Abi berusaha keras mengendalikan mobil SUV miliknya agar tidak oleng karena jalanan yang dilaluinya sangat berlumpur dan licin. Dia harus berhati-hati dan fokus mengemudikan mobilnya agar tidak terperosok ke dalam jurang yang berada tepat di sampingnya.
"Bukankah ini sangat menyenangkan, Bi?"Abi menggeram kesal. Rasanya dia ingin sekali mengumpat mendengar pertanyaan sang ayah barusan.Bagaimana mungkin ayahnya menganggap kegiatan yang mempertaruhkan nyawa seperti ini menyenangkan? Apa ayahnya sudah kehilangan akal?"Jangan terlalu tegang, Bi." Dewangga mengusap lengan Abi yang sedang fokus mengemudi sambil tersenyum kecil."Ayah lebih baik diam," desis Abi tanpa mengalihkan pandang dari jalanan yang ada di hadapannya. Dia harus fokus jika tidak ingin mati konyol karena mobilnya jatuh ke dalam jurang.Sepanjang jalan yang Abi dan Dewangga lalui penuh dengan lumpur karena hujan turun deras tadi malam. Abi harus ekstra hati-hati mengemudikan mobilnya agar tidak terselip dan terjebak di dalam lumpur.Embusan napas lega sontak lolos dari bibir Abi ketika berhasil melewati jalanan berlumpur tadi. Jika tahu jalanan yang akan dilaluinya berlumpur dan licin, Abi pasti akan memilih diantar sopir dari pada membawa mobil sendiri."Apa rumahnya masih jauh, Yah?""Kalau tidak salah, anak buah ayah kemarin bilang rumah Bik Ijah tidak jauh dari jembatan, seharusnya sebentar lagi kita sampai, Bi."Abi pun mengurangi laju kecepatan mobilnya karena sudah melewati jembatan sambil melihat ke kanan kiri mencari rumah perempuan yang bernama Bik Ijah itu."Bi, stop, Bi!"Abi refleks menginjak rem mobilnya karena ayahnya tiba-tiba menyuruh untuk berhenti."Sepertinya ini rumah Bik Ijah." Dewangga mencocokkan sebuah foto rumah yang ada di tangannya dengan rumah yang berada tepat di samping kirinya.Abi pun ikut melihat foto berukuran 4R yang ada di tangan ayahnya. Ada sebuah pohon rambutan dan jambu air yang tumbuh di halaman rumah yang dindingnya terbuat dari kayu tersebut. Selain itu, di samping kanan rumah tersebut ada kandang ayam. Sama persis dengan yang ada di foto."Rumahnya benar yang ini, Bi. Ayo, turun." Dewangga melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkari tubuhnya lantas turun dari mobil SUV milik Abi.Seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan terlihat sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya sambil menyenandungkan tembang Jawa lawas. Suaranya terdengar begitu merdu dan lembut di telinga."Dhek jaman berjuang. Njur kelingan anak lanang. Mbiyen tak openi. Ning saiki ono ngendi. Jarene—""Permisi ...."Wanita yang akrab dipanggil Bik Ijah itu sontak berhenti bersenandung karena mendengar suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Perempuan yang rambutnya selalu disanggul itu pun sontak berbalik, menatap dua orang lelaki berpakaian rapi yang berdiri tepat di hadapannya."Maaf, apa benar ini rumah Bik Ijah?""Iya, benar," jawab Bik Ijah sambil menatap Abi dan Dewangga bergantian karena wajah ayah dan anak itu terlihat asing di matanya.Dewangga tersenyum lega karena datang ke rumah yang tepat. Akhirnya dia bisa bertemu dengan orang yang sudah merawat putri kandung mendiang sahabat baiknya setelah mencari selama puluhan tahun lamanya."Apa Bibik masih ingat