Share

Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya
Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya
Author: OptimisNa_12

500 Juta

Author: OptimisNa_12
last update Last Updated: 2022-03-28 22:05:14

Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya 

Part 1 500 Juta

“Ini, Ma.” Aku meletakkan sebuah tas diatas meja.

Sebuah tas berisikan uang tunai sebesar 500 juta sebagai syarat jika mas Umair  ingin menikahiku.

Ya, dua hari yang lalu, keluarga mas Umair yang juga ayahnya adalah sahabat sejak kecil ayahku datang melamarku. Mereka jauh-jauh datang dari desa membawa beberapa barang yang mungkin jika ku totalkan semua tak lebih dari dua juta.

Namun, sikap bu Ros –ibu sambungku- menolak mentah-mentah kedatangan keluarga mas Umair. Katanya karena semua ini mendadak. Juga barang yang dibawa sangatlah sederhana, tak sebanding dengan diriku yang seharusnya bisa mendapatkan lebih.

Tapi aku yakin ini hanya alasannya saja agar bisa mendapatkan uang banyak secara cuma-cuma. Seperti yang ia lakukan sebelumnya pada pak Marwan. Seorang duda beranak satu, yang usianya lebih dari mama. Ia pemilik mini market di komplek depan tempatku tinggal.

Sebelum ayah meninggal, ia sempat melamarku tapi ayah menolaknya dengan alasan bahwa aku sudah dijodohkan. 

Nah, sepekan setelah ayah meninggal ia datang lagi untuk melamarku. Tapi mama menolaknya karena tidak ada uang 500 juta. Memang dasarnya mama sambungku itu mata duitan. Entah bagaimana sepuluh tahun lalu ayah bisa menikah dengannya.

“Berikan kami 500 juta sebagai syarat  jika kamu benar-benar ingin menikahi anakku,” kata bu Ros kala itu.

“500 juta?” tanya bu Nila. Ibu mas Umair yang tampak kebingungan.

“Ya, itu syarat dari saya sebagai orang tuanya yang udah ngerawat dia sejak kecil, " ujar mamaku lagi. 

Aku sendiri tercengan mendengarnya. Bagaimana tidak, aku saja yang baru melihat mas Umair sekali itu saja diam dan menerimanya. Karena ini adalah wasiat dari ayah sebelum beliau meninggal.

“Tapi, Ma .... ‘

“Ssst ... Gak ada tapi-tapian, Saudah.” Mama memotong ucapanku.

Aku hanya bisa terdiam kala itu. Apalagi ada mbak Sinta –kakak sambungku- yang terus saja mengiyakan dengan semangat akan perihal 500 juta tersebut.

Sejak kehadirannya, mbak Sinta bagaikan Ratu di rumahku sendiri, dan aku bagaikan babu yang disuruh bantu-bantu mengurus pekerjaan rumah bersama bi Iyem. Asisten rumah tangga kami. 

Sikap mama memang sudah terlihat berbeda sejak awal ia menikah dengan ayah. Ia selalu saja membanding-bandingkan aku dengan kedua anaknya. Sinta dan Santi. 

Mbak Sinta sudah menikah. Suaminya manajer di sebuah perusahaan. Ia selalu membangga-banggakan jabatan suaminya. Bahkan sifat angkuhnya itu semakin menjadi-jadi setelah tahu bahwa aku akan dijodohkan dengan lelaki yang berasal dari desa. 

Yang dimana menurut mereka, orang desa itu kumuh, kotor, tak berpendidikan, dan pasti miskin. Sepertinya mereka lupa, kalau ayahku dulu terlahir dari desa juga. Pinda ke kota hanya karena menikah dengan mama kandungku. 

Sementara Santi, ia masih duduk di bangku kuliah semester akhir. Biaya kuliahnya pun banyak dari hasil keringatku yang ikut mengelola butik perlengkapan muslim / muslimah peninggalan ayah dan mama kandungku. 

Bukanya tak berani melawan, tapi ayah selalu mengajarkanku tentang menghormati mama sambungku itu. Apalagi bu Ros sudah merawatku sejak meninggalnya mama kandungku sepuluh tahun yang lalu karena kecelakaan. Meski merawatnya yaa ... begitulah.  

Jika dikiaskan, aku bagaikan bawang putih, dan dua saudara tiriku adalah bawang merah. 

Dilain sisi aku tahu ayah begitu mencintai istri keduanya itu, yang tak lain juga teman mamaku sendiri. Saking cintanya, ayah pernah mengancam dirinya sendiri untuk bun*h dir* jika bu Ros benar-benar meninggalkannya.

