku bisa melakukan kegiatan menyenangkan seperti ini bersama mereka.

|Alhamdulillah, gajian bulan ini bisa untuk piknik sederhana bersama keluarga. Bahagianya melihat senyum dan tawa mereka. Apalagi bisa membelikan oleh-oleh spesial untuk orang-orang tercinta dan tetangga. Sudah lama banget nggak pernah sebahagia ini. Semangat cari rupiah lagi untuk membahagiakan mereka dan diri sendiri|

Klik. Foto dan caption status w******p sudah terkirim. Sengaja kusetting untuk Mbak Yuli dan keluarga besar saja, setidaknya agar mereka sadar jika saat ini aku bisa membeli aneka barang dengan penghasilan sendiri. Kuharap dengan ini mereka tak meremehkanku lagi bahkan menyebutku istri pemalas yang hanya gemar ongkang-ongkang kaki.

|Wit, kapan kamu pulang? Rumah berantakan banget ini nggak ada yang beberes. Jangan lama-lama di kampungnya| 

Pesan dari Mas Aris muncul di aplikasi whatsappku. Baru lima hari aku mudik, sudah ditanya kapan pulang. Padahal aku sudah bilang, di rumah ibu sepuluh hari.

|Kenapa nggak minta tolong Mbak Yuli buat beresin rumah, Mas? Dia juga nggak ada kerjaan. Lagipula gajimu juga dia yang habiskan|Balasku kemudian. 

|Mbak Yuli kakak kandungku, Wit. Kamu pikir dia babu?|

Aku cukup kaget membaca balasan dari Mas Aris. Memangnya aku menyebut Mbak Yuli babu? 

|Aku juga bukan babumu, Mas. Memang kamu pikir aku babumu? Aku ini istrimu, tapi sayang sekali tak berhak menikmati uangmu padahal aku semua yang mengurusi kebutuhan harianmu. Harusnya kamu juga tahu, apa hak seorang istri dan hak seorang kakak kandung. Sekalian aja aku disebut babu, malah dapat gaji tiap bulan darimu.| 

Kesal. Capek. Sedih. Rasanya nano-nano melihat Mas Aris tak juga sadar dengan kelakuannya itu. Justru makin hari makin nggak bertanggung jawab dengan anak dan istri. Beruntungnya sekarang aku bisa menghasilkan duit sendiri, kalau nggak? Lama-lama aku makan hati. 

|Makin lama kamu memang makin ngelunjak ya, Wit. Satu hal lagi, kata Mbak Wita, di rumah ibu kamu shopping dan piknik ke mana-mana? Duit darimana, Wit! Padahal tiket saja kamu utang sama Mbak Lintang, kan? Apa sudah kamu bayar juga hutangmu itu?| 

Mas Aris mulai penasaran. Aku hanya tersenyum tipis membayangkan kekagetan Mas Aris saat Mbak Yuli memperlihatkan foto-fotoku di status w******p. Aku memang sengaja hanya memunculkan status itu untuk beberapa orang saja, sementara Mas Aris tak termasuk di dalamnya.

|Urusan utang tiket aku yang akan bayar kok, Mas. Tenang aja aku nggak akan merepotkanmu untuk urusan itu. Kamu tak perlu khawatir soal uang itu, InsyaAllah halal|

|Uang dari mana? Jangan macam-macam kamu, Wita! Jangan mempermalukan suami di depan bapak dan ibu apalagi keluargamu yang lain!|

Aku hanya tersenyum sinis membaca pesan dari Mas Aris. Rupanya dia masih punya malu juga. Takut aku permalukan di depan keluarga besarku?

|Kamu tak perlu takut, aku tak pernah menceritakan tentang keburukanmu pada ibu sampai detik ini. Tapi ingat, Mas. Setiap orang punya batas kesabaran. Aku pun begitu. Mungkin saat ini aku masih sabar menghadapi sikapmu. Lagipula ibu juga masih sakit, aku masih terus berpura-pura kalau kita baik-baik saja. Tapi aku nggak bisa menjamin esok atau lusa bisa sesabar ini. Ada waktunya aku lelah dan menyerah, kalau kamu tetap tak berubah!| 