saya?" Bik Ijah menggeleng pelan."Saya Dewangga, sahabat baik Fabian," ucapnya memperkenalkan diri."Dan ini putra saya, Abi," imbuhnya.Abi pun memperkenalkan diri yang disambut ramah oleh Bik Ijah. Wanita itu tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan sahabat baik mantan majikannya ketika bekerja di kota lima belas tahun yang lalu."Kenapa Bapak datang ke rumah saya? Apa Bapak ada urusan dengan saya?" tanya Bik Ijah terdengar was-was.Dewangga menarik napas panjang sebelum bicara. "Saya datang karena ingin menjodohkan anak saya dengan Jena.""Apa?" Tubuh Bik Ijah menegang mendengar ucapan Dewangga barusan. Dia benar-benar terkejut hingga tanpa sadar menjatuhkan tempat makan ayam-ayam peliharaannya yang sejak tadi berada di dalam genggaman hingga membuat isinya berhamburan keluar."Maaf kalau ucapan saya mengejutkan, Bibik. Apa kita bisa bicara di dalam, Bik?"Bik Ijah tergagap mendengar pertanyaan Dewangga lantas meminta mereka untuk masuk ke dalam rumahnya.Abi dan Dewangga duduk di kursi kayu yang cat-nya sudah terkelupas. Rumah Bik Ijah berukuran kecil seperti rumah di desa pada umumnya. Lantainya pun masih terbuat dari tanah liat. Meski begitu, Bik Ijah dan Jena tidak pernah mengeluh tinggal di sana."Maaf kalau rumah saya jelek.""Jangan bilang seperti itu, Bik. Rumah Bibik cukup bersih dan nyaman. Iya kan, Bi?" tanya Dewangga seolah-olah meminta persetujuan putra sulungnya.Abi mengangguk meskipun dia ingin sekali pulang sekarang. Bagaimana mungkin ada orang yang betah tinggal di rumah yang kecil seperti ini?Abi pikir tidak ada. Keterbatasan ekonomi yang memaksa Bik Ijah dan Jena untuk mensyukuri apa yang mereka punya."Jena di mana, Bik?" tanya Dewangga karena ingin melihat calon menantunya. Jena pasti tumbuh menjadi gadis yang cantik, pikirnya."Non Jena sedang mencari ikan di sungai, Pak. Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar." Bik Ijah beranjak ke dapur karena ingin membuat minum untuk Abi dan Dewangga, tapi Dewangga malah melarang."Tidak perlu repot-repot, Bik.""Saya tidak merasa direpotkan sama sekali, Pak. Mohon tunggu sebentar." Bik Ijah melangkah kembali menuju dapur untuk membuat teh panas. Setelah selesai, dia menyuguhkan minuman tersebut untuk Abi dan Dewangga."Silakan diminum, Pak."Abi dan Dewangga pun menyesap sedikit teh mereka untuk menghargai Bik Ijah. Ayah dan anak itu sama-sama tertegun karena aroma teh tersebut sangat wangi."Teh buatan Bibik enak sekali," komentar Dewangga mewakili Abi. "Kalau boleh saya tahu. Anda membeli teh ini di mana? Saya ingin membeli beberapa untuk dibawa pulang."Bik Ijah tersenyum senang mendengar pujian Dewangga. "Teh itu Non Jena yang membuatnya."Dewangga terenyak mendengar ucapan Bik Ijah barusan, begitu pula dengan Abi. Mereka tidak pernah menyangka gadis yang tinggal di kampung seperti Jena bisa membuat teh seenak ini."Calon istrimu ternyata berbakat, Bi. Ayah jamin kamu pasti tidak akan kecewa dengan pilihan ayah." Dewangga menepuk punggung Abi sambil tersenyum kecil. Sepertinya keputusannya untuk menikahkan Abi dan Jena sudah tepat.Dewangga yakin sekali Abi pasti akan hidup bahagia bersama Jena."Ayah, please. Kita saja belum tahu calon istri Abi seperti apa," ucap Abi jengah karena Dewangga selalu