Itulah alasannya aku tetap bertahan demi ayah. Lagipula, diusiaku yang masih kecil kala itu, aku bisa apa? 

“Orang desa dapet duit 500 juta cepet banget, ya. Ngepet pasti. Hahaha!”  ucap mas Bima suami mbak Sinta.

“Hus! Kamu kalau ngomong suka bener deh Mas. Hahaha!” kali ini mbak Sinta ikut tertawa.

“Iya, ya. ‘Kan baru kemarin lusa lho kalian datang kemari, kok sekarang udah bawa aja uang 500 jutanya? Ini halal ‘kan?” ujar mama seakan mengiyakan ucapan anak dan menantunya itu.

“Halal Bu, dijamin, karena kami jual sawah milik kami,” jelas pak Santoso ayah mas Umair.

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Sebegitu pentingkah diriku hingga mereka rela menjual sawah mereka hanya untuk pernikahan ini? Padahal aku dan mas Umair sendiri baru kedua kali ini bertemu. 

"Bagus! Kalau gitu cepet nikahin Saudah. Tapi ingat, nikahnya juga harus mewah, " kata mama membuatku menelan salivaku sendiri. Malu. 

"Bisa nikahnya sederhana saja? Apa uang 500 juta itu kurang? " tanya mas Umair. 

"Yah, ment*l misk*n! " umpat mbak Sinta seraya membuang muka. 

Terlihat dari raut wajah mas Umair dan kedua orang tuanya menahan amarah. Aku sendiri tak bisa berkata apa-apa. Karena otakku sendiri rasanya sudah lelah memikirkan cara untuk membalas perbuatan mereka selama ini, sekaligus untuk mengusir mereka dari kehidupanku. 

Maklumlah, mereka ramai-ramai, aku sendiri. 

"Keluarga mas Umair udah jual sawahnya, Ma. Aku gak enak jadinya. Nikah sederhana juga gak pa-pa," kataku. 

"GAK! 500 juta ini syarat dari mama, jadi buat mama. Urusan pernikahan beda lagi! " sahut mama tak terima. 

"Baik. Kami akan turuti permintaan Anda, " balas pak Santoso. 

"Bagus! " ketus mama. 

Aku tahu mereka dekat dengan ayah, tapi mengikuti semua keinginan mama sambungku, apa tujuan mereka sebenarnya? Apa mungkin mereka berniat untuk merebut harta milik ayah? Sama seperti niat bus*k bu Ros dan anak-anaknya yang baru ku ketahui beberapa hari setelah meninggalnya ayahku. 

Tidak!! Siapapun tidak akan ku biarkan merebut harta peninggalan ayahku. 

Meskipun harta peninggalan ayah tak seberapa, hanya rumah ini, satu mobil atas nama ayah, dan sejumlah tabungan di bank juga butik. Tapi itu semua adalah hakku sebagai ahli warisnya yang sah. Bukan orang lain! 

***

Acara pernikahanku pun di gelar. Di gedung mewah di daerah kota tempatku tinggal. Semua biaya ditanggung pihak keluarga mas Umair. Termasuk katering dan undangan. 

Aku sendiri merasa heran, kenapa mas Umair memenuhi permintaan mama tiriku. Padahal jelas-jelas permintaan mama hanya untuk ajang pamer pada teman-temannya. 

Perasaanku jadi tak enak, takut jika mas Umair berhutang pada bank untuk biaya pernikahan ini. Kalau benar begitu, ujung-ujungnya aku disuruh untuk membayar angsurannya. 'Kan nyebelin! 

"Gak penting duitnya darimana, yang jelas kamu lihat ini, wah banget. Temen-temen mama aja pada kagum, " kata mama ditengah-tengah acara yang telah berlalu. 

Aku menghela nafas kasar. Untuk saat ini ku laksanakan wasiat ayah terlebih dahulu. Menikah dengan orang pilihan ayah. Meskipun orang desa, penampilan sederhana, kalaupun hatinya bus*k seperti mama tiriku juga anak-anaknya, akan ku singkirkan dia. 

"Rosdianaaaaaa!!!"

Mendengar suara memanggil nama mama saat tengah acara, seketika semua tamu undangan menutupi kedua telinganya. Bagaimana tidak, seseorang itu memanggil menggunakan pengeras suara. Para tamu undangan pun menoleh kearah sumber suara. Pak Marwan ternyata. 

