"Non Jena ayo, masuk. Jangan melamun di depan pintu terus."
Jena tergagap mendengar ucapan Bik Ijah barusan lantas cepat-cepat kembali masuk ke dalan rumah. Tanpa disuruh, gadis itu membawa cangkir kotor bekas Abi dan Dewangga ke belakang untuk dicuci.
Aroma musk yang menguar dari tubuh Abi masih belum hilang, padahal lelaki itu sudah pergi meninggalkan rumahnya. Dan entah kenapa, jantungnya kembali berdebar-debar ketika mengingat lelaki berkaca mata itu.
"Aduh, Non Jena. Kenapa repot-repot mencuci piring segala, sih? Sini, biar Bik Ijah saja yang nyuci."
"Nggak papa kok, Bik. Lagian Jena sudah biasa." Jena tetap meneruskan pekerjaannya padahal Bik Ijah sudah berulang kali melarang. Wanita paruh baya itu bahkan masih memanggil 'Nona' dan memperlakukaannya seperti seorang majikan padahal beliau sudah tidak menjadi pembantunya lagi.
"Soal lamaran pak Dewangga tadi gimana, Non?"
Tangan Jena sontak berhenti membilas piring ketika mendengar pertanyaan Bik Ijah. "Jena bingung, Bik."
"Kenapa bingung?"
Jena menaruh gelas dan piring yang sudah selesai dicuci ke rak piring. "Jena belum begitu kenal sama mas Abi."
"Mas Abi kayaknya orang baik, Non. Lagi pula, almarhum tuan Fabian dan pak Dewangga sudah berjanji ingin menjodohkan Non Jena dan mas Abi."
"Jena nggak tahu, Bik." Jena beranjak ke kamar setelah selesai mencuci piring, Bik Ijah pun mengikutinya.
"Amanah orang yang sudah meninggal itu harus dilaksanakan, Non. Apa lagi ini amanah almarhum ayah Non Jena sendiri."
Jena menghela napas panjang lantas mendudukkan diri di tepi ranjang. Jujur, dia belum siap untuk berumah tangga meskipun gadis yang tinggal di kampung sepertinya sudah banyak yang menikah, bahkan memiliki anak. Lagi pula dia tidak tega meninggalkan Bik Ijah tinggal di rumah sendirian karena dia pasti akan ikut Abi jika mereka sudah menikah nanti.
"Jena takut, Bik."
"Kenapa takut, Non?" tanya Bik Ijah tidak mengerti.
Jena menarik napas panjang sebelum bicara. "Jena nggak tega ninggalin Bik Ijah sendirian kalau sudah menikah dengan mas Abi ."
Bik Ijah tersenyum hangat lantas meraih kedua tangan Jena dan menggenggamnya lumayan erat. Kedua sorot matanya begitu hangat dan meneduhkan membuat Jena merasa tidak kehilangan sosok ibu meskipun ibu kandungnya sudah lama meninggal.
"Non Jena nggak usah khawatir karena bibik sudah biasa tinggal sendiri. Lagi pula di rumah ini masih ada Jeno." Bik Ijah terkekeh pelan membayangkan ayam jantan perliharaannya yang diberi nama Jeno oleh Jena.
"Bibik ...." Jena memberenggut kesal karena Bik Ijah malah mengajaknya bercanda padahal mereka sedang membahas masalah serius sekarang.
"Maaf, Non." Bik Ijah tidak bisa menahan tawanya melihat Jena yang memberenggut kesal. Gadis itu masih saja terlihat menggemaskan meskipun usianya sudah dua puluh tahun.
"Bagaimana kalau Bibik ikut tinggal bersama Jena?"
Bik Ijah dengan tegas menggeleng karena dia ingin menghabiskan masa tua di tanah kelahirannya. Lagi pula dia tidak bisa tinggal jauh dari mendiang suaminya yang dimakamkan di kampung ini.
"Yah ...." Jena mengembuskan napas panjang. Di satu sisi dia ingin menerima perjodohan ini demi memenuhi amanah terakhir sang ayah. Akan tetapi di lain sisi dia tidak tega meninggalkan Bik Ijah sendirian.
Apa yang harus Jena lakukan?
"Non." Bik Ijah mempererat genggaman tangannya. "Bik Ijah yakin sekali mas Abi orang baik. Kalau tidak baik pak Dewangga tidak mungkin menjodohkan Non Jena dengan mas Abi. Bibik Juga yakin ... sekali kalau hidup Non Jena pasti akan lebih bahagia setelah menikah dengan mas Abi."
"Benarkah?"
Bik Ijah mengangguk. Tidak ada keraguan yang terpancar dari kedua sorot matanya. Bik Ijah hanya berharap kebahagiaan bagi Jena, dan dia yakin sekali Abi pasti bisa mewujudkannya.
