Share

Istriku yang Tidak Memuaskan
Istriku yang Tidak Memuaskan
Penulis: Aeris Park

1. Perjodohan

Abi berusaha keras mengendalikan mobil SUV miliknya agar tidak oleng karena jalanan yang dilaluinya sangat berlumpur dan licin. Dia harus berhati-hati dan fokus mengemudikan mobilnya agar tidak terperosok ke dalam jurang yang berada tepat di sampingnya.

"Bukankah ini sangat menyenangkan, Bi?"

Abi menggeram kesal. Rasanya dia ingin sekali mengumpat mendengar pertanyaan sang ayah barusan.

Bagaimana mungkin ayahnya menganggap kegiatan yang mempertaruhkan nyawa seperti ini menyenangkan? Apa ayahnya sudah kehilangan akal?

"Jangan terlalu tegang, Bi." Dewangga mengusap lengan Abi yang sedang fokus mengemudi sambil tersenyum kecil.

"Ayah lebih baik diam," desis Abi tanpa mengalihkan pandang dari jalanan yang ada di hadapannya. Dia harus fokus jika tidak ingin mati konyol karena mobilnya jatuh ke dalam jurang.

Sepanjang jalan yang Abi dan Dewangga lalui penuh dengan lumpur karena hujan turun deras tadi malam. Abi harus ekstra hati-hati mengemudikan mobilnya agar tidak terselip dan terjebak di dalam lumpur.

Embusan napas lega sontak lolos dari bibir Abi ketika berhasil melewati jalanan berlumpur tadi. Jika tahu jalanan yang akan dilaluinya berlumpur dan licin, Abi pasti akan memilih diantar sopir dari pada membawa mobil sendiri.

"Apa rumahnya masih jauh, Yah?"

"Kalau tidak salah, anak buah ayah kemarin bilang rumah Bik Ijah tidak jauh dari jembatan, seharusnya sebentar lagi kita sampai, Bi."

Abi pun mengurangi laju kecepatan mobilnya karena sudah melewati jembatan sambil melihat ke kanan kiri mencari rumah perempuan yang bernama Bik Ijah itu.

"Bi, stop, Bi!"

Abi refleks menginjak rem mobilnya karena ayahnya tiba-tiba menyuruh untuk berhenti.

"Sepertinya ini rumah Bik Ijah." Dewangga mencocokkan sebuah foto rumah yang ada di tangannya dengan rumah yang berada tepat di samping kirinya.

Abi pun ikut melihat foto berukuran 4R yang ada di tangan ayahnya. Ada sebuah pohon rambutan dan jambu air yang tumbuh di halaman rumah yang dindingnya terbuat dari kayu tersebut. Selain itu, di samping kanan rumah tersebut ada kandang ayam. Sama persis dengan yang ada di foto.

"Rumahnya benar yang ini, Bi. Ayo, turun." Dewangga melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkari tubuhnya lantas turun dari mobil SUV milik Abi.

Seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan terlihat sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya sambil menyenandungkan tembang Jawa lawas. Suaranya terdengar begitu merdu dan lembut di telinga.

"Dhek jaman berjuang. Njur kelingan anak lanang. Mbiyen tak openi. Ning saiki ono ngendi. Jarene—"

"Permisi ...."

Wanita yang akrab dipanggil Bik Ijah itu sontak berhenti bersenandung karena mendengar suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Perempuan yang rambutnya selalu disanggul itu pun sontak berbalik, menatap dua orang lelaki berpakaian rapi yang berdiri tepat di hadapannya.

"Maaf, apa benar ini rumah Bik Ijah?"

"Iya, benar," jawab Bik Ijah sambil menatap Abi dan Dewangga bergantian karena wajah ayah dan anak itu terlihat asing di matanya.

Dewangga tersenyum lega karena datang ke rumah yang tepat. Akhirnya dia bisa bertemu dengan orang yang sudah merawat putri kandung mendiang sahabat baiknya setelah mencari selama puluhan tahun lamanya.

"Apa Bibik masih ingat saya?" 

Bik Ijah menggeleng pelan.

"Saya Dewangga, sahabat baik Fabian," ucapnya memperkenalkan diri.

"Dan ini putra saya, Abi," imbuhnya.

Abi pun memperkenalkan diri yang disambut ramah oleh Bik Ijah. Wanita itu tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan sahabat baik mantan majikannya ketika bekerja di kota lima belas tahun yang lalu.

"Kenapa Bapak datang ke rumah saya? Apa Bapak ada urusan dengan saya?" tanya Bik Ijah terdengar was-was.

Dewangga menarik napas panjang sebelum bicara. "Saya datang karena ingin menjodohkan anak saya dengan Jena."

"Apa?" Tubuh Bik Ijah menegang mendengar ucapan Dewangga barusan. Dia benar-benar terkejut hingga tanpa sadar menjatuhkan tempat makan ayam-ayam peliharaannya yang sejak tadi berada di dalam genggaman hingga membuat isinya berhamburan keluar.

"Maaf kalau ucapan saya mengejutkan, Bibik. Apa kita bisa bicara di dalam, Bik?"

Bik Ijah tergagap mendengar pertanyaan Dewangga lantas meminta mereka untuk masuk ke dalam rumahnya.

