|Gamis branded terbaru dengan harga lumayan di kantong, tapi tak apa lah. Yang penting nyaman, daripada yang murah bikin gerah|
Status w******p Mbak Yuli kembali memamerkan gamisnya. Dia foto di depan sekolah dengan Bu Sila. Aku hanya tersenyum tipis. Kemarin dia juga memamerkan sepatu high heelsnya. Entah apa yang ada di pikiran Mbak Yuli, bisa-bisanya membuat status begitu di media sosial. Dia selalu bilang orang kota dan modis tapi justru norak menurutku, karena tak bisa meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Aku sengaja screenshoot status itu da mengirimkannya ke w******p Mas Aris. Biar dia tahu kalau kakaknya kini sudah tak sesederhana yang ada dalam pikirannya. Dia sudah berubah, tak seperti kakak yang dulu membesarkannya penuh cinta dan keringat luka.
|Buat apa kamu mengusik status Mbak Yuli? Kamu iri karena dia punya banyak tas dan sepatu branded sedangkan kamu nggak punya? Dia jualan online, Wita. Jika Mas Danu tak memberinya uang pun dia masih bisa membeli keperluannya sendiri, sedangkan kamu? Makanya jangan iri tapi cukup sadar diri!|
Balasan Mas Aris cukup membuat hatiku berdenyut nyeri. Padahal dulu dia sendiri yang memintaku fokus di rumah, mengurus Zahra dan rumah karena dia tak suka rumah berantakan apalagi dengan alasan anak. Selama ini aku juga tak diizinkannya cari duit sendiri dengan alasan itu adalah kewajibannya sebagai suami.
Mas Aris selalu bilang, jika istri bisa mandiri soal keuangan boleh jadi akan tumbuh menjadi istri yang pembangkang karena merasa siap untuk ditinggalkan dan tak terlalu butuh materi dari pasangan. Padahal semua itu tak selamanya benar. Tergantung pribadi masing-masing perempuan.
|Bukan maksud iri atau mengusik hidupnya, Mas. Cuma mau menunjukkan ke kamu kalau Mbak Yuli sudah tak seperti Yulimu yang dulu, Mas. Seiring berjalannya waktu dia juga sudah berubah. Tak lagi sederhana tapi modis dan glamor.|
Entah mengapa tak ada balasan dari Mas Aris. Seperti biasa tiap kali membahas Mbak Yuli emosinya pasti naik dan sekarang aku yakin dia mulai malas membalas pesan yang kukirimkan. Sebenarnya dia juga tahu perubahan Mbak Yuli, namun dia berusaha menutup mata hanya karena balas budinya.
|Pakde, Bude, Om, Tante ... Hari Ahad nanti bisa datang ke aqiqahan Amira, kan, ya? Amira harap keluarga bisa datang semua sekalian silaturakhim sudah lama tak berjumpa|
Pesan dari Mbak Heny, anak bungsu Budhe Santy-- kakak almarhum ibu mertua muncul di grup w******p keluarga besar. Biasanya aku jarang sekali nongol di grup, hanya sebagai pembaca saja namun sepertinya kali ini aku harus ikut komen karena rencananya hari sabtu nanti aku ajak Zahra pulang ke rumah ibu.
Tadi pagi ibu telepon, kangen dengan Zahra karena sudah setahun tak berjumpa. Kebetulan sudah selesai UAS dan Zahra libur cukup lama, jadi aku tak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja.
|Maaf ya, Mbak Heny. Sepertinya aku sama Zahra nggak bisa datang, rencananya kami ingin mudik. Sudah setahun nggak mudik, ibu kangen sama cucu semata wayangnya. Sekali lagi aku minta maaf, ya|
Kukirimkan komentar di grup w******p keluarga besar itu. Heny seumuran denganku namun dia berpendidikan tinggi dan berkecukupan, berbeda denganku yang hanya lulus SMA itu pun kejar paket.