"Tolong terima perjodohan ini, Non. Bibik mohon ...."
Jena malah terdiam dengan perasaan yang tidak karuan. Haruskah dia menerima perjodohan ini?
***
Abi tidak pernah mengalihkan pandang dari jalanan yang ada di hadapannya karena salah memilih jalan sedikit, bisa dipastikan mobil SUV miliknya akan terjebak di dalam lumpur.
"Santailah sedikit, Bi. Jangan terlalu tegang," ucap Dewangga sambil mengusap lengan putra sulungnya itu.
"Ayah lebih baik diam kalau tidak ingin mendengar Abi mengumpat," desis Abi terdengar kesal karena Dewangga sejak tadi hanya mengoceh tanpa memberi bantuan apa-apa.
Dewangga malah terkekeh. Lelaki yang rambutnya sebagian sudah beruban itu memang suka bercanda. Namun, di balik sifatnya itu Dewangga sosok ayah yang sangat sayang dan perhatian pada keluarga.
"Ayah ucapkan banyak-banyak terima kasih karena kamu mau menuruti permintaan ayah, Bi."
"Hanya terima kasih?"
Dewangga kembali terkekeh. "Ayah akan menaikkan jabatanmu di perusahaan sesuai dengan kesepakatan yang sudah kita buat."
Abi tersenyum senang. Selain untuk memenuhi janji yang dibuat oleh kedua orang tuanya dan Jena, Abi mau menerima perjodohan ini untuk mendapatkan posisi yang sudah lama dia incar di perusahaan ayahnya.
"Dasar licik!" Dewangga tersenyum miring melihat senyum tipis yang menghiasi bibir tipis Abi.
"Memang," sahut Abi cuek karena sebagian besar sifat Dewangga menurun pada dirinya. Dia tidak mungkin mau menerima perjodohan ini jika tidak menguntungkan dirinya.
"Bagaimana pendapatmu tentang, Jena?" tanya Dewangga tiba-tiba karena dia ingin tahu bagaimana kesan pertama Abi ketika melihat gadis itu.
"Biasa saja."
Dewangga memutar bola mata malas karena Abi jawaban Abi sangat singkat. "Jawab pertanyaan ayah lebih jelas, Bi."
"Lebih jelas gimana?" Abi menambah laju kecepatan mobilnya setelah berhasil melewati jalanan berlumpur tadi. Sepertinya dia harus membawa mobilnya ke bengkel untuk diperiksa jika sudah tiba di kota.
"Beri tahu ayah kesan pertamamu saat melihat Jena."
"Haruskah?" tanya Abi sambil mengangkat sebelah alisnya. Ekspresi lelaki 28 tahun itu terlihat sangat menyebalkan di mata Dewangga.
"Iya," sahut Dewangga malas.
Abi menghela napas panjang sebelum bicara. "Tubuh kurus, dada rata, bokong tidak padat, penampilannya kampungan—"
Mulut Dewangga menganga lebar. Dia tidak pernah menyangka kalimat kasar seperti itu yang keluar dari bibir Abi.
"Stop, Bi. Jangan diterusin lagi."
"Memangnya kenapa?"
"Ayah tidak tahan mendengarnya."
Abi terkekeh pelan. "Abi kan, cuma ingin berkata jujur, Yah."
"Ayah tahu, tapi jawabanmu tidak masuk akal."
"Tidak masuk akal gimana maksud, Ayah?" tanya Abi tidak mengerti.
"Menurut ayah dada Jena tidak terlalu rata. Selain itu wajahnya lumayan cantik."
"Memang." Abi akui kalau Jena memiliki wajah yang lumayan cantik. Hanya saja penampilan gadis itu sedikit kampungan.
"Bahkan lebih cantik dari pada Dea."
Wajah Abi berubah pias, kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya gemetar karena mendengar nama perempuan yang disebut oleh Dewangga.
Dia, Deandra Puspita. Mantan kekasihnya sejak duduk di bangku SMA. Abi terpaksa mengakhiri hubungannya dengan Dea karena wanita itu lebih memilih lelaki yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
Bagaimana kabar Dea sekarang?
Apa wanita itu hidup bahagia dengan lelaki pilihannya?
Abi tidak tahu bagaimana kabar Dea sejak hubungan mereka berakhir karena dia ingin melupakan perasaannya pada wanita itu. Namun, sampai sekarang tidak ada perempuan yang berhasil menggeser nama Dea dari hatinya.
"Kamu juga berhak bahagia, Bi. Ayah harap kamu akan hidup bahagia bersama Jena," ucap Dewangga terdengar tulus karena Abi seolah-olah kehilangan sebagian hidupnya setelah berpisah dengan Dea.