mengelu-elukan Jena.Jika bukan karena perjodohan sialan yang diatur oleh kedua orang tuanya dan orang tua Jena, Abi pasti akan memilih melajang seumur hidup karena dia belum bisa melupakan mantan kekasihnya.Dewangga berdeham pelan. "Maaf kalau saya banyak bicara." "Tidak apa-apa, Pak. Apa Anda serius ingin menjodohkan Non Jena dengan putra, Bapak?"Dewangga mengangguk. Tidak ada keraguan yang terpancar dari kedua sorot mata lelaki berusia lima puluh enam tahun itu. Dewangga memang serius ingin menjodohkan Abi dan Jena karena putranya yang lain tidak mau dijodohkan dengan gadis itu."Iya, Bik. Saya dan almarhum Fabian sudah berjanji akan menikahkan anak kami jika mereka sudah dewasa. Karena itu saya datang jauh-jauh dari kota untuk meminta Jena sebagai istri Abi. Sebagai wali Jena, apa Bik Ijah menyetujuinya?"Bik Ijah meremas kesepuluh jemari tangannya yang terasa dingin. Dia tidak bisa memutuskan karena semua keputusan ada di tangan Jena."Maaf, Pak. Saya tidak mempunyai hak untuk memutuskan karena semua keputusan ada di tangan Non Jena."Dewangga menghela napas panjang. Padahal dia ingin mendengar jawaban 'Iya' dari Bik Ijah. Namun, wanita yang sudah merawat Jena sejak sahabatnya meninggal itu malah menyerahkan semua keputusan pada Jena. Semoga saja Jena mau menerima perjodohan ini."Baiklah, saya akan menunggu jawaban Jena. Kapan dia kembali?”"Mungkin sebentar lagi, Pak."Abi dan Dewangga pun menunggu Jena datang sambil menikmati teh hangat dan sepiring singkong rebus yang Bik Ijah suguhkan. Makanan itu sangat sederhana, tapi entah kenapa terasa sangat lezat di lidah mereka. Abi bahkan meminta dibuatkan teh lagi ketika teh-nya sudah habis."Bibik lihat! Jena dapat ikan banyak sekali! Hari ini kita makan enak!" Abi sontak menoleh, menatap gadis berambut cokelat yang berdiri di depan pintu sambil membawa seember penuh ikan. Pakaian gadis bermata hezel itu penuh dengan lumpur dan bau amis di mana-mana.Apakah benar gadis yang mirip orang-orangan sawah itu adalah calon istrinya?[Bersambung]
Sepasang mata bulat milik Jena mengerjab beberapa kali melihat dua orang lelaki yang sedang duduk di ruang tamu bersama Bik Ijah. Wajah kedua lelaki itu terlihat asing di matanya. Bik Ijah pun beranjak dari tempat duduknya lantas menghampir Jena yang masih berdiri di depan pintu. "Kenapa baju Non Jena bisa kotor kayak gini?" "Jena tadi nggak sengaja jatuh ke sawah waktu nyari cacing buat umpan mancing, Bik," jawab Jena sambil melirik Abi dan Dewangga yang sedang menatapnya. "Mereka siapa, Bik?" tanyanya ingin tahu. "Mereka tamu dari kota. Non Jena buruan mandi, gih. Jangan lupa pakai baju yang agak bagusan dikit." Kening Jena berkerut dalam. Dalam hati dia bertanya-tanya kenapa Bik Ijah memintanya untuk memakai pakaian yang bagus di depan tamu mereka. "Memangnya kena—" "Sudah, jangan banyak tanya. Cepat mandi sana." Bik Ijah mendorong Jena masuk ke dalam setelah itu kembali menemui Abi dan Dewangga. "Maaf, kalau penampilan non Jena membua
