Share

Pulang ke Desa

Author: OptimisNa_12
last update Last Updated: 2022-03-28 22:12:33

Part 4 Pulang ke Desa

Hari ini hari terakhir aku di rumah ini. Urusan surat-surat sertifikat sudah ku serahkan pada notaris untuk mengganti semua aset milik ayah dan ibuku atas namaku. 

Dan untuk bagian mama, akan ku serahkan nanti jika semua sertifikat itu sudah selesai ditangani.

"Sudah semua, Mas? " tanyaku pada mas Umair saat kami tengah mempersiapkan barang bawaan untuk ke desa. 

"Sudah. "

Tiga buah koper besar berisikan barang dan pakaianku juga punya mas Umair siap dibawa. 

"Kamu yang betah disana, sereot apapun gubuknya itu juga gubuk suamimu, " kata mama ketika kami hendak berpamitan. 

Lagi, aku dibuatnya terdiam. Aku tahu maksud mama hanya ingin menghina mas Umair. Karena dimatanya, mas Umair yang notabene orang desa pasti rumahnya lebih kecil dari rumah ini. 

"Iya, Ma. Sepekan sekali insyaaAllah kami akan usahakan untuk pulang ke sini. Ngecek keuangan butik, " kataku usai mencium punggung tangan ibu tiriku itu. 

"Jangan aneh-aneh, deh, jarak rumahmu ke sini itu butuh perjalanan jauh. Bisa menyita waktu seharian untuk pulang pergi. Belum ongkosnya. Makan di jalan. Semua itu bisa kamu gunakan untuk makan sehari-hari kalian. Kalau kalian sering kesini yang ada nanti makin misk*n, " ujar mama panjang lebar.  Yang tak lain maksudnya pasti agar aku tak ikut campur soal keuangan butik. L*c*k! 

Mas Umair mencium takzim tangan mama untuk berpamitan. "Jangan khawatir soal itu, Ma, ku pastikan insyaaAllah Saudah tidak akan kekurangan uang nantinya, " ucap mas Umair. 

"Halah, gak usah bergaya. Petani sepertimu emang duitnya berapa, sih? "

Mas Umair tak menanggapi perkataan mama. Ia lebih memilih diam. Aku tahu, jika ia membalas perkataan mama, pasti juga ujung-ujungnya mama tidak akan percaya. 

"Mama beneran kehilangan sertifikat itu? " tanyaku yang membuatnya berhenti mengutak atik gawainya. 

Beberapa saat kemudian, mama masih terdiam. Tak ada jawaban darinya. 

"Saudah, kalau kamu gak betah, ya dibetah-betahin pokoknya. Jangan gampang minta pulang ke rumah, " kata mbak Sinta yang duduk di sebelah mama. 

Ah, perkataannya tidak mencerminkan dirinya. Dia saja masih ikut dengan ibunya sendiri. Apa yang bisa ku ambil nasihatnya? Manusia, oh manusia. 

Kami pun berjalan kearah luar. Menunggu mobil sewa yang sebentar lagi datang. Mama dan mbak Sinta mengikuti kami dari belakang. 

Mas Umair memang memilih untuk menyewa saja untuk perjalanan ke desa, agar kami tak kerepotan mengurus mobilku disana nantinya. 

"Sudah ada mobil disana, " kata mas Umair setalah kami sepakat untuk menyewa mobil. 

"Akan ku jadikan kamu jadi ratu di rumahku nanti, " bisik mas Umair kala mobil yang kami sewa telah memasuki halaman rumah. 

Aku tersenyum kearahnya. Tanpa dijadikan ratu pun aku akan tetap bahagia bersamanya. 

***

Urusan yang berkaitan dengan sertifikat sudah ku serahkan pada notaris. Termasuk hak mama yang nantinya akan ia terima. Aku dan mas Umair tinggal menunggu hasil. 

Begitu juga dengan keuangan butik. Sudah ku perintahkan pada Novi, orang kepercayaanku di butik. 

