Part 2 Pernikahan
Tiba-tiba, tanpa di duga mas Umair menghampiri pak Marwan dan mama.
Lelaki desa yang kini sudah menyandang status suamiku ini, memang sekilas penampilannya tak terlihat seperti orang desa. Perawakannya gagah, tampan dan mempesona. Tapi ya itu, sekali orang desa ya tetap orang desa.
"Ganteng ya, beruntung banget, deh Saudah, " ujar Sofia teman satu kompleks ku ketika ia pertama kali melihat mas Umair.
"Iya, ganteng, tapi kalo miskin bisa apa? " sahut Rani, teman kompleks ku juga.
Rani itu berbeda dengan Sofia. Rani selalu mengukur laki-laki dari isi dompetnya. Mungkin turunan dari mamanya yang juga satu genk dengan mama tiriku itu.
"Hutang berapa mama Ros pada Anda? " tanya mas Umair, membuat kami semua yang ada terkejut. Apa dia punya uang?
"Lima juta! " tegas pak Marwan menunjukkan lima jari tangannya ke wajah mas Umair.
"Anda bisa temui saya selesai acara. Saya janji. "
"Baik. Permisi! " pak Marwan berlalu meninggalkan tempat.Braakk!!
Tiba-tiba pak Marwan menyenggol vas bunga besar di dekat pintu masuk. Pecah seketika. Suasana yang tadinya mau lega, tidak jadi.***
"Ini uangnya, silakan dihitung. " Mas Umair menyerahkan segepok uang berwarna merah pada pak Marwan.
Pak Marwan menghitung lembaran demi lembaran uang tersebut. "Ini lebih dari lima juta, " katanya.
"Oh, itu tambahan saja. Terima kasih sudah membantu mama mertua saya. "
"Sama-sama. Saya permisi. " Pak Marwan berlalu.
Aku yang berdiri tak jauh dari mas Umair merasa heran. Darimana dia mendapatkan uang sebanyak itu. Mengingat biaya pernikahan yang habis lebih dari 100 juta.
Padahal yang aku tahu dari ayah dulu, pekerjaan keluarga mas Umair hanya bergelut di bidang persawahan. Ya, pasti petani. Apalagi coba?
"Mas, kamu dapat uang darimana? " Akhirnya pertanyaan ini keluar juga setelah lamanya aku menahan sejak acara tadi.
"Ada sisa uang dari biaya pernikahan," balasnya membuatku terdiam. Apa dia bilang? Sisa?
"Kamu jual sawah lagi? " tanyaku lagi karena masih penasaran.
Tetiba mama dan mbak Sinta menghampiri kami. Sebenarnya mereka ada sejak kedatangan pak Marwan tadi, tapi mereka memilih menjauh.
"Jangan harap aku mau berterima kasih ya! " ketus mama, membuatku geleng-geleng kepala.
"Ya ngapain makasih Ma, Mama 'kan gak minta dibayarin! " sahut mbak Sinta.
Mas Umair sama sekali tak terpancing dengan ucapan kasar dari mama atau pun dari mbak Sinta. Ia tetap tenang, bahkan masih bisa tersenyum ramah.
Sementara aku saja rasanya ingin sekali meremas-remas mulut mereka. Ibu sama anak sama saja! Lihat saja nanti, akan ku beri kalian pelajaran atas perbuatan buruk kalian terhadapku selama bertahun-tahun.
"Setelah ini pasti kelabakan bayar angsuran bank ya 'kan? Hahaha!" ujar mas Bima tiba-tiba diserati tawa terbahak-bahak.
"Kamu pinjam bank 'kan? Mana mungkin petani sepertimu punya uang banyak, " cerca mas Bima."Itu sisa uang jual sawah kemarin Mas, jadi kami gak akan ada yang namanya kelabakan bayar angsuran, " jelas mas Umair tenang.
Aku tersenyum melihat mas Umair membalas sikap dari keluargaku. Tak ada tanda-tanda ia terpancing emosi bahkan masih bisa tenang dan rendah hati.
Mungkinkah ia adalah malaikat dan bukan penjahat?
Aku menghela nafas. Lalu apa yang akan terjadi dengan kehidupanku selanjutnya? Disisi lain, aku ingin menyelamatkan semua aset peninggalan kedua orang tuaku, tetapi besuk lusa mas Umair mengajakku pulang ke desanya menyusul kedua orang tuanya yang sudah pulang setelah acara pernikahan tadi.