"Bibik bercanda, kan?" Reaksi Jena sama persis dengan Bik Ijah ketika mendengar Dewangga yang ingin menjodohkan Jena dengan Abi sesuai janji yang sudah dia buat bersama Fabian. Jena terkejut bukan main karena dia baru pertama kali ini bertemu dengan Abi."Non Jena, dengerin Bik Ijah dulu. Pak Dewangga ingin menjodohkan Non Jena dengan Mas Abi demi memenuhi amanah terakhir ayah Non Jena.""Benarkah?" Jena menatap wanita yang sudah merawatnya sejak kedua orang tuanya meninggal itu dengan pandangan tidak percaya.Bik Ijah mengangguk."Maaf kalau ucapan om membuatmu terkejut, Jena."Jena sontak menoleh, menatap lelaki paruh baya yang duduk di hadapannya. Dewangga terlihat sangat tegas dan berwibawa. Pembawaannya yang tenang membuat Jena seolah-olah melihat sosok ayahnya yang sudah meninggal dalam diri Dewangga.Dewangga menarik napas panjang sebelum bicara. "Lima belas tahun yang lalu, om dan almarhum ayahmu berjanji akan menjodohkan anak kami j
"Non Jena ayo, masuk. Jangan melamun di depan pintu terus."Jena tergagap mendengar ucapan Bik Ijah barusan lantas cepat-cepat kembali masuk ke dalan rumah. Tanpa disuruh, gadis itu membawa cangkir kotor bekas Abi dan Dewangga ke belakang untuk dicuci.Aroma musk yang menguar dari tubuh Abi masih belum hilang, padahal lelaki itu sudah pergi meninggalkan rumahnya. Dan entah kenapa, jantungnya kembali berdebar-debar ketika mengingat lelaki berkaca mata itu."Aduh, Non Jena. Kenapa repot-repot mencuci piring segala, sih? Sini, biar Bik Ijah saja yang nyuci.""Nggak papa kok, Bik. Lagian Jena sudah biasa." Jena tetap meneruskan pekerjaannya padahal Bik Ijah sudah berulang kali melarang. Wanita paruh baya itu bahkan masih memanggil 'Nona' dan memperlakukaannya seperti seorang majikan padahal beliau sudah tidak menjadi pembantunya lagi."Soal lamaran pak Dewangga tadi gimana, Non?"Tangan Jena sontak berhenti membilas piring ketika mendengar perta
"Jena, Jena, bangun!" Jena mengerjapkan kedua matanya perlahan karena merasa tubuhnya diguncang oleh seseorang lumayan kencang. Kening gadis itu berkerut dalam menatap seorang gadis berkepang dua yang berada di hadapannya. "Ambar?" gumamnya terdengar serak khas orang bangun tidur. "Kenapa kamu ke rumahku pagi-pagi sekali?" "Pagi-pagi sekali katamu?" ucap gadis bernama Ambar itu penuh dengan tekanan. Jena mengangguk polos. Gadis itu belum menyadari kalau matahari sudah bersinar terang dibalik jendela kamarnya yang masih tertutup gorden. "Coba kamu lihat sekarang jam berapa?" Jena pun menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Kedua mata gadis itu sontak membulat karena jarum pendek menunjuk angka sembilan, sementara jarum panjang menunjuk angka dua belas. Pukul 09.00 pagi. "Astaga! Kenapa aku baru bangun?" Jena cepat-cepat menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lantas merapikan tempat tidurnya yang berantakan. "Mana aku tahu," uc
Tidak ada satu orang pun yang tidak sibuk di kediaman Dewangga saat pagi hari. Semua orang yang tinggal di rumah mewah bak istana tersebut sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Terutama pelayan. Mereka bolak-balik dari dapur ke ruang makan untuk mengambil makanan yang sudah selesai dimasak oleh koki lalu meletakkannya di atas meja makan. "Apa semuanya sudah siap?" tanya nyonya besar pada salah satu pelayan. Dia Anita—istri Dewangga. "Sudah, Nyonya," jawab pelayan tersebut. Anita pun melihat meja makan untuk memastikan apakah makanan yang dia rekomendasikan untuk menu sarapan pagi ini sudah siap dihidangkan. Ternyata koki di rumahnya bekerja dengan sangat baik karena menu yang dia rekomendasikan semalam sudah tersaji di atas meja makan. Setelah memastikan tidak ada yang kurang, Anita kembali ke kamar untuk membantu Dewangga memakai dasi. Rutinitas itu seolah-olah menjadi pekerjaan wajib bagi Anita setelah menikah dengan Dewangga karena