Novi juga adalah karyawan pertama ibuku dulu saat beliau membuka butik itu. Karena ketelatenan dan kejujurannyalah ia menjadi tangan kanan ibuku hingga menurun ke aku. 

Kurang lebih tiga jam perjalanan kami tempuh. Akhirnya aku sampai di tempat kelahiran suamiku dan ayahku. 

Ku amati rumah dihadapanku saat ini setelah turun dari mobil. Pandanganku berkeliaran ke sekitar rumah ini. Dan aku pun menyadari, bahwa rumah dihadapanku ini adalah rumah terbesar diantara yang ada. 

Pekarangan yang cukup luas. Dengan rumah yang memang besar meskipun tidak berlaintai dua. Lingkungan yang bersih dan tanaman bunga yang asri menghiasai di pinggiran pekarangan. 

"Selamat datang. " Sambut bu Nila yang juga ibu mertuaku. Beliau berjalan kearah kami. 

"Assalamualaikum, " ucap mas Umair seraya mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Lalu diikuti olehku. 

"W*'alaikumsalam, " balasnya seraya memeluk mas Umair dan bergantian denganku.

"Mas Umair! "

Seketika kami menoleh ke belakang dimana arah sumber suara. 

Ternyata seorang wanita muda yang ku perkiraan ia seumuran denganku bersama seorang wanita paruh baya berjalan kearah kami. 

"Riska, bu Lastri, " kata bu Nila melihat kearah mereka. 

"Oh, ini to istrimu Mair. Luamyanlah, seengaknya gak malu-maluin kalau diajak pergi. Tapi masih jauh sama anakku, sih," kata seseibu yang bernama Lastri tersebut. Ia memandangku dengan pandangan tak suka. 

"Mas, kamu nikah kok gak bilang-bilang, sih? Apa kamu sudah lupain aku gitu aja? " ucap wanita muda yang berada di samping bu Latri. Riska. 

Sebenarnya aku dibuat heran. Ada apa ini? Dan siapa mereka yang tiba-tiba datang mencela fisikku dan mempermasalahkan pernikahanku dengan mas Umair 

Sementara mas Umair terlihat bersikap biasa saja. Tapi entah kenapa, wanita bernama Riska ini seakan tak suka padaku. Sama halnya dengan ibunya. Bahkan ia melihatku dengan tatapan sinis. 

"Siapa mereka, Mas? " tanyaku pada mas Umair. 

"Aku tuh calon istrinya mas Umair. Tapi semuanya berantakan gara-gara kamu! " sahut Riska yang membuatku terperangah mendengarnya. 

"Maksudnya apa, Mas? " kali ini aku benar-benar kebingungan. Mas Umair tak kunjung menjelaskan. Begitu juga dengan bu Nila. Beliau hanya diam saja. 

"Jadi dugaanku benar kalau kamu juga penjahat?  Yang sama jahatnya dengan mama dan saudara tiriku? " kataku tak sabaran. Geram rasanya, apalagi lelaki berstatus suamiku ini tampak biasa-biasa saja sikapnya. 

"Jangan sembarangan kamu bilang, ya! Yang jahat itu kamu. Merusak kebahagiaan orang! " tegas bu Lastri. 

Ku buang nafas kasar. Mencoba menenangkan diri. "Bu, bisa jelaskan sama saya? " kataku sesopan mungkin pada bu Nila. 

Bu Nila bukannya menjawab pertanyaanku, beliau malah mengalihkan pandangannya kearah bu Lastri. Mengusap pelan sebelah pelipisnya lalu menghela nafas. 

"Cukup Bu Lastri? " tanya bu Nila. Membuatku semakin kebingungan. Cukup bagaimana maksudnya? Kenapa tidak langsung menegur dan mengingatkan saja. Menjelaskan yang sejelas-jelasnya padaku. 

"Belum! " balas bu Lastri. 

Bu Nila hanya membalas dengan senyuman sembari memajukan satu tangannya kearahku. Seakan mempersilakan bu Lastri untuk terus menghinaku. 

"Mas, jawab aku! " kataku seraya menggoyang-goyangkan lengan suamiku ini. Tapi dia tetap diam. 

