Share

7. Perpisahan Termanis

Penulis: Aeris Park
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-21 23:29:32

"Kamu serius mau pergi, Jen?" Ambar kembali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan sahabat baiknya.

"Padahal kamu kemarin ngotot banget nyuruh aku menerima pinangan mas Abi. Tapi kenapa kamu sekarang malah menangis?"

"Kamu tuh, nggak akan ngerti, Jen." Ambar berdecak kesal karena Jena tidak memahami kesedihannya. 

"Nggak ngerti gimana?"

"Sudahlah lupakan," sahut gadis yang rambutnya selalu dikepang dua itu malas.

Jena tersenyum tipis sambil mengusap bahu Ambar agar perasaan sahabatnya itu mrnjadi lebih tenang. Jena sebenarnya sangat memahami apa yang saat ini sedang Ambar rasakan. Akan tetapi dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan Bik Ijah karena wanit itu pasti akan ikut bersedih.

Mengingat Bik Ijah membuat Jena ingin sekali meneteskan air mata karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan wanita yang sudah merawat dan menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Berat rasanya bagi Jena untuk berpisah dengan Bik Ijah. Akan tetapi dia tidak mungkin tinggal bersama Bik Ijah selamanya karena dia sebentar lagi akan menikah dengan Abi.

Jena cepat-cepat mengusap sudut matanya yang berair karena Bik Ijah tiba-tiba menoleh ke arahnya. Bagaimana pun juga dia tidak boleh menunjukkan kesedihannya meskipun air matanya sejak tadi mendesak ingin keluar.

Sebuah mobil  SUV berwarna putih memasuki halaman rumah Bik Ijah. Tanpa perlu diberi tahu, Jena, Bik Ijah, dan Ambar tahu kalau mobil tersebut datang untuk menjemput Jena.

Seorang lelaki paruh baya keluar dari kursi belakang satelah sopir membukakan pintu untuknya. Dewangga berjalan menghampiri Jena dan Bik Ijah yang sudah menunggu kedatangannya dengan senyum cerah.

Dewangga tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya karena Jena akhirnya mau menerima perjodohan yang sudah dia atur bersama almarhum sahabat baiknya.

"Selamat siang, Bik Ijah," ucapnya sembari menyalami tangan wanita yang sudah merawat Jena. Setelah itu dia memberi salam pada calon menantunya yang berdiri tepat di sebelah Bik Ijah.

Jena pun menyalami tangan Dewangga dengan penuh rasa hormat.

"Bagaimana kabarmu, Jena? Apa semalam kamu tidur nyenyak?"

"Em, iya Pak," jawab Jena sambil melirik ke arah mobil SUV putih yang ada di belakang Dewangga.

"Apa kamu mencari, Abi?" 

Pertanyaan Dewangga barusan sukses membuar Dara tergagap. Apa terlihat sangat jelas kalau dia sedang mencari Abi?

"Ti-tidak, Pak," jawab Jena terdengar gugup.

Dewangga malah tersenyum. "Abi sedang ada pekerjaan penting, Jena. Karena itu dia tidak bisa ikut menjemput kamu," jelasnya tanpa Jena meminta.

Jena hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan semburat merah yang menghiasi wajah cantiknya. Dia pikir, Abi tidak ikut menjemputnya karena kapok datang ke desanya. Namun, lelaki itu ternyata sedang ada pekerjaan penting.

"Abi tadi nitip permintaan maaf sama, Om. Dia minta maaf karena tidak bisa jemput kamu."

Ucapan Dewangga barusan sukses membuat wajah Jena semakin terasa panas. Jantung pun berdebar hebat. 

Melihat tingkah Jena yang seperti itu membuat Ambar yakin kalau sahabatnya itu tertarik dengan Abi.

"Mari masuk dulu, Pak," ucap Bik Ijah.

Dewangga mengangguk, lalu mengikuti Bik Ijah masuk ke dalam rumah. Jena pun bergegas ke belakang karena ingin membuat secangkir teh hangat untuk calon ayah mertuanya itu.

Dewangga tanpa sadar tersenyum tipis melihat sofa baru yang ada di ruang tamu Bik Ijah. Tempat duduk itu jauh lebih nyaman dibanding dengan kursi kayu milik Bik Ijah dulu.