"Kamu serius mau pergi, Jen?" Ambar kembali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan sahabat baiknya."Padahal kamu kemarin ngotot banget nyuruh aku menerima pinangan mas Abi. Tapi kenapa kamu sekarang malah menangis?""Kamu tuh, nggak akan ngerti, Jen." Ambar berdecak kesal karena Jena tidak memahami kesedihannya."Nggak ngerti gimana?""Sudahlah lupakan," sahut gadis yang rambutnya selalu dikepang dua itu malas.Jena tersenyum tipis sambil mengusap bahu Ambar agar perasaan sahabatnya itu mrnjadi lebih tenang. Jena sebenarnya sangat memahami apa yang saat ini sedang Ambar rasakan. Akan tetapi dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan Bik Ijah karena wanit itu pasti akan ikut bersedih.Mengingat Bik Ijah membuat Jena ingin sekali meneteskan air mata karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan wanita yang sudah merawat dan menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Berat rasa
"Om cuma bercanda." Dewangga tidak bisa menahan tawa ketika melihat Jena yang begitu terkejut setelah mendengar ucapannya. Dewangga memang sudah tidak sabar ingin memiliki cucu dari Abi dan Jena hingga tidak sadar menyuruh pelayan membawa koper Jena ke kamar Abi. Lagi pula dia tidak ingin membuat Eyang Putri terkena serangan jantung jika tahu Abi dan Jena sudah tidur dalam satu kamar sebelum menikah. "Mari, ikut om, Jena." Jena mengangguk lantas mengikuti Dewangga masuk ke dalam rumah. Beberapa pelayan sontak berbaris rapi sambil menundukkan kepala menyambut kedatangan mereka. Anita yang mendengar mobil Dewangga memasuki halaman bergegas turun untuk menyambut kedatangan suaminya. Selain itu, dia juga ingin tahu seperti apa wajah calon menantunya. Apakah benar kalau Jena memiliki wajah yang sangat cantik seperti yang selalu Dewangga katakan pada dirinya? "Selamat datang di rumah om, Jena." Mulut Jena menganga lebar mengagumi betapa megahnya kediaman Dewangga. Dindingnya didomin
Jena terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Entah kenapa kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Masih tergambar jelas di ingatan Jena bagaimana ekspresi Abi, Dewangga, dan Anita ketika mengetahui kalau dirinya tidak bisa membaca. Terkejut bukan main.Saat berumur 10 tahun, Jena pernah diculik oleh orang suruhan pamannya yang ingin menguasai harta kedua orang tuanya. Dia disekap di dalam sebuah rumah kosong yang berada di tengah hutan dan dipaksa membaca cerita tentang penculikan dan pembunuhan anak perempuan yang tubuhnya dimutilasi kemudian dijadikan santapan lezat oleh si pembunuh.Perut Jena terasa sangat mual ketika membaca cerita tersebut, tubuhnya pun berkeringat dingin. Dia tidak sanggup lagi untuk meneruskan, tapi mereka malah memaksanya agar membaca cerita tersebut dengan suara lantang.Jena masih ingat dengan jelas orang-orang yang menculiknya tertawa senang melihatnya yang menangis ketakutan. Dia pun memohon-mohon p