Abi dan Dewangga duduk di kursi kayu yang cat-nya sudah terkelupas. Rumah Bik Ijah berukuran kecil seperti rumah di desa pada umumnya. Lantainya pun masih terbuat dari tanah liat. Meski begitu, Bik Ijah dan Jena tidak pernah mengeluh tinggal di sana.

"Maaf kalau rumah saya jelek."

"Jangan bilang seperti itu, Bik. Rumah Bibik cukup bersih dan nyaman. Iya kan, Bi?" tanya Dewangga seolah-olah meminta persetujuan putra sulungnya.

Abi mengangguk meskipun dia ingin sekali pulang sekarang. Bagaimana mungkin ada orang yang betah tinggal di rumah yang kecil seperti ini?

Abi pikir tidak ada. Keterbatasan ekonomi yang memaksa Bik Ijah dan Jena untuk mensyukuri apa yang mereka punya.

"Jena di mana, Bik?" tanya Dewangga karena ingin melihat calon menantunya. Jena pasti tumbuh menjadi gadis yang cantik, pikirnya.

"Non Jena sedang mencari ikan di sungai, Pak. Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar." Bik Ijah beranjak ke dapur karena ingin membuat minum untuk Abi dan Dewangga, tapi Dewangga malah melarang.

"Tidak perlu repot-repot, Bik."

"Saya tidak merasa direpotkan sama sekali, Pak. Mohon tunggu sebentar." Bik Ijah melangkah kembali menuju dapur untuk membuat teh panas. Setelah selesai, dia menyuguhkan minuman tersebut untuk Abi dan Dewangga.

"Silakan diminum, Pak."

Abi dan Dewangga pun menyesap sedikit teh mereka untuk menghargai Bik Ijah. Ayah dan anak itu sama-sama tertegun karena aroma teh tersebut sangat wangi.

"Teh buatan Bibik enak sekali," komentar Dewangga mewakili Abi. "Kalau boleh saya tahu. Anda membeli teh ini di mana? Saya ingin membeli beberapa untuk dibawa pulang."

Bik Ijah tersenyum senang mendengar pujian Dewangga. "Teh itu Non Jena yang membuatnya."

Dewangga terenyak mendengar ucapan Bik Ijah barusan, begitu pula dengan Abi. Mereka tidak pernah menyangka gadis yang tinggal di kampung seperti Jena bisa membuat teh seenak ini.

"Calon istrimu ternyata berbakat, Bi. Ayah jamin kamu pasti tidak akan kecewa dengan pilihan ayah." Dewangga menepuk punggung Abi sambil tersenyum kecil. Sepertinya keputusannya untuk menikahkan Abi dan Jena sudah tepat.

Dewangga yakin sekali Abi pasti akan hidup bahagia bersama Jena.

"Ayah, please. Kita saja belum tahu calon istri Abi seperti apa," ucap Abi jengah karena Dewangga selalu mengelu-elukan Jena.

Jika bukan karena perjodohan sialan yang diatur oleh kedua orang tuanya dan orang tua Jena, Abi pasti akan memilih melajang seumur hidup karena dia belum bisa melupakan mantan kekasihnya.

Dewangga berdeham pelan. "Maaf kalau saya banyak bicara." 

"Tidak apa-apa, Pak. Apa Anda serius ingin menjodohkan Non Jena dengan putra, Bapak?"

Dewangga mengangguk. Tidak ada keraguan yang terpancar dari kedua sorot mata lelaki berusia lima puluh enam tahun itu. Dewangga memang serius ingin menjodohkan Abi dan Jena karena putranya yang lain tidak mau dijodohkan dengan gadis itu.

"Iya, Bik. Saya dan almarhum Fabian sudah berjanji akan menikahkan anak kami jika mereka sudah dewasa. Karena itu saya datang jauh-jauh dari kota untuk meminta Jena sebagai istri Abi. Sebagai wali Jena, apa Bik Ijah menyetujuinya?"

Bik Ijah meremas kesepuluh jemari tangannya yang terasa dingin. Dia tidak bisa memutuskan karena semua keputusan ada di tangan Jena.

"Maaf, Pak. Saya tidak mempunyai hak untuk memutuskan karena semua keputusan ada di tangan Non Jena."

Dewangga menghela napas panjang. Padahal dia ingin mendengar jawaban 'Iya' dari Bik Ijah. Namun, wanita yang sudah merawat Jena sejak sahabatnya meninggal itu malah menyerahkan semua keputusan pada Jena. Semoga saja Jena mau menerima perjodohan ini.

"Baiklah, saya akan menunggu jawaban Jena. Kapan dia kembali?”

"Mungkin sebentar lagi, Pak."

Abi dan Dewangga pun menunggu Jena datang sambil menikmati teh hangat dan sepiring singkong rebus yang Bik Ijah suguhkan. Makanan itu sangat sederhana, tapi entah kenapa terasa sangat lezat di lidah mereka. Abi bahkan meminta dibuatkan teh lagi ketika teh-nya sudah habis.

"Bibik lihat! Jena dapat ikan banyak sekali! Hari ini kita makan enak!" 

Abi sontak menoleh, menatap gadis berambut cokelat yang berdiri di depan pintu sambil membawa seember penuh ikan. Pakaian gadis bermata hezel itu penuh dengan lumpur dan bau amis di mana-mana.

Apakah benar gadis yang mirip orang-orangan sawah itu adalah calon istrinya?

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status