"Kamu bilang Suadah mau dinikahin sama saya?!  Tapi ternyata malah kamu sandingin sama laki-laki ndeso kayak dia! " protes pak Marwan ketika di hadapan mama. 

"Jaga mulutmu ya! " Mama menunjuk kearah wajah pak Marwan yang penuh emosi. "Menantuku bukan laki-laki ndeso seperti katamu! Lihat acara ini, mewah! "

Aku tahu, emosi yang mama tunjukkan hanya untuk menutupi kebenaran yang diucapkan pak Marwan. 

"Kalau gitu bayar hutangmu sekarang juga! " pak Marwan menadahkan telapak tangannya kearah mama. Mama sendiri tampak kikuk menghadapinya. 

"Hu-hutang apa maksudmu? " balas mama gugup. Wanita paruh baya itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 

"Halah! Gak usah sok lupa! Atau ku beberkan saja di sini? " Pak Marwan semakin tak sabar. Emosinya sudah memuncak. 

Sementara situasi acara kini berubah. Terlihat para tamu undangan yang kebanyakan dari teman-teman mama, tetangga kompleks pun saling berbisik. 

"Duh, jeng Ros punya utang gak dibayar. Malu-maluin, " ucap seseorang yang tak jauh dariku dengan pelan, namun aku dapat mendengarnya.

"Iya. Sombong, sih dia, " sahut yang lainnya. 

Tiba-tiba, tanpa di duga mas Umair menghampiri pak Marwan dan mama. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hay Wan
thor lu ngambil referensi dari kisah cinderella yah?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Tamat

    #SKDYpart 120 TamatPetang sudah menjelang, matahari hampir turun ke peraduan dan Mas Umair baru saja sampai ke rumah dengan Mas Bima yang seraya pulang bersama Mbak Sinta. Setelah selesai sholat maghrib, mendadak pintu rumah kami diketuk dan seseorang yang datang, mengejutkan aku serta Mas Umair seketika.Romi … Benar, lelaki yang sempat menyatakan perasaannya lewat suamiku itu kembali muncul. Ku pikir setelah kepergiannya dari bumi perkemahan waktu itu ia sudah menghilang bersama istrinya. Sebab, semenjak itu pula lah mas Umair mengaku tidak pernah lagi berkomunikasi. Padahal hubungan kami terbilang baik-baik saja. “Assalamuallaikum … Umair?” Romi mengulas sebuah senyuman di hadapan suamiku.“Waalaikum salam. Oh kamu, Romi? Ayo masuk – masuk! Silahkan masuk,” kata suamiku yang justru terlihat lebih tenang dan santai.“Tidak usah, aku duduk di teras saja.” Romi menolak dan langsung berbalik mencari kursi di teras rumah kami yang langsung menghadap ke pekarangan yang lumayan luas.

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Siapa yang Datang?

    #SKDYPart 119 Siapa yang datang? Keluar dari kamar, kami berdua sudah saling bergandengan tangan. Atau lebih tepatnya, Mbak Sinta yang terus menggandeng tanganku tanpa berniat melepaskannya begitu saja. Meski masih ada jejak air mata di kedua pipi Mbak Sinta. Bisa ku lihat dengan jelas sebuah senyum merekah di bibir kecilnya. Senyuman yang hampir tak pernah ku lihat bahkan semenjak kami bersama dulu. Mas Bima terlihat ikut senang dengan perdamaian antara kami berdua. Begitu pun dengan Mas Umair yang ikut tersenyum dan memperlihatkan ekspresi bangga dengan kebesaran hati yang kuberikan pada Mbak Sinta. Sementara Abi hanya mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ secara lirih dan pergi begitu saja keluar rumah diikuti oleh Umi. Entah kenapa mereka melakukannya setelah sempat menyampaikan keinginan mereka agar kami saling memaafkan. Tapi aku enggan memikirkannya untuk saat ini.“Karena semua sudah membaik, bagaimana kalau kalian juga ikut hadir dalam acara aqiqah putri kami hari ini?” Mas Uma

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Memaafkan?

