"Bibik bercanda, kan?" Reaksi Jena sama persis dengan Bik Ijah ketika mendengar Dewangga yang ingin menjodohkan Jena dengan Abi sesuai janji yang sudah dia buat bersama Fabian. Jena terkejut bukan main karena dia baru pertama kali ini bertemu dengan Abi.
"Non Jena, dengerin Bik Ijah dulu. Pak Dewangga ingin menjodohkan Non Jena dengan Mas Abi demi memenuhi amanah terakhir ayah Non Jena."
"Benarkah?" Jena menatap wanita yang sudah merawatnya sejak kedua orang tuanya meninggal itu dengan pandangan tidak percaya.
Bik Ijah mengangguk.
"Maaf kalau ucapan om membuatmu terkejut, Jena."
Jena sontak menoleh, menatap lelaki paruh baya yang duduk di hadapannya. Dewangga terlihat sangat tegas dan berwibawa. Pembawaannya yang tenang membuat Jena seolah-olah melihat sosok ayahnya yang sudah meninggal dalam diri Dewangga.
Dewangga menarik napas panjang sebelum bicara. "Lima belas tahun yang lalu, om dan almarhum ayahmu berjanji akan menjodohkan anak kami jika mereka sudah dewasa. Karena itu om sekarang ingin menjodohkanmu dengan Abi untuk memenuhi amanah terakhir ayahmu. Bagaimana, Jena? Apa kamu mau menerima perjodohan ini?"
Tidak ada nada paksaan di dalam pertanyaan yang Dewangga tunjukkan untuk Jena. Dia menyerahkan semua keputusan pada Jena, meskipun dia sangat berharap gadis itu mau menerima perjodohan ini.
Jena tidak menjawab. Gadis itu malah memainkan ujung kausnya hingga kusut sambil melirik lelaki yang duduk tepat di sebelah Dewangga.
Jena akui Abi memiliki wajah yang cukup tampan. Melihat dari penampilannya yang rapi, Jena yakin sekali Abi orang yang sangat pintar dan berpendidikan. Selain itu Abi sepertinya business man yang sukses dan mapan dari segi finansial.
Dengan wajah tampan, pendidikan tinggi, dan kekayaan yang dimilikinya, Jena yakin sekali pasti banyak perempuan yang mengantre ingin menjadi istri Abi. Namun, kenapa Abi malah mau dijodohkan dengan gadis kampung seperti dirinya?
Bukankah ini aneh?
"Bagaimana, Jena?" Dewangga kembali bertanya karena Jena tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Saya bingung, Pak."
Dewangga tersenyum hangat. "Bingung kenapa?"
"Saya belum begitu kenal sama—" Jena menggigit bibir bagian bawahnya sambil melirik Abi dengan takut-takut.
"Panggil saja mas Abi."
Jena terenyak. Kedua matanya menatap Abi dengan pandangan tidak percaya karena lelaki itu akhirnya membuka suara setelah sekian lama terdiam. Sedetik kemudian Jena kembali menunduk. Kedua tangannya tanpa sadar memilin ujung kausnya semakin erat menahan debaran halus yang menggelitik jantungnya karena melihat senyum manis Abi.
"Em, Mas Abi," ucapnya malu-malu.
Gadis itu ... sangat polos, pikir Abi. Baru pertama kali ini dia melihat gadis yang begitu polos seperti Jena karena gadis yang sering dia temui di kota kebanyakan terlalu agresif.
"Kalau begitu, om akan memberi kamu waktu untuk memikirkannya. Tapi om berharap kamu mau menerima perjodohan ini, Jena," ucap Dewangga setelah melihat benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
Tidak terasa sekarang sudah jam dua siang. Dia harus segera pulang agar tidak kemalaman di jalan. Tidak lupa dia meninggalkan kartu namanya agar Jena bisa menghubunginya sewaktu-waktu jika sudah mengambil keputusan.
Jena hanya bisa mengangguk dan mempersilakan tamunya untuk pulang. Sedetik kemudian dia cepat-cepat menundukkan kepala karena tatapan kedua matanya tanpa sengaja bertemu dengan Abi. Entah kenapa Jena merasa gugup bukan main berada di dekat lelaki itu.
"Pak Dewangga, tunggu sebentar." Bik Ijah cepat-cepat menghampiri Dewangga yang ingin masuk ke mobil sambil membawa satu kantong plastik berwarna hitam.