"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih pada Pak Dewangga karena sudah memberikan semua barang-barang ini untuk saya dan Non Jena."

Dewangga mengangguk. "Sama-sama, Bik. Semoga barang-barang ini berguna untuk, Bibik."

"Sekali lagi terima kasih, Pak. Semoga Tuhan membalas kebaikan, Bapak."

"Aamiin," sahut Dewangga tulus.

Jena datang dari dapur sambil membawa empat gelas cangkir teh hangat lalu meletakkannya di atas meja.

"Silakan diminum, Pak."

Dewangga mengangguk. Salah satu alasan yang membuatnya menyukai Jena karena gadis itu bisa membuat teh yang sangat enak. "Kenapa kamu membuat teh banyak sekali, Jena?" tanya Dewangga setelah menyesap sedikit teh-nya.

"Yang satu ini buat sopir, Bapak."

"Oh ...." Dewangga mengangguk-angguk lantas meminta sopirnya yang menunggu di luar untuk masuk lalu memberinya secangkir teh panas buatan Jena.

Sopir tersebut tampak senang mendapat secangkir teh panas karena kebetulan sekali cuaca saat ini sedang mendung. "Terima kasih banyak, Non," ucapnya terdengar tulus.

Jena mengangguk lantas mendudukkan diri di samping Bik Ijah.

"Apa kamu sudah siap tinggal bersama om, Jena?"

Pertanyaan Dewangga yang tiba-tiba itu membuat Jena tersentak hingga tanpa sadar meremas nampan yang ada di atas pangkuannya dengan erat.

"Bagaimana, Jena? Apa kamu sudah siap?" Dewangga kembali bertanya, padahal Jena belum sempat menjawab pertanyaannya.

Jena melirik Bik Ijah yang duduk tepat di sampingnya. Wanita tua itu tiba-tiba saja meraih tangannya yang terasa dingin lalu menggengganya. Rasanya sangat hangat dan nyaman. Seperti tersihir, perasaan Jena pun berubah menjadi lebih tenang sekarang 

Jena menarik napas panjang sebelum bicara. "I-iya, Pak. Jena sudah siap."

***

Perjalanan dari desa ke kota membutuhkan waktu sekitar empat jam. Dewangga pun meminta Jena untuk tidur agar tidak terlalu lelah saat di perjalanan. Akan tetapi kedua mata Jena sulit sekali untuk dipejamkan. Apa lagi ketika dia sudah tiba di kota.

"Wah!" gumam Jena tanpa sadar ketika melihat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di sepanjang jalan.  Papan-papan iklan led, jembatan penyeberangan yang instagramable, serta sebuah pusat perbelanjaan semuanya terlihat menakjubkan di mata Jena.

Mata Jena terpaku pada sebuah restoran ayam cepat saji yang terkenal dengan logo orang tuanya. Tanpa sadar gadis itu menelan ludah karena sudah lama sekali dia ingin mencicipi makanan tersebut.

Tanpa Jena sadari Dewangga sejak tadi memperhatikannya. Dewangga pun meminta sopirnya untuk mampir ke restoran tersebut sebelum pulang.

Rasanya Jena ingin sekali berteriak untuk meluapkan kebahagiaannya karena dia akhirnya bisa makan ayam goreng krispi. Akan tetapi dia tidak mungkin melakukannya karena tidak ingin membuat Dewangga malu.

"Kamu mau pesan apa, Jena?" tanya Dewangga begitu mereka tiba di depan meja kasir.

"Pesan saja apa pun yang kamu mau, jangan sungkan," imbuhnya.

Kening Jena berkerut dalam melihat menu yang terpampang jelas di hadapannya. Semuanya terlihat lezat dan menggiurkan. Namun, Jena bingung harus memilih yang mana. Lagi pula tulisan tersebut terlihat tidak jelas di matanya.

"Saya bingung, Pak," ucap gadis bermata hezel itu takut-takut.

Dewangga malah tersenyum. Dia tidak marah karena ini adalah pengalaman pertama bagi Jena. Dia pun memesan menu yang sekiranya cocok dengan selera gadis itu.