***
"Waalaikumussalam Warrohmatulloh." Mas Umair menutup teleponnya.
Ku hampiri ia. "Telepon dari siapa? Kok seperti pakai bahasa arab?" tanyaku penasaran. Karena sejak awal mas Umair menerima telepon tadi, ia terlihat asyik dengan obrolan dari seseorang yang di seberang sana. Yah, meskipun aku tak tahu artinya, karena mereka memakai bahasa asing.
"Teman," balasnya singkat.
"Halah, sok bergaya kamu pakai-pakai bahasa asing segala. Aslinya pasti kamu ngarang 'kan?" celetuk mbak Sinta yang tiba-tiba muncul.
"Bahasa asing yang berlaku itu bahasa inggris, bukan bahasa arab. Jadi apa yang mau dibanggain?" katanya lagi.
"Loh, bahasa arab itu juga bagus Mbak. Kita ibadah haji itu ke Mekkah yang dimana mereka pakai bahasa arab," sanggahku.
"Sinta, udah, gak usah diladeni. Bagaimana pun menantu kebanggaan mama tetep Bima. Pekerjaan mapan, keluarga jelas, berpendidikan, dan pastinya bisa bahasa inggris, lancar lagi," ucap mama yang tiba-tiba berdiri di belakang mbak Sinta.
"Loh, Ma ...," terpaksa aku memotong ucapanku karena tanganku ditahan oleh mas Uamir.
"Nggak usah protes. Kenyataannya memang seperti itu. Suamimu itu sama 'ndeso'nya seperti ayahmu dulu," kata mama lagi.
"Cukup Ma!" sergahku. "Seharusnya Mama malu. Hutang pada pak Marwan saja suamiku yang membayarkan. Pesta pernikahan mewah dan syarat 500 juta juga mas Umair kasih. Kalau memang mama gak suka ada kami. Aku pergi!" Kataku berjalan melewati mereka seraya menggandeng tangan mas Umair.
Ya. Usai acara pernikahan tadi siang, mas Umair menjelaskan semuanya padaku. Termasuk alasannya menerima tawaran ayah untuk menikahiku. Dia adalah malaikat, dan bukan penjahat.
Sekilas ku lihat mama dan mbak Sinta seperti kesal seperti biasanya saat aku membantah perkataan mereka. Namun ku rasa kali ini mereka pasti senang dengan perkataanku barusan jika aku benar-benar pergi.
Karena itu artinya, mereka akan sangat mudah menguasa semua aset yang ditinggalkan ayah. Secara surat-surat berharga yang berkaitan masih disimpan di brangkas milik ayah, dimana beliau letakkan di kamarnya bersama mama.
Apalagi setelah meninggalnya ayah, mama semakin ketat menjaga kamarnya. Sampai-sampai hanya untuk ke dapur saja ia kunci rapat. Huh.
Hanya bi Iyem yang diperbolehkan masuk ketika ingin membersihkannya atau sekedar mengambil pakaian kotor. Itu pun dengan pengawasan mama.
Meskipun aku tahu kata sandinya, tapi tak mudah bagiku untuk masuk dan mengambilnya begitu saja. Apalagi sejak kecil, mama memang melarangku masuk ke kamarnya tanpa izin. Tidak sopan katanya. Dan ayah pun membenarkannya kala itu.
"Dek, kendalikan emosimu," kata mas Umair sesampainya kami di kamar.
"Mas, sejak awal mereka gak pernah ngehargain kamu. Aku juga sudah berusaha diam dan menahan, tapi kali ini enggak!" balasku.
"Kalau kamu mau pergi, gimana dengan surat-suratnya? Bukankah itu tujuanmu bertahan di sini?"
Aku diam sejenak. Memikirkan perkataan mas Umair. Benar. Itu tujuanku. Bahkan lebih dari itu. Dan itu pun belum tertuntaskan.
"Malam ini, kita harus bisa ambil surat-suratnya. Besuk kita segera urus ke notaris," kata mas Umair lagi. Ia menghampiriku yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya.
"Tapi gimana caranya ?" tanyaku melihat kearahnya.