Dia ingin melihat Abi hidup bahagia dengan Jena dan melupakan sakit hatinya pada Dea.
Abi masih terdiam. Apakah Jena mampu membuatnya melupakan perasaannya pada Dea?
[Bersambung]
"Jena, Jena, bangun!" Jena mengerjapkan kedua matanya perlahan karena merasa tubuhnya diguncang oleh seseorang lumayan kencang. Kening gadis itu berkerut dalam menatap seorang gadis berkepang dua yang berada di hadapannya. "Ambar?" gumamnya terdengar serak khas orang bangun tidur. "Kenapa kamu ke rumahku pagi-pagi sekali?" "Pagi-pagi sekali katamu?" ucap gadis bernama Ambar itu penuh dengan tekanan. Jena mengangguk polos. Gadis itu belum menyadari kalau matahari sudah bersinar terang dibalik jendela kamarnya yang masih tertutup gorden. "Coba kamu lihat sekarang jam berapa?" Jena pun menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Kedua mata gadis itu sontak membulat karena jarum pendek menunjuk angka sembilan, sementara jarum panjang menunjuk angka dua belas. Pukul 09.00 pagi. "Astaga! Kenapa aku baru bangun?" Jena cepat-cepat menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lantas merapikan tempat tidurnya yang berantakan. "Mana aku tahu," uc
Tidak ada satu orang pun yang tidak sibuk di kediaman Dewangga saat pagi hari. Semua orang yang tinggal di rumah mewah bak istana tersebut sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Terutama pelayan. Mereka bolak-balik dari dapur ke ruang makan untuk mengambil makanan yang sudah selesai dimasak oleh koki lalu meletakkannya di atas meja makan. "Apa semuanya sudah siap?" tanya nyonya besar pada salah satu pelayan. Dia Anita—istri Dewangga. "Sudah, Nyonya," jawab pelayan tersebut. Anita pun melihat meja makan untuk memastikan apakah makanan yang dia rekomendasikan untuk menu sarapan pagi ini sudah siap dihidangkan. Ternyata koki di rumahnya bekerja dengan sangat baik karena menu yang dia rekomendasikan semalam sudah tersaji di atas meja makan. Setelah memastikan tidak ada yang kurang, Anita kembali ke kamar untuk membantu Dewangga memakai dasi. Rutinitas itu seolah-olah menjadi pekerjaan wajib bagi Anita setelah menikah dengan Dewangga karena
"Kamu serius mau pergi, Jen?" Ambar kembali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan sahabat baiknya."Padahal kamu kemarin ngotot banget nyuruh aku menerima pinangan mas Abi. Tapi kenapa kamu sekarang malah menangis?""Kamu tuh, nggak akan ngerti, Jen." Ambar berdecak kesal karena Jena tidak memahami kesedihannya."Nggak ngerti gimana?""Sudahlah lupakan," sahut gadis yang rambutnya selalu dikepang dua itu malas.Jena tersenyum tipis sambil mengusap bahu Ambar agar perasaan sahabatnya itu mrnjadi lebih tenang. Jena sebenarnya sangat memahami apa yang saat ini sedang Ambar rasakan. Akan tetapi dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan Bik Ijah karena wanit itu pasti akan ikut bersedih.Mengingat Bik Ijah membuat Jena ingin sekali meneteskan air mata karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan wanita yang sudah merawat dan menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Berat rasa
"Om cuma bercanda." Dewangga tidak bisa menahan tawa ketika melihat Jena yang begitu terkejut setelah mendengar ucapannya. Dewangga memang sudah tidak sabar ingin memiliki cucu dari Abi dan Jena hingga tidak sadar menyuruh pelayan membawa koper Jena ke kamar Abi. Lagi pula dia tidak ingin membuat Eyang Putri terkena serangan jantung jika tahu Abi dan Jena sudah tidur dalam satu kamar sebelum menikah. "Mari, ikut om, Jena." Jena mengangguk lantas mengikuti Dewangga masuk ke dalam rumah. Beberapa pelayan sontak berbaris rapi sambil menundukkan kepala menyambut kedatangan mereka. Anita yang mendengar mobil Dewangga memasuki halaman bergegas turun untuk menyambut kedatangan suaminya. Selain itu, dia juga ingin tahu seperti apa wajah calon menantunya. Apakah benar kalau Jena memiliki wajah yang sangat cantik seperti yang selalu Dewangga katakan pada dirinya? "Selamat datang di rumah om, Jena." Mulut Jena menganga lebar mengagumi betapa megahnya kediaman Dewangga. Dindingnya didomin