"Saya ada sedikit teh buatan Non Jena untuk Bapak. Mohon diterima."
"Kenapa repot-repot, Bik? Anda tidak perlu memberi teh ini untuk kami." Mulut Dewangga memang berkata demikian, tapi tangannya menerima plastik hitam yang diulurkan Bik Ijah.
"Istri saya pasti suka dengan teh ini. Terima kasih banyak, Bik."
"Sama-sama, Pak."
Dewangga pun masuk lebih dulu ke dalam mobil, tapi Abi malah memperhartikan Jena yang berdiri di depan pintu.
"Jena!" panggilnya.
Jena tersentak, jantungnya berdetak hebat karena Abi memanggil namanya. "I-iya, Mas?"
"Mas pulang dulu, ya? Jaga dirimu baik-baik." Abi masuk ke dalam mobilnya setelah mengatakan kalimat tersebut pada Jena lantas mengemudikan mobil SUV miliknya meninggalkan halaman rumah Bik Ijah.
Jena berdiri mematung di depan pintu. Sebenarnya tidak sedikit pemuda di kampung yang ingin meminangnya sebagai istri. Namun, Jena selalu menolak karena pemuda-pemuda tersebut tidak ada yang berhasil menggetarkan hatinya. Akan tetapi jantungnya sekarang berdebar hebat karena melihat senyum manis Abi.
Apa dia sudah tertarik pada lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu?
[Bersambung]
Jena mencicipi nasi goreng buatannya yang sebentar lagi matang. Dia segera mematikan kompor setelah memastikan kalau rasa nasi goreng tersebut sudah pas dan siap untuk dihidangkan. Jena biasanya hanya membuat roti bakar atau pancake untuk sarapan. Namun, suami tercinta ingin sarapan nasi goreng Demi menuruti permintaan Elrangga, Jena pun membuat nasi goreng pagi ini. Tidak lupa dia membuat telur dadar untuk pelengkap. Setelah semua siap, Jena bergegas pergi ke lantai atas untuk membangunkan Elrangga. Setelah menikah, Jena dan Elrangga memutuskan untuk tinggal di rumah mereka sendiri. Anita dan Dewangga sebenarnya tidak ingin mereka pindah. Namun, Jena dan Elrangga sudah sepakat kalau mereka akan tinggal di rumah mereka sendiri setelah menikah. Dengan berat hati, Anita dan Dewangga pun menuruti permintaan Jena dan Elrangga dengan syarat mereka harus sering-sering berkunjung ke rumah. Jena menyibak tirai yang menutupi jendela kamarnya. Kamarnya yang semula gelap pun seketika beruba
Dengan tangan gemetar dan napas yang masih tersengal, Jena bergegas menuju ruangan VIP yang ada di rumah sakit Citra Medika. Semua orang yang berada di lorong rumah sakit menatap Jena aneh karena penampilannya mirip sekali dengan orang gila.Rambutnya acak-acakan, bahkan saking paniknya dia sampai lupa memakai sandal.Beberapa jam yang lalu Jena mendapat telepon dari Ardilla. Mantan adik iparnya itu memberi tahu kalau Elrangga mengalami kecelakaan dan kondisinya sekarang sedang kritis.Jantung Jena mencelus melihat Elrangga yang terbaring tidak sadarkan diri dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Dia langsung memeluk Elrangga dengan erat, sementara air mata jatuh semakin deras membasahi pipinya. Jena benar-benar takut Elrangga pergi meninggalkannya untuk selamanya."Mas El, sadarlah. Jangan tinggalin Jena dan Arjuna sendirian ...," gumam Jena dengan suara gemetar karena menahan sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia benar-benar takut kehilangan Elrangga."Jena men
