Share

Penolakan Mas Tama

Sepertiga malam yang sunyi, aku bangunkan Mas Tama dari tidur lelapnya, untuk melaksanakan aktifitas seperti biasa. 

"Mas bangun, sudah jam tiga. Ayo sholat malam," ajakku menepuk pundak suamiku. 

"Iya Dek," ucap suamiku yang masih memejamkan mata. 

"Aku ambil wudhlu dulu ya Mas," izinku. 

Mas Tama hanya mengangguk dengan mata masih terpejam, kuberanjak dari ranjang peraduan kami. 

Tak berapa lama Mas Tama sudah berada di tubuhku, untuk menyusul ku mengambil air wudhlu. 

Kami pun segera melaksanakan ibadah malam dengan khusuk. 

Selesai sholat kucium tangan kanan suamiku, ia membalas dengan mengelus kepalaku lembut. 

"Dek, kamu nggak usah masak ya. Ini kan hari libur, aku mau ngajak kamu makan di luar," pinta Suamiku. 

"Baik mas," jawabku. 

Kami pun melanjutkan rutinitas ibadah menunggu datangnya waktu shubuh. 

Hari ini ku beranikan diri untuk meminta izin kepada suamiku, untuk menyetujui niatku. 

Pelan_pelan ku utarakan maksud hati serta tujuanku kepada imamku. 

"Dek, kita cari sarapan yuk," ajak Mas Tama. 

"Aku ganti baju sebentar ya Mas," ucapku. 

"Iya Dek," ucap suamiku. 

Setelah ganti baju, aku segera menghampiri suami tercintaku yang sudah menungguku di ruang tamu. 

"Ayo mas, aku sudah siap," ucapku. 

"Ayo dek, kita jalan kaki saja ya sekalian olah raga," pinta Imamku. 

"Baik Mas," ucapku menyetujui permintaan Mas Tama. 

Kamipun berjalan untuk mencari sarapan di pagi yang cerah ini. Di persimpangan jalan nampak warung makan yang sudah di penuhi pengungjung. 

"Mas, disana rame banget ya? Jual apa ya mas?" tanyaku heran. 

"Itu jual gule sama sate kambing Dek, kamu mau?" ucap pria tampanku. 

Aku hanya menggelengkan kepala, pertanda menolak tawarannya. 

"Mas, duduk dulu yuk," ucapku. 

"Iya Dek," ucap suamiku. 

Kuajak ia duduk ditrotoar pinggir jalan. 

"Mas aku pengen makan nasi gudeg lengkap sama lauknya," pintaku. 

"Iya, kita beli yuk. Kamu capek nggak? Kalau capek biar mas yang beli, kamu tunggu disini saja," ucap suamiku. 

"Iya deh Mas aku nunggu disini ya," kataku. 

Secepat kilat suamiku melangkahkan kaki menuju penjual gudeg di emperan. Tak lama kemudian ia pun menghampiri diriku membawa kresek yang berisi bungkusan nasi gudeg seperti yang kuminta. 

"Kok cepet, Mas?" tanyaku. 

"Iya Dek, ayo kita pulang," ajak suamiku. 

Kami berjalan pelan menuju kompleks perumahan kami yang letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri sekarang. 

Sembilan menit kemudian kami tiba di rumah. Segera kuraih kunci pintu di saku gamis yang ku kenakan pagi ini. Kubuka pintu rumah kami dan kami pun memasuki rumah. 

"Assalamualaikum," ucap kami saat memasuki rumah. 

Kulangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil perlengkapan makan. Kuletakan makanan yang kami beli di meja makan. 

"Mas, ayo kita sarapan," ajaku. 

"Iya Dek, aku cuci tangan dulu," jawab suamiku. 

"Iya Mas," timpalku. 

"Aku tadi beli gudeg lengkap sama lauk pauk nya," kata Mas Tama. 

"Oh pantes banyak banget Mas," ucapku. 

"Sengaja biar kamu bisa milih lauk nya," ucap suamiku. 

Lidah kami pun pagi ini dimanjakan hidangan khas kota kami. Terlihat suamiku menikmati kudapan yang ia pilih. 

"Mas, habis ini mandi ya. Ada yang mau aku bahas," kataku. 

"Mau bahas apa, Dek? Sekarang saja, biar aku nggak penasaran," ucap Mas Tama. 

"Nanti saja Mas, habis kita mandi," tegasku. 

"Iya," ucap Mas Tama menyetujui. 

Mas Tama dan aku mandi secara bergantian. Selesai membersihkan diri, suamiku sudah menungguku di teras. 