Sekolahku putus di tengah jalan saat kelas dua SMA karena tak memiliki biaya lagi. Memilih bekerja membantu ibu mencari biaya untuk mengamputasi kaki bapak karena kecelakaan.
|Maaf ya, Wit. Aku nggak mengundang kamu kok, jadi tak perlu minta maaf begitu. Santai saja. Aku cuma ngundang Aris, itu pun kalau dia nggak sibuk kerja dan mau datang. Lagipula biasanya kamu nggak pernah muncul di grup, tumben sekali muncul di sini|
Kubaca sekali lagi balasan Mbak Heny, teganya dia membalas seperti itu di grup keluarga, yang mana banyak sekali penghuninya. Anak-anak Budhe Santy dan Bibi Sarah semua ada di grup itu. Malu, itu pasti karena aku tak pernah dianggap ada. Tapi tak harus menghinaku seperti itu, kan? Aku juga memiliki hati dan rasa.
Grup mendadak ramai karena balasanku dan jawaban Mbak Heny barusan. Banyak diantara penghuninya yang mengirimkan emoticon tertawa, bahkan Mbak Yuli sengaja memberikan komentar yang makin membuatku sakit hati.
|Syukurin! Sekarang kamu sadar kan, Wit? Keluarga besar juga nggak ada yang suka sama kamu apalagi aku. Makanya tahu diri. Perempuan kampung dan miskin macam kamu memang nggak pantas berada di keluarga besar kita. Aku juga heran kenapa dulu Aris bisa jatuh cinta sama kamu yang hanya menjadi benalu!|
Air mataku menitik seketika. Dipermalukan keluarga sendiri rasanya memang luar biasa sakitnya. Apalagi dalam grup itu rata-rata sama saja, pandai menghina. Hanya Mbak Ningsih-- anak pertama Bi Sarah yang biasanya membelaku. Namun saat ini dia memang sedang sakit stroke jadi jarang banget mengintip grup keluarga. Mungkin fokus dengan latihan berjalan dan kesembuhan kakinya.
|Bukan aku yang benalu tapi kamu, Mbak Yul. Kamu yang selalu minta duit tiap minggu pada Mas Aris untuk memenuhi ambisi sosialitamu! Aku memang miskin, tapi nggak pernah memblokir orang yang sudah memberikan pinjaman padaku. Ohya, jangan lupa bayar cicilan gamismu di tempat Mbak Indri. Baru saja dia memintaku untuk menagihkan kreditanmu yang belum lunas sejak tiga bulan lalu|
Gegas kukirimkan balasan itu di sana. Grup kembali heboh dan riuh. Keluarga besar pasti sangat kaget saat kuceritakan tentang kreditan gamis milik Mbak Yuli. Dia yang selalu tampil glamor dan sosialita itu ternyata hanya perempuan biasa yang demen kreditan bahkan selalu banyak alasan bila ditagih pemiliknya.
|Beneran, Yul? Jadi gamis dan sepatu branded yang selama ini kamu pamerkan itu kredit belum lunas?|
Balasan dari Mbak Heny tampak begitu kaget dan nggak percaya, begitu pula dengan Mbak Desy yang hanya mengirimkan emoticon kaget di sana. Tiga anak budhe Santy ikut nimbrung begitu pula dua anak Bibi Sarah. Semua saling timpal-menimpali, rata-rata nggak ada yang percaya dengan ucapanku karena sandiwara Mbak Yuli memang luar biasa pintarnya.
|Jangan ada yang percaya deh, si Wita memang tukang bikin huru-hara dan fitnah belaka|
Mbak Yuli masih saja membela diri. Kuscreenshoot saja cerita Mbak Indri barusan lalu mengirimkannya ke grup. Tak selang lama setelah kukirimkan screenshoot itu, Mbak Yuli mengirimkan pesan padaku. Dia ngomel tak karuan di sana bahkan mengumpat dan menyumpahiku segala.
Benar-benar gak pantas disebut kakak ipar. Dia pikir aku akan diam saja mendapat hinaannya di grup keluarga besar? Selama ini mungkin iya, tapi sekarang nggak akan lagi. Aku akan melawan!
|Sudah. Sudah. Kita satu keluarga, jangan sampai terpecah belah begini. Kalau Aris tahu juga repot nanti. Buruan hapus komentarmu, Hen. Yuli juga hapus semua. Kasihan Wita, bagaimana pun masa lalunya, dia tetap bagian dari keluarga kita|
Mas Nanda anak tertua Budhe Santy pun ikut bicara. Dia memang sering menengahi saat ada perseteruan antar keluarga.
💕💕💕
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin