Tanpa mengindahkan permintaan Naira, Rina masuk ke halaman rumah Raya. Kebetulan pagi itu, pagar rumahnya tak terkunci. "Assalamu'alaikum,” ucapku. Tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Namun terdengar suara gaduh dari dalam rumah. "Ibu nggak apa-apa?""Ibu baik-baik saja, Ray. Hanya saja ibu nggak kuat nahan tubuh ayah kamu, makanya ibu ikut jatuh.""Astaghfirullah, kenapa ibu nggak panggil Raya tadi.""Sudahlah, ayo kita bantu ayah kamu naik ke kursi roda lagi."Di luar, Aku kembali mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."Kali ini aku mendapat jawaban dari sang pemilik rumah. "Waalaikumsalam." Suara telapak kaki Raya terdengar berjalan bergegas menuju ke arah pintu utama dan meraih handle pintu. "Mbak Rina?" Raya seolah terkejut dengan kedatangan ku. "Pagi, Ray. Kamu masih inget saya?" tanya ku. "Tentu saja, Mbak. Silahkan masuk," jawab Raya sembari mengumumkan senyum. Rina dan Naira memasuki rumah sederhana milik orang tua Raya. "Silahkan duduk, Mbak. Saya buatkan minum s
Mungkin apa yang aku ucapkan telah menyinggung perasaan Raya. "Mbak Rina, sebelumnya saya minta maaf. Lebih baik Mbak pergi dari sini. Saya memang belum menikah di usia yang cukup matang. Tapi bukan bearti saya mau dijadikan istri kedua.""Maaf jika kedatangan kami mengganggu kalian, dan maaf jika perkataan saya menyinggung kamu Ray. kami permisi dulu." Naira terlihat lega dengan penolakan Raya. "Ayo kita pergi dari sini," imbuh Naira sembari menarik tangan kananku. Aku pun terpaksa menuruti perintah Naira, sesekali ku arahkan pandanganku melihat Raya dan ibunya. Rasa iba dan bersalah, kian menggelayut di hatiku. 'Ya Alloh, seharusnya aku meminta maaf pada Raya atas kelancanganku ini,' sesalku dalam hati kian berkecamuk. ***Beberapa hari kemudian, sebuah pesan singkat yang tak pernah aku duga mendarat di ponselku. Raya : Mbak Rina, apakah kita bisa bertemu hari ini?Aku : Tentu saja, Ray. Aku akan datang ke rumah sakit tempat ayahmu di rawat. Sekalian aku mau jenguk beliau. Ray
Pernyataanku dan Raya tentu membuat mbak Rara merasa bingung. "Rina, apa kamu sudah mantap untuk berbagi hati dengan Raya? Sebentar lagi kamu kan mau berobat ke Penang. Jangan buru-buru menikahkan Tama. Siapa tahu setelah kanu berobat, kamu bisa hamil.""Kata dokter butuh waktu lama, Mbak. Aku nggak bisa nunggu lagi. Papa sudah mulai sakit-sakitan, begitu juga dengan umi. Aku mau lihat mereka tersenyum menyambut cucu yang mereka dambakan. Meskipun bukan dari rahimku.""Kalau itu udah jadi keputusanmu, mbak nggak bisa nglarang, Rin. Tapi mbak mohon pikirkan lagi. Pilihan kamu itu nantinya juga akan memberatkan diri kamu.""Aku pasrahkan sama Alloh, Mbak.""Apa Tama setuju?""Setuju nggak setuju, dia harus menikah lagi," tandasku. Aku memang terkesan egois, tak munafik aku pun merasa sakit, namun aku menyadari kekuranganku. Setelah itu, kami pun kembali ke rumah. Tak lupa aku mampir ke supermarket untuk membeli beberapa barang sebelum mengantarkan mbak Rara pulang. Hal itu aku lakukan
Kisah ini sebenarnya tak pernah kuharap terjadi dalam rumah tanggaku. Aku Marina Zanita Zafran dengan suka rela menerima pinangan pria pilihanku yang usianya dua tahun lebih tua dariku. Pria itu adalah Pratama Hardinata atau yang akrab disapa Tama. Ia merupakan Kakak tingkatku, dan kini usianya memasuki dua puluh tujuh tahun. Sedangkan aku memasuki usia duapuluh lima tahun. Pernikahan kami berjalan normal, damai dan bahagia, meskipun terkadang batu kecil menghiasi perjalanan cinta kami. Hal tersebut bisa aku maklumi, ku anggap itu hanyalah bumbu penyedap dan ujian dalam rumah tangga.Waktu menunjukan pukul tiga dini hari, kami terbiasa bangun untuk melaksanakan sholat malam. Hingga menunggu waktu sholat subuh tiba.Pagi yang cerah di langit Yogyakarta, Mas Tama bersiap untuk mencari nafkah."Dek, kamu bikin sarapan apa?" tanya suamiku dengan mesra.Aku pun menjawab pertanyaan dari siamiku itu. "Ayam goreng sama Nasi goreng Mas."Kemudian aku berbalik bertanya padanya dengan nada sediki
Pagi yang cerah di langit Jogja, hari ini suamiku meliburkan diri dari pekerjaannya. Ia bermaksud ingin menemaniku ke rumah sakit sesuai dengan janjinya. Ku ulurkan hijabku dengan balutan riasan tipis di wajahku. Terlihat Mas Tama sudah bersiap menungguku di ruang tamu. "Mas kita sarapan dulu yuk," ajakku. "Ayo Dek," ucap Mas Tama. Tangan kekarnya membelai lembut rambutku dan menggandeng erat tanganku. Kami segera menuju meja makan untuk sarapan. "Mas mau sarapan pake lauk apa?" tanyaku. "Telur bali aja Dek, sama kerupuk ya," jawab suamiku. "Nggak mau pakai ayam mas?" tanyaku lagi. "Enggak Dek," jawab Mas Tama lembut. Tanganku segera meraih piring dan menyajikan hidangan untuk suamiku. Nampak suamiku dengan lahap menyantap menu yang ku olah pagi ini. Sarapan pun usai, kami duduk sejenak di meja makan. Sesekali Mas Tama tersenyum memandangku. "Mas, ayo berangkat sekarang?" ajaku menghampiri Mas Tama. "Ayo sayang," ucap Mas Tama menggandeng tangan mungilku. Kami bergegas men
Semakin hari tubuhku terasa lunglai, lemas dan letih seringkali menghampiriku. Namun aku tak berniat untuk mengutarakan tentang kesehatanku pada suamiku. Aku takut hal ini mengganggu aktivitasnya. Hari ini Mas Tama berangkat ke kantor lebih awal, karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tut tut tut, aku mencoba menelpon suamiku."Assalamualaikum Mas, hari ini aku mau ke rumah Mama boleh?" tanyaku melalui telepon. "Boleh dek, kamu hati-hati ya," jawab suamiku. "Iya Mas, Assalamualaikum," ucapku menutup telepon. Segera kulangkahkan kaki menuju kamar mengambil tas dan pashmina. Kembali ku raih ponselku yang tergeletak di meja ruang tamu untuk menelpon mama dan memesan taksi online. "Assalamualaikum Mah, Mama di rumah? Rina mau kesana," ucapku. "Di rumah nak, mama tunggu ya," balas Mama. Ku akhiri obrolan bersama Mama dengan ucapan salam. Taksi yang aku pesan melalui aplikasi pun sudah datang. "Ibu Rina?" tanya pengemudi taksi online tersebut. "Iya Pak," kataku menata
Hari ini aku berencana mengunjungi mertua ku, kediaman orang tua suamiku kebetulan tak jauh dari rumah kami. Mereka tinggal bersama iparku di kota yang sama denganku, hanya saja kami tinggal di kecamatan yang berbeda. Pagi ini sedikit mendung, tapi tampaknya hujan tak berpotensi turun. Aku mengunjungi rumah mertuaku di antar oleh mas Tama, sekalian suamiku berangkat menuju tempat kerjanya. Mobil kesayangan mas Tama terhenti di depan pagar rumah orang tuanya. Kamipun bergegas turun dari mobil yang kami tumpangi. "Assalamualaikum," ucap kami. "Waalaikusalam, jawab Mbak Rara iparku. Mengetahui kedatangan kami, ia pun segera membukakan pintu pagar rumah mewah yang ia tinggali."Masuk yuk," sambung Mbak Rara tersenyum. "Iya Mbak," jawabku mengembalikan senyuman iparku. Aku dan suami melangkahkan kaki memasuki rumah mewah tempat dimana suamiku lahirkan serta di besarkan. Di Istana ini tidak hanya di huni oleh mertuaku, ada kedua saudara kandung suamiku dan kedua iparnya serta anak-anak
Pagi yang Indah di kota kelahiranku, lazuardi nampak merah ceria. Sesuai dengan kesepakatan keluarga besar suamiku, hari ini kami akan berkunjung ke panti asuhan. Keluarga suamiku sudah menjadi donatur tetap di panti asuhan tersebut. Terlihat semua penghuni istana ini sudah berkumpul di ruang keluarga. "Assalamualaikum semua," sapa ku ceria. "Wa'alaikum salam," jawab serentak semua penghuni ruang keluarga.Sudah siap Rin? Kami nunggu kalian dari tadi. Kamu kayak lagi ngerawat anak kecil aja, lama banget. Apalagi nanti kalau kamu udah punya anak, pasti lebih lelet," ucap Mbak Wulan tersenyum."Maaf ya lama nunggu kami," kataku dengan perasaan tak enak hati. Meskipun apa yang di lontarkan mbak Wulan itu mungkin hanya sekedar gurauan, tapi jika disangkut pautkan dengan momongan, jatungku rasanya berdebar tak beraturan. Hatikuku seakan terpekik mendengar perkataan yang keluar dari mulut iparku itu. Sikap mbak Wulan terkesan labil, dan itu berlaku bukan hanya kepadaku. Terkadang dia bi