"Kamu mau bahas apa Dek?" tanya suamiku membelai rambutku. 

"A-ku se-benarnya bingung mau mulai dari mana, Mas. Intinya aku mau Mas Tama nikah lagi. Aku yang akan milih istri buat kamu Mas," ucapku dengan berat hati dan terbata_bata. 

"Apa?" Ngaco, aku nggak mau," tolak suamiku lantang. 

"Mas, ayo jangan egois. Aku juga berat dan berusaha berbesar hati dengan situasi dan keputusanku ini," ucapku. 

"Dek, aku tau kamu bingung dengan penyakit kamu. Tapi kita juga sedang berusaha cari obat nya. Kamu yang sabar, jangan putus asa. Aku nggak menuntut kamu cepat punya momongan," jelas suamiku. 

Mendengar kalimat penegasan yang terangkai dari mulut suamiku, hatiku terenyuh. Betapa suamiku sangat menghargai dan mencintaiku dengan tulus. 

"Mas, aku tahu mas nggak menuntut aku cepat punya momongan, tapi keaddan yang menuntut kita Mas. Mas Mama kamu sudah ingin melihat cucu dari keturunan mu." tegasku. 

"Iya Dek, aku tahu tapi apa tidak ada solusi lain? Misal kita adopsi anak atau apa?" tanya suamiku. 

"Mas, ini semua sudah ku pikir dengan matang. Kita adopsi anak? Mungkin itu terkesan membantu kita menyelesaikan masalah ini. Tapi tetap saja dia bukan darah dagingmu, kan? Sementara Mama ingin keturunanmu Mas," terangku. 

"Tapi menurutku ini konyol, Dek. Kamu sudah nggak sayang lagi sama aku?" gertak suamiku. 

"Justru aku lahkukan ini karena aku sayang sama kamu, Mas," jawabku. 

Sepenuh tenaga kucoba merayu dan memberi pengertian pada suamiku, tapi ia tetap menolak permintaanku. 

"Dek, dalam pernikahan itu tidak boleh ada unsur paksaan, hakikat menikah itu mau menerima satu sama lain," ucap Mas Tama. 

"Aku tahu Mas, tapi ini darurat dan jalan satu_satunya agar kita mempunyai keturunan," sanggahku. 

"Dek, sebelum kamu menyuruhku berpoligami, alangkah baiknya kamu memahami arti poligami dan mendalami ilmunya. Poligami itu tidak gampang," tegas suamiku. 

"Aku paham, Mas. Tapi dalam agama kita poligami kelas di perbolehkan. Bahkan seorang laki_laki boleh menikahi empat perempuan," gerutuku. 

"Iya, itu bagi yang mampu. Dan aku merasa tidak mampu," sanggah Mas Tama lantang. 

Nampak wajah suamiku sedikit memerah, aku tahu permintaanku tak masuk akal dan menyulut emosinya. 

Namun hal ini murni kulahkukan demi mengobati kegundahan kedua orang tuaku dan mertuaku. Penolakan suamiku sudah terduga olehku sebelumnya, tapi aku tak menyangka ia akan menolak dengan emosi. 

"Mas, aku minta maaf kalau permintaanku sedikit konyol. Tapi coba kita pikir lagi, misal Mama tidak berumur panjang bagaimana? Sedangkan beliau ingin melihat cucu dari keturunanmu," ucapku merendah. 

Mas Tama mendekatiku kemudian memeluk dan mencium keningku. 

"Aku tahu Mas ini berat, aku juga berat menerima ini semua. Tapi aku berusaha ikhlas dengan keadaan kita. Wanita mana sih mas yang rela melihat suaminya berbagi hati dengan wanita lain?" sambungku. 

"Iya Dek, aku tahu maksud dan pengorbanan mu untuk keluarga besar kita, tapi aku bener_bener belum bisa," imbuh suamiku. 

"Pelan_pelan Mas, aku juga belum sampaikan niat ini ke Raya," kataku. 

"Raya?" tanya Mas Tama kaget. 

"Iya Mas, Raya yang kita ketemu di panti itu. Entah kenapa aku selalu mimpi dia, dan menurut ku dia wanita yang baik. Mama kamu juga menyukainya," ucapku lembut. 

Suamiku memeluk erat tubuhku, lalu ia terdiam sejenak. Aku rasa mas Tama tak ingin aku berbagai hati dengan wanita lain. Tapi aku sudah berniat untuk memberikan suamiku keturunan, meskipun bukan dari rahimku sendiri.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status