|Apa maksudmu, Wit? Kamu mau mengancamku? Keterlaluan kamu!| 

|Anggap saja itu memang sebuah ancaman agar kamu mau berbenah. Introspeksi lah dulu, bagaimana kamu memperlakukan istri dan anakmu beberapa tahun terakhir. Ingat-ingat lagi, kapan kamu terakhir kali membelikanku sandal, baju atau sekadar daster untuk tidur. Pasti lupa. Karena yang selalu kamu utamakan hanya Mbak Yuli dan Annisa. Nggak ada nama Wita dan Zahra di dalamnya.|

|Halah, makin banyak alasan kamu, Wita. Sengaja menyudutkanku dan Mbak Yuli padahal kamu hanya menutupi borokmu sendiri. Mungkin memang benar kata Mbak Yuli, kamu dapat uang banyak hasil selingkuh. Apa kamu balik lagi dengan mantanmu yang kaya raya itu? Dia yang meninggalkanmu begitu saja tanpa kabar berita? Makanya sekarang kamu punya banyak duit bahkan berani mengancam dan mendikte sikap-sikapku selama ini!| 

Astaghfirullah, teganya Mas Aris menuduhku macam-macam bahkan mengungkit masa laluku lagi. Masa lalu bersama Mas Hanan yang berakhir dengan air mata penyesalan. Menyesal karena sudah mau menerima cintanya bahkan mempersiapkan pernikahan sederhana bersamanya.

Padahal jelas keluarga besarnya nggak ada yang setuju, terlebih mama dan papanya karena dia dan aku memang terlalu berbeda. Seperti sebuah lagu, dia orang kaya sedangkan aku orang tak punya. 

Aku sadar diri siapa diriku dan siapa dirinya. Aku pun tahu setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk kedua orang tua Mas Hanan saat itu yang mungkin sudah memiliki calon sepadan untuk Mas Hanan. Yang jelas, itu bukan aku. 

|Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli barang-barang sebanyak itu, Wita? Apa dugaan Mbak Yuli benar kalau kamu bertemu dengan laki-laki itu lagi di Solo? Atau kamu dapat uang dari laki-laki lain? Aku sudah tanya ke beberapa tetangga, mereka kompak nggak pernah lihat kamu berangkat atau pulang kerja!|i

Air mataku menitik seketika. Dia pikir aku semurah itu? Meminta uang laki-laki lain yang bukan mahramku? Sekalipun dulu Mas Hanan begitu royal dengan keluargaku, namun tak pernah sekali pun aku minta uang padanya. Dia sendiri yang sengaja membelikan keperluanku dan ibu. 

Dia yang kupikir begitu tulus mencintaiku, namun ternyata tak jauh beda dengan laki-laki lainnya. Aku tak tahu di mana temoat tinggalnya. Yang aku tahu, dia orang Jakarta dan kuliah di Solo. Pamit padaku untuk meyakinkan mama dan papanya tentang hubunganku dengannya, namun justru dia menghilang begitu saja tanpa kabar berita. Bahkan hingga kini, sepuluh tahun lamanya. 

|Kenapa diam saja? Benar dugaanku?|

Lagi-lagi pertanyaan Mas Aris begitu menyesakkan dada. Dia tetap bersikukuh dengan persepsinya sendiri. Apa dia kurang mengenal aku selama delapan tahun ini, hingga tega menuduhku serendah itu.

|Aku tak $3murah itu, Mas! Jangan selalu mengiyakan omongan kakakmu, kalau hidupmu ingin baik-baik saja. Dia itu benalu. Dia yang membuat rumah tangga kita berantakan! Tapi kalau kamu tetap percaya pada Mbak Yuli, silakan. Aku tak peduli lagi! Karena kalau sudah siap untuk jujur pada ibu bagaimana sikapmu padaku dan Zahra selama ini, aku akan melambaikan tangan, menyerah dan memilih pergi!|

Klik. Pesan kembali terkirim. Cukup lega rasanya bisa menulis kata sepanjang itu. Setidaknya agar Mas Aris tahu, aku sudah cukup lelah dengan sikap-sikapnya juga sikap Mbak Yuli selama ini. Jika sudah waktunya, b0m kekesalan itu pasti akan meledak juga! 

💕💕💕

Komen (29)
goodnovel comment avatar
FridaKr
cerita nya bagus.
goodnovel comment avatar
Juslinda Linda
kok gini banget sih aplikasi gimana mau baca kalau di kunci semua
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo wita minta cerai saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status