Jena terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Entah kenapa kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Masih tergambar jelas di ingatan Jena bagaimana ekspresi Abi, Dewangga, dan Anita ketika mengetahui kalau dirinya tidak bisa membaca. Terkejut bukan main.Saat berumur 10 tahun, Jena pernah diculik oleh orang suruhan pamannya yang ingin menguasai harta kedua orang tuanya. Dia disekap di dalam sebuah rumah kosong yang berada di tengah hutan dan dipaksa membaca cerita tentang penculikan dan pembunuhan anak perempuan yang tubuhnya dimutilasi kemudian dijadikan santapan lezat oleh si pembunuh.Perut Jena terasa sangat mual ketika membaca cerita tersebut, tubuhnya pun berkeringat dingin. Dia tidak sanggup lagi untuk meneruskan, tapi mereka malah memaksanya agar membaca cerita tersebut dengan suara lantang.Jena masih ingat dengan jelas orang-orang yang menculiknya tertawa senang melihatnya yang menangis ketakutan. Dia pun memohon-mohon p
"Jena, tolong keluarkan puding mangga yang ada di lemari es," pinta Anita. "Iya, Bu." Jena pun segera mengeluarkan puding yang dibuat Anita tadi pagi dari lemari es. Tumben sekali calon mertuanya itu mau repot-repot membuat puding karena Anita biasanya selalu menyuruh pelayan untuk menyiapkan semuanya. "Kalau sudah taruh di meja." Jena pun meletakkan puding mangga itu dengan hati-hati di atas meja makan sesuai perintah Anita. "Makan puding paling enak pakai vla vanila." Jena tanpa sadar menelan ludah melihat Anita yang sedang menuangkan vla vanila di atas puding mangga buatannya, kemudian memotong puding tersebut menjadi beberapa bagian untuk diberikan pada Abi dan Dewangga saat mereka sudah pulang dari kantor. "Ini, untukmu." "Untuk Jena?" tanya Jena sambil menunjuk dirinya sendiri. Anita memutar bola mata karena Jena masih saja bertanya. "Iya, Jena. Puding ini untuk kamu." Jena malah diam menatap sepiring puding yang Anita ulurkan pada dirinya. Padahal dia sudah mengecewakan
"Rangga jaga ucapanmu," ucap Anita dengan nada penuh peringatan agar putra keduanya itu tidak bicara sembarangan pada Jena.Elrangga mendesah panjang. "Coba Ibu pikir. Kak Abi itu sangat pintar dan hebat. Apa Ibu ingin menjodohkan anak kesayangan Ibu dengan gadis seperti ini?"Elrangga memperhatikan Jena dari atas sampai bawah, seolah-olah menilai penampilan gadis itu. "Wajah pas-pasan, dada rata, bokong tidak terlalu padat, pendek ...."Wajah Jena sontak memerah, amarah dan kekesalan tergambar jelas di wajah cantiknya. Jena benar-benar kesal karena Erlangga sudah menghina dirinya. Apa lagi di depan Anita."Elrangga jaga ucap—" Anita tidak melanjutkan kalimatnya karena Jena menyela ucapannya."Mulutmu itu pernah disekolahin nggak, sih?" Jena menatap Elrangga dengan tajam. "Tubuhku tidak terlalu rata. Ada tanjakan juga belokan di sana!" ucapnya tidak terima atas hinaan yang Elrangga tunjukkan pada dirinya."Mana?" Elrangga balas menatap Jena dengan pandangan merendahkan, seolah-olah J
"Mas ada meeting mendadak siang ini. Kamu nggak papa kan, kalau pergi sama Rangga?"Jena sebenarnya ingin sekali menjawab tidak karena dia pasti tidak akan bisa memilih baju untuk acara pertunangan mereka dengan tenang jika pergi bersama Elrangga. Namun, dia tak mungkin mengatakan tidak karena Abi diwajibkan hadir di meeting tersebut."Kenapa Kak Abi nyuruh Rangga buat nemenin Jena?" tanya Rangga sewot. Sepertinya dia juga enggan mengantar Jena pergi ke butik."Karena cuma kamu yang bisa kakak andalkan, Rangga. Kakak titip Jena sebentar. Tolong jaga dia baik-baik," pesan Abi sebelum pergi ke kantor.Jena terus menatap mobil Abi sampai menghilang dari pandangannya hingga tidak menyadari jika Elrangga memanggilnya sejak tadi.Tin ....Jena tergagap karena mendengar klakson dari Audy RS7 yang ada di hadapannya."Buruan masuk!" seru Rangga sambil menurunkan kaca mobil bagian kiri agar bisa melihat Jena.Jena pun membuka pintu mobil bagian belakang dan mendudukkan diri di sana."Kenapa kam