"Dasar pelakor! " kata Riska yang ditujukan padaku. 

Ku alihkan mataku padanya. Ku tatap ia dengan penuh amarah yang siap ku ledakkan. 

Ku majukan kakiku lebih dekat dengannya. Kini mataku dan mata Riska saling bertatapan. "Jaga mulutmu! Kamu pikir kamu siapa? Istrinya? Hah! " ujarku emosi. 

"Pelakor! " balasnya yang membuatku semakin naik pitam. 

"Kamu! " ku angkat tangan kananku kearah wajahnya. Ingin sekali ku tampar dirinya, namun mas Umair dengan cepat menahan tanganku. 

"Sabar, Dek, " katanya menurunkan tanganku. 

"Jelaskan apa maksud dari ini semua?! " tanyaku dengan ku naikkan nada tinggiku. 

Rasanya hatiku benar-benar teriris-iris. Baru saja aku mulai mencintai dan menerimanya, tapi apa nyatanya yang ku dapat? Mas Umair dan keluarganya seakan mempermainkanku. Mempermainkan pernikahan ini dan juga wasiat dari ayahku. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Tamat

    #SKDYpart 120 TamatPetang sudah menjelang, matahari hampir turun ke peraduan dan Mas Umair baru saja sampai ke rumah dengan Mas Bima yang seraya pulang bersama Mbak Sinta. Setelah selesai sholat maghrib, mendadak pintu rumah kami diketuk dan seseorang yang datang, mengejutkan aku serta Mas Umair seketika.Romi … Benar, lelaki yang sempat menyatakan perasaannya lewat suamiku itu kembali muncul. Ku pikir setelah kepergiannya dari bumi perkemahan waktu itu ia sudah menghilang bersama istrinya. Sebab, semenjak itu pula lah mas Umair mengaku tidak pernah lagi berkomunikasi. Padahal hubungan kami terbilang baik-baik saja. “Assalamuallaikum … Umair?” Romi mengulas sebuah senyuman di hadapan suamiku.“Waalaikum salam. Oh kamu, Romi? Ayo masuk – masuk! Silahkan masuk,” kata suamiku yang justru terlihat lebih tenang dan santai.“Tidak usah, aku duduk di teras saja.” Romi menolak dan langsung berbalik mencari kursi di teras rumah kami yang langsung menghadap ke pekarangan yang lumayan luas.

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Siapa yang Datang?

    #SKDYPart 119 Siapa yang datang? Keluar dari kamar, kami berdua sudah saling bergandengan tangan. Atau lebih tepatnya, Mbak Sinta yang terus menggandeng tanganku tanpa berniat melepaskannya begitu saja. Meski masih ada jejak air mata di kedua pipi Mbak Sinta. Bisa ku lihat dengan jelas sebuah senyum merekah di bibir kecilnya. Senyuman yang hampir tak pernah ku lihat bahkan semenjak kami bersama dulu. Mas Bima terlihat ikut senang dengan perdamaian antara kami berdua. Begitu pun dengan Mas Umair yang ikut tersenyum dan memperlihatkan ekspresi bangga dengan kebesaran hati yang kuberikan pada Mbak Sinta. Sementara Abi hanya mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ secara lirih dan pergi begitu saja keluar rumah diikuti oleh Umi. Entah kenapa mereka melakukannya setelah sempat menyampaikan keinginan mereka agar kami saling memaafkan. Tapi aku enggan memikirkannya untuk saat ini.“Karena semua sudah membaik, bagaimana kalau kalian juga ikut hadir dalam acara aqiqah putri kami hari ini?” Mas Uma

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Memaafkan?

    #SKDYPart 119 Memaafkan? Mungkin karena melihat Mbak Sinta yang tak kunjung mendapatkan maaf dari kami, membuat Mas Bima yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. Kemudian ikut berlutut di hadapan Abi dan Umi. Kini pria berusia hampir 40 tahun tersebut menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu dalam dan membuat Abi yang awalnya membuang muka, kini mulai menatap wajah Mas Bima.“Abi … Bima sadar, sebagai suami … Bima sudah gagal mendidik istri Bima selama ini, hingga membuat Sinta mampu melakukan hal yang tidak seharusnya.” Mas Bima terlihat menangis sejurus kemudian, mengejutkan kami semua termasuk aku.“Sepertinya, mereka benar – benar sudah menyesal, Dek.” Mas Umair membisiki telingaku.Aku kembali mengernyitkan kening dan melihat ke arah suamiku ini. Kebiasaan mas Umair yang bisa semudah ini untuk memaafkan mbak Sinta dan mas Bima. Setelah semua yang mereka lakukan pada kami?Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Mas Umair kembali berbisik.“Coba kamu tarik nafas dala

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Kemunculan Mbak Sinta

    #SKDYPart 118 Kemunculan Mbak SintaRahma membuntutiku dari belakang dan beberapa kali mengintip. Sementara aku merasakan jantungku berdegup cukup kuat dan kencang. Perasaan penasaran dan takut kalau kejadian buruk yang lalu terulang kembali, kini mulai merasuk ke dalam benak dan pikiranku. Aku takut, kalau Mbak Sinta datang untuk kembali membuat ulah seperti dulu.Menghancurkan kebahagiaan yang sedang ku rasakan bersama keluargaku baru – baru ini. Kalau sampai itu terjadi, rasanya aku pasti akan sangat gila dan siap mengamuk di depan perempuan itu. Sumpah serapah juga sudah siap ku lontarkan dari mulutku ini, jika dia menyerukan kata – kata pahitnya lagi. Tak akan ada rasa peduli lagi dengan sikap apa yang akan diperingatkan oleh mas Umair terhadapku. Tak akan ku biarkan acara untuk kebahagiaan putriku dihancurkan oleh kakak tiriku itu. Memang setelah menghilangnya mbak Sinta dulu aku sudah memaafkan semua kesalahannya. Namun, entah bagaimana perasaan takut dan was-was jika mbak Si

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Beberapa Bulan Berlalu

    #SKDYPart 117 Beberapa Bulan BerlaluHari pun menjelang siang. Aku dan mas Umair bergegas membereskan semua perlengkapan camping kami. Ya, suamiku itu memutuskan untuk segera pulang. Sebab, bukan hanya Shaka yang menjadi alasan kami tetapi juga paper bag pemberian Romi tadi dimana mas Umair sendiri juga mengungkapkan rasa penasarannya. "Ha ha ha! Penasaran juga 'kan kamu!" batinku sambil melihat mas Umair. Sesampainya di rumah, entah mengapa tiba-tiba aku juga ikut tak sabar untuk melihat isi paperbag pemberian Romi tadi. Begitu juga dengan mas Umair. Suamiku itu bahkan hanya meletakkan barang-barang kami begitu saja di dekat meja. "Alhamdulillah .... " Serentak aku dan mas Umair berucap ketika mengetahui apa yang ada di dalam paperbag tersebut. Benar, di dalam paperbag tersebut berisikan sebuah hexa frame yang berukuran mini yang mana terdapat lampu yang bisa meneranginya jika ditekan pada tombol di salah satu sudutnya. Terlihat sederhana memang tetapi aku tahu maksud dari hexa

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Kehadiran Romi

    #SKDYPart 116 Kehadiran Romi"Mas jangan kayak ginilah. Hanya gara-gara Romi biar terlihat baik-baik aja di hari pernikahannya malah membuat Mas gak bertindak apa-apa. Dia itu kayak Rima lho, Mas. Tolong, jangan diam aja kalau sudah menyangkut rumah tangga kita," tuturku panjang lebar. Berusaha meyakinkan mas Umair agar tidak berserah diri dengan keadaan. "Kamu yang tenang, Dik. Mas ada alasan lain kenapa Mas ambil keputusan ini," kata mas Umair yang membuatku menautkan kedua alisku. Alasan lain? Alasan apalagi ini? "Maksud, Mas?" tanyaku kebingungan. Bukannya menjawab pertanyaanku mas Umair malah melihat kearah jam tangan yang melingkar dj lengan kirinya. "Sudah malam rupanya. Ayo tidur!" kata mas Umair setelah mengetahui waktu yang menunjukkan hampir tengah malam. "Tapi Mas—" dengan cepat mas Umair meletakkan kedua tangannya di sisi bahuku sambil berkata," tidur dulu ya, biar tendanya gak sia-sia." Mas Umair tersenyum lalu masuk ke dalam tenda. Mendengar mas Umair berkata dem