Setelah pesasan mereka siap, Jena dan Dewangga pun kembali melanjutkan perjalan menuju rumah Dewangga. Mulut Jena sontak menganga lebar melihat bangunan megah yang ada di hadapannya. Rumah bergaya klasik itu benar-benar terlihat sangat mewah di matanya. Semoga saja dia betah tinggal di sana.

"Ayo turun, Jena!" ucap Dewangga setelah membukakan pintu mobil untuk gadis itu.

Jena pun segera turun dari mobil SUV tersebut, lantas mengucapkan terima kasih pada Dewangga karena sudah membukakan pintu untuknya.

"Tolong ambil koper Jena yang ada di bagasi, setelah itu taruh di kamar Abi."

"Apa?!" Jena tersentak mendengar ucapan Dewangga barusan. Apa dia dan Abi akan tidur dalam satu kamar?

[ Bersambung ]

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istriku yang Tidak Memuaskan   Ekstra Part

    Jena mencicipi nasi goreng buatannya yang sebentar lagi matang. Dia segera mematikan kompor setelah memastikan kalau rasa nasi goreng tersebut sudah pas dan siap untuk dihidangkan. Jena biasanya hanya membuat roti bakar atau pancake untuk sarapan. Namun, suami tercinta ingin sarapan nasi goreng Demi menuruti permintaan Elrangga, Jena pun membuat nasi goreng pagi ini. Tidak lupa dia membuat telur dadar untuk pelengkap. Setelah semua siap, Jena bergegas pergi ke lantai atas untuk membangunkan Elrangga. Setelah menikah, Jena dan Elrangga memutuskan untuk tinggal di rumah mereka sendiri. Anita dan Dewangga sebenarnya tidak ingin mereka pindah. Namun, Jena dan Elrangga sudah sepakat kalau mereka akan tinggal di rumah mereka sendiri setelah menikah. Dengan berat hati, Anita dan Dewangga pun menuruti permintaan Jena dan Elrangga dengan syarat mereka harus sering-sering berkunjung ke rumah. Jena menyibak tirai yang menutupi jendela kamarnya. Kamarnya yang semula gelap pun seketika beruba

  • Istriku yang Tidak Memuaskan   72. Dear Happiness^^

    Dengan tangan gemetar dan napas yang masih tersengal, Jena bergegas menuju ruangan VIP yang ada di rumah sakit Citra Medika. Semua orang yang berada di lorong rumah sakit menatap Jena aneh karena penampilannya mirip sekali dengan orang gila.Rambutnya acak-acakan, bahkan saking paniknya dia sampai lupa memakai sandal.Beberapa jam yang lalu Jena mendapat telepon dari Ardilla. Mantan adik iparnya itu memberi tahu kalau Elrangga mengalami kecelakaan dan kondisinya sekarang sedang kritis.Jantung Jena mencelus melihat Elrangga yang terbaring tidak sadarkan diri dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Dia langsung memeluk Elrangga dengan erat, sementara air mata jatuh semakin deras membasahi pipinya. Jena benar-benar takut Elrangga pergi meninggalkannya untuk selamanya."Mas El, sadarlah. Jangan tinggalin Jena dan Arjuna sendirian ...," gumam Jena dengan suara gemetar karena menahan sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia benar-benar takut kehilangan Elrangga."Jena men

  • Istriku yang Tidak Memuaskan   71. Mempertahankan Ego

    "Arjuna kangen sekali sama ayah. Kenapa ayah tidak pernah datang, Ibu?"Jena yang sedang menjahit baju milik Arjuna sontak berhenti ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut putra sulungnya itu. Akhir-akhir ini Arjuna memang sering menanyakan Elrangga karena sudah dua bulan lebih lelaki itu tidak datang menemui mereka. Memberi kabar pun tidak.Bukan tanpa alasan kenapa Elrangga tidak pernah datang karena Jena sendiri yang meminta. Jena ingin menjauh dari kehidupan Elrangga agar lelaki itu bisa membuka hatinya untuk Allecia."Ayahmu sedang sibuk bekerja, Arjuna. Makanya ayah tidak sempat mengunjungimu." Jena terpaksa berbohong untuk yang kesekian kalinya. Dia tidak mungkin memberi tahu Arjuna alasan sebenarnya yang membuat Elrangga tidak pernah datang mengunjungi mereka.Wajah Arjuna seketika berubah sendu. Padahal Elrangga selalu menyempatkan diri untuk datang mengunjunginya di sela-sela kesibukannya yang padat. Namun, Elrangga sekarang tidak pernah datang menemuinya. Arjuna