    #SKDYPart 119 Memaafkan? Mungkin karena melihat Mbak Sinta yang tak kunjung mendapatkan maaf dari kami, membuat Mas Bima yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. Kemudian ikut berlutut di hadapan Abi dan Umi. Kini pria berusia hampir 40 tahun tersebut menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu dalam dan membuat Abi yang awalnya membuang muka, kini mulai menatap wajah Mas Bima.“Abi … Bima sadar, sebagai suami … Bima sudah gagal mendidik istri Bima selama ini, hingga membuat Sinta mampu melakukan hal yang tidak seharusnya.” Mas Bima terlihat menangis sejurus kemudian, mengejutkan kami semua termasuk aku.“Sepertinya, mereka benar – benar sudah menyesal, Dek.” Mas Umair membisiki telingaku.Aku kembali mengernyitkan kening dan melihat ke arah suamiku ini. Kebiasaan mas Umair yang bisa semudah ini untuk memaafkan mbak Sinta dan mas Bima. Setelah semua yang mereka lakukan pada kami?Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Mas Umair kembali berbisik.“Coba kamu tarik nafas dala

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Kemunculan Mbak Sinta

    #SKDYPart 118 Kemunculan Mbak SintaRahma membuntutiku dari belakang dan beberapa kali mengintip. Sementara aku merasakan jantungku berdegup cukup kuat dan kencang. Perasaan penasaran dan takut kalau kejadian buruk yang lalu terulang kembali, kini mulai merasuk ke dalam benak dan pikiranku. Aku takut, kalau Mbak Sinta datang untuk kembali membuat ulah seperti dulu.Menghancurkan kebahagiaan yang sedang ku rasakan bersama keluargaku baru – baru ini. Kalau sampai itu terjadi, rasanya aku pasti akan sangat gila dan siap mengamuk di depan perempuan itu. Sumpah serapah juga sudah siap ku lontarkan dari mulutku ini, jika dia menyerukan kata – kata pahitnya lagi. Tak akan ada rasa peduli lagi dengan sikap apa yang akan diperingatkan oleh mas Umair terhadapku. Tak akan ku biarkan acara untuk kebahagiaan putriku dihancurkan oleh kakak tiriku itu. Memang setelah menghilangnya mbak Sinta dulu aku sudah memaafkan semua kesalahannya. Namun, entah bagaimana perasaan takut dan was-was jika mbak Si

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Beberapa Bulan Berlalu

    #SKDYPart 117 Beberapa Bulan BerlaluHari pun menjelang siang. Aku dan mas Umair bergegas membereskan semua perlengkapan camping kami. Ya, suamiku itu memutuskan untuk segera pulang. Sebab, bukan hanya Shaka yang menjadi alasan kami tetapi juga paper bag pemberian Romi tadi dimana mas Umair sendiri juga mengungkapkan rasa penasarannya. "Ha ha ha! Penasaran juga 'kan kamu!" batinku sambil melihat mas Umair. Sesampainya di rumah, entah mengapa tiba-tiba aku juga ikut tak sabar untuk melihat isi paperbag pemberian Romi tadi. Begitu juga dengan mas Umair. Suamiku itu bahkan hanya meletakkan barang-barang kami begitu saja di dekat meja. "Alhamdulillah .... " Serentak aku dan mas Umair berucap ketika mengetahui apa yang ada di dalam paperbag tersebut. Benar, di dalam paperbag tersebut berisikan sebuah hexa frame yang berukuran mini yang mana terdapat lampu yang bisa meneranginya jika ditekan pada tombol di salah satu sudutnya. Terlihat sederhana memang tetapi aku tahu maksud dari hexa

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Kehadiran Romi

    #SKDYPart 116 Kehadiran Romi"Mas jangan kayak ginilah. Hanya gara-gara Romi biar terlihat baik-baik aja di hari pernikahannya malah membuat Mas gak bertindak apa-apa. Dia itu kayak Rima lho, Mas. Tolong, jangan diam aja kalau sudah menyangkut rumah tangga kita," tuturku panjang lebar. Berusaha meyakinkan mas Umair agar tidak berserah diri dengan keadaan. "Kamu yang tenang, Dik. Mas ada alasan lain kenapa Mas ambil keputusan ini," kata mas Umair yang membuatku menautkan kedua alisku. Alasan lain? Alasan apalagi ini? "Maksud, Mas?" tanyaku kebingungan. Bukannya menjawab pertanyaanku mas Umair malah melihat kearah jam tangan yang melingkar dj lengan kirinya. "Sudah malam rupanya. Ayo tidur!" kata mas Umair setelah mengetahui waktu yang menunjukkan hampir tengah malam. "Tapi Mas—" dengan cepat mas Umair meletakkan kedua tangannya di sisi bahuku sambil berkata," tidur dulu ya, biar tendanya gak sia-sia." Mas Umair tersenyum lalu masuk ke dalam tenda. Mendengar mas Umair berkata dem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status