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Ancaman

    #SKDYPart 115 AncamanNamun, karena mas Umair menyebut nama Shaka, hal itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan ia katakan sehingga tak ingin anaknya itu tahu.Pikiranku pun tanpa dipaksa mendadak ikut menebak-nebak tentang apa yang akan disampaikan oleh suamiku itu. Jika tentang pekerjaannya rasanya tak mungkin. Jika tentang rasa cintanya terhadapku, bukankah barusan ia mengungkapkannya? Ah, benar-benar aku tak bisa mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada diri mas Umair. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku. "Kamu kenal Romi?" mas Umair menoleh kearahku sebentar. "Romi?" gumamku lalu mengingat-ingat kembali siapa yang dimaksud mas Umair. Beberapa detik kemudian aku pun tersadar dan teringat dengan sosok Romi yang dimaksudkan oleh suamiku itu. Ya, Romi adalah temanku di masa sekolah. Waktu itu memang kami terbilang dekat, namun bukan berarti kami ada hubungan spesial. Kami hanya teman biasa. Kami pun sudah lama tak berkomunikasi. Lebih tepatnya semenjak Romi memutusk

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Sikap Berbeda dari Mas Umair

    #SKDYPart 114 Sikap Berbeda dari Mas Umair"Emangnya Mas mau ngomongin apa?" perlahan dengan suara pelan aku menoleh kearah suamiku itu. Mas Umair membalas tolehanku. Ia tersenyum kecil sembari berkata," nanti kamu juga tau."Belum sempat aku membalas perkataannya mas Umair sudah melangkahkan kakinya menuju mobil. Mempersiapkan segala sesuatu untuk kegiatan camping hari ini. Sedangkan aku masih terdiam di tempat dan mencoba mencerna apa saja yang dikatakan mas Umair sebelumnya. ***Sembari menikmati suasana malam yang teramat dingin aku dan mas Umair menyantap makanan yang kami beli di warung makan yang memang berada di sini. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku sembari menyiapkan peralatan makan yang sudah kami bawa dari rumah. "Makan dulu, ya," kata mas Umair menoleh kearahku lalu kembali memandangi bintang-bintang di atas sana. "Selalu begitu," gerutuku. Meski agak kesal karena masih dibuat penasaran, tetapi mau bagaimana lagi? Sebab memang begitulah tabiat suamiku itu. Awalnya a

  • Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya    Ke Suatu Tempat

    #SKDYPart 113 Ke Suatu TempatNamun, sedetik setelah menutup pintu kamar tidur langkahku langsung terhenti. Aku terdiam tepat di depan pintu dan menyadari sesuatu hal yang membuatku beristighfar sembari mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. "Astaghfirullah," ucapku kesal pada diriku sendiri. Dengan langkah malas sembari menahan malu akhirnya aku berbalik badan kembali ke kamar. Sebab, ternyata tanpa ku sadari kalau sebetulnya waktu sudahlah gelap. Bahkan saat sudah membuka pintu kamar netraku langsung tertuju pada jam dinding yang berada di ruang kamar tidur. Memastikan apakah kegelapan yang ku lihat benar adanya. Dan ternyata memang begitu keadaannya. "Tau 'kan jam berapa?" tanya mas Umair yang melihatku kembali masuk ke dalam kamar. "Iya, Mas, maaf," kataku sembari menghampiri suamiku. Sekarang aku sadar mengapa mas Umair menyuruhku melepas gamis yang ia berikan tadi. Karena memang waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam tentu diwaktu seperti ini ka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status