"Arjuna kangen sekali sama ayah. Kenapa ayah tidak pernah datang, Ibu?"Jena yang sedang menjahit baju milik Arjuna sontak berhenti ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut putra sulungnya itu. Akhir-akhir ini Arjuna memang sering menanyakan Elrangga karena sudah dua bulan lebih lelaki itu tidak datang menemui mereka. Memberi kabar pun tidak.Bukan tanpa alasan kenapa Elrangga tidak pernah datang karena Jena sendiri yang meminta. Jena ingin menjauh dari kehidupan Elrangga agar lelaki itu bisa membuka hatinya untuk Allecia."Ayahmu sedang sibuk bekerja, Arjuna. Makanya ayah tidak sempat mengunjungimu." Jena terpaksa berbohong untuk yang kesekian kalinya. Dia tidak mungkin memberi tahu Arjuna alasan sebenarnya yang membuat Elrangga tidak pernah datang mengunjungi mereka.Wajah Arjuna seketika berubah sendu. Padahal Elrangga selalu menyempatkan diri untuk datang mengunjunginya di sela-sela kesibukannya yang padat. Namun, Elrangga sekarang tidak pernah datang menemuinya. Arjuna
"Di kampung sekarang sedang musim buah apa, Jena?"Jena tidak mendengar pertanyaan Anita dengan jelas karena dia sibuk memperhatikan Elrangga dan Allecia yang sedang berbincang di ruang tamu sejak tiga puluh menit yang lalu. Entah hal apa yang sedang mereka bicarakan karena ekspresi Elrangga terlihat sangat serius.Rasanya Jena ingin sekali pergi ke ruang tamu agar bisa mengetahui apa yang sedang Elrangga dan Allecia bicarakan. Namun, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya."Kamu lihat apa, Jena?" Jena tergagap karena Anita menyentuh punggung tangannya pelan. "Bukan apa-apa, Bu," jawabnya terdengar gugup.Anita pun mengikuti arah pandang Jena. "Kamu sedang melihat Rangga dan Allecia?"Jena menelan ludah susah payah. Dia tidak pernah menyangka Anita tahu kalau dia sedang memperhatikan Elrangga dan Allecia sejak tadi. "Ti-tidak, Bu. Jena tadi sedang melihat jam di ruang tamu," dusta Jena. Semoga saja Anita percaya dengan ucapannya.Anita sebenarnya tidak percaya dengan apa
"Nenek!" Arjuna berlari kecil sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menghampiri Anita.Anita tampak begitu senang karena Arjuna akhirnya datang ke rumahnya. Dia pun meraih tubuh mungil Arjuna ke dalam gendongan lalu menghujani wajah cucu kesayangannya itu dengan ciuman."Aduh, Nenek! Geli!" Arjuna terkikik geli karena Anita terus menciumi wajahnya."Nenek kangen sekali sama Arjuna. Apa Arjuna tidak kangen sama nenek?""Arjuna juga kangen sekali sama Nenek." Arjuna menenggelamkan wajahnya di leher Anita dengan manja. Anak itu pintar sekali mengambil hati neneknya."Apa Arjuna tidak kangen sama kakek?"Arjuna sontak mengangkat wajahnya dari leher Anita, melihat seorang lelaki paruh baya yang berdiri tepat di belakang neneknya."Kakek!" pekiknya sambil mengulurkan kedua tangan ke arah Dewangga, minta digendong.Dewangga pun mengambil alih Arjuna dari gendongan Anita lantas mencium pipi cucu pertama sekaligus pewaris perusahaan Dewangga itu dengan penuh sayang. Sepasang mata abu
"Ibu, ayo, cepat! Biar ayah nanti tidak menunggu kita terlalu lama.""Iya, Sayang. Awas, jangan lari-lari. Nanti kamu jatuh." "Arjuna udah hati-hati, Ibu. Jangan khawatir."Jena hanya bisa menghela napas melihat tingkah putranya. Siapa yang akan menyangka jika bayi prematur yang dia lahirkan lima tahun lalu itu sekarang tumbuh menjadi anak yang begitu aktif dan cerdas.Padahal kondisi Arjuna sempat menurun karena dia stres memikirkan proses perceraiannya dan Abi. Dia bahkan sudah pasrah jika Tuhan ingin mengambil Arjuna kapan pun darinya karena dia tidak tega melihat putra semata wayangnya itu terus tersiksa.Namun, keajaiban itu tiba-tiba datang. Kondisi Arjuna berangsur-angsur membaik hingga berhasil melewati masa kritis. Tiga bulan kemudian dokter akhirnya mengizinkan Arjuna pulang. Namun, anak laki-lakinya itu harus tetap diperhatikan secara ekstra karena daya tahan tubuhnya lemah.Jena merasa sangat bersyukur Arjuna akhirnya sembuh. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan ter