  • Istriku yang Tidak Memuaskan   70. Melepasmu

    "Di kampung sekarang sedang musim buah apa, Jena?"Jena tidak mendengar pertanyaan Anita dengan jelas karena dia sibuk memperhatikan Elrangga dan Allecia yang sedang berbincang di ruang tamu sejak tiga puluh menit yang lalu. Entah hal apa yang sedang mereka bicarakan karena ekspresi Elrangga terlihat sangat serius.Rasanya Jena ingin sekali pergi ke ruang tamu agar bisa mengetahui apa yang sedang Elrangga dan Allecia bicarakan. Namun, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya."Kamu lihat apa, Jena?" Jena tergagap karena Anita menyentuh punggung tangannya pelan. "Bukan apa-apa, Bu," jawabnya terdengar gugup.Anita pun mengikuti arah pandang Jena. "Kamu sedang melihat Rangga dan Allecia?"Jena menelan ludah susah payah. Dia tidak pernah menyangka Anita tahu kalau dia sedang memperhatikan Elrangga dan Allecia sejak tadi. "Ti-tidak, Bu. Jena tadi sedang melihat jam di ruang tamu," dusta Jena. Semoga saja Anita percaya dengan ucapannya.Anita sebenarnya tidak percaya dengan apa

  • Istriku yang Tidak Memuaskan   69. Cemburu

    "Nenek!" Arjuna berlari kecil sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menghampiri Anita.Anita tampak begitu senang karena Arjuna akhirnya datang ke rumahnya. Dia pun meraih tubuh mungil Arjuna ke dalam gendongan lalu menghujani wajah cucu kesayangannya itu dengan ciuman."Aduh, Nenek! Geli!" Arjuna terkikik geli karena Anita terus menciumi wajahnya."Nenek kangen sekali sama Arjuna. Apa Arjuna tidak kangen sama nenek?""Arjuna juga kangen sekali sama Nenek." Arjuna menenggelamkan wajahnya di leher Anita dengan manja. Anak itu pintar sekali mengambil hati neneknya."Apa Arjuna tidak kangen sama kakek?"Arjuna sontak mengangkat wajahnya dari leher Anita, melihat seorang lelaki paruh baya yang berdiri tepat di belakang neneknya."Kakek!" pekiknya sambil mengulurkan kedua tangan ke arah Dewangga, minta digendong.Dewangga pun mengambil alih Arjuna dari gendongan Anita lantas mencium pipi cucu pertama sekaligus pewaris perusahaan Dewangga itu dengan penuh sayang. Sepasang mata abu

  • Istriku yang Tidak Memuaskan   68. Hidup Baru

    "Ibu, ayo, cepat! Biar ayah nanti tidak menunggu kita terlalu lama.""Iya, Sayang. Awas, jangan lari-lari. Nanti kamu jatuh." "Arjuna udah hati-hati, Ibu. Jangan khawatir."Jena hanya bisa menghela napas melihat tingkah putranya. Siapa yang akan menyangka jika bayi prematur yang dia lahirkan lima tahun lalu itu sekarang tumbuh menjadi anak yang begitu aktif dan cerdas.Padahal kondisi Arjuna sempat menurun karena dia stres memikirkan proses perceraiannya dan Abi. Dia bahkan sudah pasrah jika Tuhan ingin mengambil Arjuna kapan pun darinya karena dia tidak tega melihat putra semata wayangnya itu terus tersiksa.Namun, keajaiban itu tiba-tiba datang. Kondisi Arjuna berangsur-angsur membaik hingga berhasil melewati masa kritis. Tiga bulan kemudian dokter akhirnya mengizinkan Arjuna pulang. Namun, anak laki-lakinya itu harus tetap diperhatikan secara ekstra karena daya tahan tubuhnya lemah.Jena merasa sangat bersyukur Arjuna akhirnya sembuh. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status