Part 3 Surat-surat Berharga"Ikut, Mas." Mas Umair menggandeng tanganku. Mengajakku keluar kamar dan menemui mama yang sedang bersantai di depan televisi."Ma, boleh aku minta waktunya ?" tanya mas Umair pada mama yang tak mengalihkan pandangannya pada televisi."Apa?" jawabnya ketus."Sebenarnya aku dapat bonus voucher makan malam di restoran Bintang dari pihak WO tadi, Mama mau? Karena aku gak terbiasa makan di restoran seperti itu," ujar suamiku yang membuat mama sedetik kemudian menoleh karahnya."Restoran Bintang?" sahut Santi, anak bungsu di rumah ini. Tepatnya adik tiriku. "Itu 'kan restoran mahal Ma," katanya lagi."Jangan bercanda kamu," ucap mama seraya memindah chanel televisi."Enggak, Ma.""Untuk berapa orang?" tanya mbak Sinta."Sekeluarga Mbak. Kalau mama mau, nanti mas Umair konfirmasi lagi kedatangannya, tapi mas Umair dan aku gak ikut. Mas Umair gak mau bikin malu karena belum pernah makan di rest
Part 4 Pulang ke DesaHari ini hari terakhir aku di rumah ini. Urusan surat-surat sertifikat sudah ku serahkan pada notaris untuk mengganti semua aset milik ayah dan ibuku atas namaku.Dan untuk bagian mama, akan ku serahkan nanti jika semua sertifikat itu sudah selesai ditangani."Sudah semua, Mas? " tanyaku pada mas Umair saat kami tengah mempersiapkan barang bawaan untuk ke desa."Sudah. "Tiga buah koper besar berisikan barang dan pakaianku juga punya mas Umair siap dibawa."Kamu yang betah disana, sereot apapun gubuknya itu juga gubuk suamimu, " kata mama ketika kami hendak berpamitan.Lagi, aku dibuatnya terdiam. Aku tahu maksud mama hanya ingin menghina mas Umair. Karena dimatanya, mas Umair yang notabene orang desa pasti rumahnya lebih kecil dari rumah ini."Iya, Ma. Sepekan sekali insyaaAllah kami akan usahakan untuk pulang ke sini. Ngecek keuangan butik, " kataku usai mencium punggung tan
Part 5 Wanita Masa Lalu SuamikuRasanya hatiku benar-benar teriris-iris. Baru saja aku mulai mencintai dan menerimanya, tapi apa nyatanya yang ku dapat? Mas Umair dan keluarganya seakan mempermainkanku. Mempermainkan pernikahan ini dan juga wasiat dari ayahku."Lupakan! " ucapku lalu berlari sekuat tenaga meninggalkan mereka."Hahahaha!! " jelas ku dengar Riska tertawa sangat lantang saat kepergianku.Aku terus berlari tanpa mengerti tujuanku kemana. Entahlah, tak terasa bahkan air mataku jatuh membasahi pipi ini.Sesekali ku tengok ke belakang, mas Umair pun tak terlihat batang hidungnya untuk mengejarku. Benar-benar dia ya!Ku hentikan langkahku saat aku sampai di hamparan persawahan yang cukup luas. Pemandangan yang menyejukkan mata, dengan gunung yang jauh disana sebagai pelengkapnya. Hatiku rasanya mulai tenang kembali.Mas Umair benar-benar sudah keterlaluan. Ternyata pernikahan ini hany
Part 6 Kehadiran Mama"Cukup Rima! Jika kamu tidak ingin berurusan dengan polisi lebih baik kamu tinggalkan tempat ini! " usirku pada Rima yang membuatnya menatapku dengan tajam. Ternyata punya cukup keberanian juga dia. Tak ingin kalah, ku balas tatapannya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. Takkan ku biarkan siapa pun mengacaukan acaraku ini. Apalagi Rima, wanita yang hanya masa lalu suamiku. "Kamu pikir aku takut? " tentangnya semakin menjadi-jadi. Bahkan kini suasana semakin tegang karena perseteruan kami. "Sudah Dek, biarkan saja, " kata mas Umair mencoba menghentikanku. "Tolong bawa istrimu pergi, " titah suamiku pada suami Rima. Masih bisa setenang itu? Haduh. Tanpa berpikir panjang, suami Rima berusaha menarik tangan istrinya meskipun Rima sendiri terus saja berontak. "Dasar wanita gil*!" umpatku yang seketika membuat mas Umair melirik kearahku. "Hus! " katanya pelan. Ah, suamiku ini terlalu baik. Dengan usaha yang keras, akhirnya suami Rima berhasil membawa Rima
#SKDYPart 7 Ancaman"Mama mau apa kesini?" tanyaku langsung agar kami tak lama-lama menjadi pusat perhatian. Selain itu, aku juga penasaran apa tujuan mama datang kemari? Jika hanya sekedar memintaku mengurus surat-surat yang hilang, ku rasa itu hanya dalihnya saja.Netra mama melihat ke sekeliling. Sementara itu abi dan umi -panggilan untuk pak Santoso dan bu Nila selaku mertuaku- meninggalkan posisi duduknya."Maaf, kami tinggal sebentar karena ada tamu dari jauh yang baru datang, " kata ibu mertuaku sebelum beliau beranjak dari duduknya."Iya, " balas singkat mama yang tak mengalihkan pandangannya dari ponselnya.Abi dan umi berjalan kearah sepasang suami istri yang baru saja datang. Entah siapa itu. Yang jelas mereka terlihat sangat akrab.Umi bersalaman dilanjutkan bercipika cipiki dengan wanita tersebut, lalu memeluknya sejenak. Begitu dengan abi yang tak kalah hangat menyambut pria paruh baya tersebut."Siapa Mas? " ta
Kalau bukan karena status mama Ros sebagai istri ayahku, sudah rasanya ingin ku buang jauh ke lautan mereka. "Ini Mas, disuruh umi, " kata Riska salah satu kerabat suamiku. Ia datang seraya meletakkan beberapa bingkisan diatas meja. Lalu dengan gegas ia pergi. Suasana sedikit cair setelah cukup lama menegang diantara aku dan keluargaku sendiri. "Bu Ros, tolong diterima ya, " kata umi yang tiba-tiba muncul bersama abi. "Isinya jauh lebih banyak dari yang tadi dimakan, " katanya lagi. Aku pun menyadari bahwa ternyata beberapa paper bag itu berisikan makanan yang dihidangkan saat acara hari ini. Aku benar-benar tak menyangka dengan sikap kedua mertuaku ini. Mereka masih saja mau bersikap baik dengan memberikan 'oleh-oleh' pada keluargaku. Padahal sejak tadi keluargaku benar-benar tak menunjukkan sikap ramahnya sama sekali. Ah, beruntungnya aku bisa menjadi menantunya."Terima kasih! " balas mama ketus tanpa tersenyum
"Jangan nuduh sembarang ya. Aku tuh gak kenal sama dia!" sanggahku. Sekuat tenaga ku tahan agar tak mengeluarkan taring untuk mbak Sinta. Tapi rasanya sungguh berat. Dengan setiap ucapannya yang kasar dan menghina suamiku, sekarang ditambah dia menuduhku yang tidak-tidak. Arrgh, kalau bukan diacara khidmat seperti ini pasti sudah ku habisi dia. Mbak Sinta sendiri terlihat biasa saja setelah melayangkan tuduhan tak berdasar itu kepadaku. Bahkan ia dengan percaya dirinya masih saja memasang wajah tembok seperti mamanya. Mama dan anak-anaknya pun melanjutkan langkahnya untuk pergi tanpa berkata apa pun. Saat melewati orang-orang disekitar yang masih ada, mereka pun tetap tak menyapa atau tersenyum hanya untuk berbasa-basi. Ya Allah ... Memalukan. "Mas Umaaaiiir!! "Teriak seseorang dengan cukup keras memanggil mas Umair sesaat setelah keluargaku pergi. "Ada apa Pak? " tanya mas Umair pada seseorang yang memanggilkannya. Pak Wir
Waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi, tapi mas Umair sudah sibuk dengan persiapannya hari ini. "Memangnya kita mau kemana Mas? " tanyaku ketika suamiku itu baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur kami.Ya, meskipun rumah ini bertempat di desa tapi keadaan di dalamnya tak kalah bagus dengan keadaan rumah-rumah yang kebanyakan di kota. Tepatnya di kompleks tempatku tinggal. Dari tempat kamar mandi yang berada di dalam kamar, ruang makan yang terpisah dengan dapur, bahkan ruang keluarga yang menurutku lumayan luas. Tak hanya itu, rumah mertuaku ini memiliki teras belakang yang cukup nyaman untuk bersantai. Dan sebenarnya ku akui, rumah milik keluarga mas Umair ini jauh lebih luas dengan rumah di kompleks tempatku tinggal. "Bertemu pak Chandra. Buruan mandi, perjalanan kita 'kan jauh. " Mas Umair berjalan kearah lemari kayu jati di sudut ruangan. Lemari yang super besar yang katanya baru ia beli k