Share

Penolakan Zayden

"Aku hamil?" ucapku lagi diiringi derai tawa. "Bagaimana bisa aku hamil padahal baru menikah satu minggu, kalian ini mengada-ada saja!"

Aku membantah ucapan mereka meskipun jantungku berdegup kencang.

"Yaa kali aja mas Damar mencicipi dirimu terlebih dahulu," sahut Revina sambil tertawa.

"Kamu tidak hamil dengan Zay kan?" sela Ziva menyelidiki.

Aku langsung terbatuk-batuk karena tersedak minuman begitu mendengar pertanyaan dari Ziva.

"Kamu beneran hamil sama dia, Amel!" teriak Ziva lagi.

"Astaga Ziva ... Bagaimana mungkin itu terjadi, kamu tahu kan aku hanya bertemu dia saat di kampus. Dan orang tuaku juga tidak tahu hubungan kami, kapan kami bisa melakukan hal itu? kamu kalau ngomong suka asal!" ucapku dengan nada kesal.

"Sudah-sudah, kalian ini mendebatkan apa sih? kalau Amel bilang tidak hamil ya tidak. Benar kata dia, mana mungkin dia hamil setelah satu minggu menikah. Lagian tidak mungkin juga mas Damar melakukan itu sebelum mereka menikah," Alesha menengahi perdebatan kami.

Kami akhirnya terdiam, aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan mereka seperti tidak enak hati sudah bercanda atau lebih tepatnya menuduhku sudah melakukan hubungan suami-istri sebelum menikah.

"Gimana dengan usaha kalian mencari pekerjaan?" tanyaku memecahkan kecanggungan diantara kami.

"Aku sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan sebagai staf administrasi," sahut Alesha.

"Aku sedang menunggu hasil interview," jawab Revani.

"Aku masih mengirim lamaran pekerjaan di beberapa kantor. Kalau tidak ada yang nyangkut, aku kerja sama suamimu saja ya, Mel?" ucap Ziva.

"Boleh, ngurusin telur ayam." Aku berkata sambil tertawa.

"Yang penting di gaji besar," sahut Ziva lagi.

"Di gaji telur mau?" tanyaku menggoda.

"Telurnya mas Damar mau aku," sahut Ziva sambil tertawa.

"Dasar somplak!" aku berkata sambil menyentil jidatnya.

Di meringis pura-pura menahan sakit sambil tertawa, yang diikuti juga tawa Rivani dan Alesha. Suasana kembali mencair, kami berbincang sambil makan. Dan aku menahan diri untuk tidak mual mencium aroma ayam goreng yang terus saja menganggu indera penciumanku.

Setelah puas melepaskan kangen, kami pun pulang dan berpisah di tempat itu juga. Aku melajukan kendaraan sambil terus berpikir. Apa iya aku hamil, sebulan lebih sudah berlalu dari saat aku melakukannya dengan Zayden, apa mungkin aku benar-benar mengandung anaknya. Aku langsung mengingat-ingat jadwal menstruasiku dan sepertinya aku memang telat bulan ini.

Sambil mengendarai mobil, aku melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari apotek. Aku harus memastikan keadaanku sekarang juga. Setelah cukup lama mencari, akhirnya kulihat sebuah apotek. Segera ku parkirkan mobilku dan bergegas masuk ke apotek dan membeli alat uji kehamilan.

"Mbak, mau alat uji kehamilan yang paling akurat ya," ucapku pada wanita berjilbab biru yang ada di balik etalase.

"Sebentar ya Bu," jawabnya sambil mencari-cari benda yang aku inginkan.

Setelah membayarnya, aku segera kembali ke mobil. Mencari kamar mandi umum, aku harus segera melakukan pengecekan. Tidak bisa menunggu besok pagi lagi. Perlahan ku jalankan mobilku kembali sambil mencari-cari tempat pengisian BBM, biasanya di tempat itu selalu tersedia kamar mandi. Setelah menemukan, aku segera memarkirkan kendaraanku dan mencari kamar mandi.

Dan disinilah aku sekarang, di dalam kamar mandi sambil menatap cemas kearah benda berwarna putih berbentuk memanjang yang menampakkan garis dua berwarna merah. Dadaku berdebar kencang, kakiku gemetar. Apa yang harus kulakukan sekarang. Melihat kebaikan keluarga Damar serta kebaikan Damar, membuatkan tidak berani untuk membohongi mereka.

Aku meraih smartphone yang ada dalam tasku, segera ku hubungi Zayden, ayah dari anak ini. Dia harus tahu apa yang terjadi padaku, mungkin papa akan memarahiku, tapi setidaknya itu lebih baik daripada aku harus membohongi Damar dan keluarganya.

"Zay, kita harus bertemu sekarang," ucapku begitu sambungan telepon terhubung.

"Aku sibuk!" jawabnya dari ujung telpon.

"Tapi ini penting, kamu ada dimana? aku akan mendatangimu," sahutku cepet.

"Baiklah, aku akan share lokasi," sahutnya.

Tak lama setelah dia mematikan telepon, Zayden mengirimkan pesan yang berisi lokasi dimana dia berada saat ini. Sepertinya dia berada di sebuah restoran, baguslah kami bisa bicara disana.

Segera kupacu kendaraanku dengan kecepatan sedang. Aku ingin segera bertemu dengannya, tapi tidak juga harus mengebut untuk sampai kesana. Perlu waktu cukup lama hingga akhirnya aku sampai dimana tempat Zayden berada.

Aku menghubungi Zayden kembali untuk memberitahu jika aku sudah sampai, dia menyuruhku untuk langsung masuk saja. Bergegas aku masuk ke dalam restoran seperti yang dia katakan, mataku memindai mencari dirinya. Nampak pria itu duduk sambil melambaikan tangannya padaku. Segera ku hampiri pria itu dan duduk tepat di kursi yang ada di hadapannya.

"Kenapa ingin bertemu denganku? kangen?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengeluarkan benda panjang dengan garis dua tergambar jelas di benda itu, kemudian menyodorkan padanya.

"Apa ini? kamu hamil, lalu pamer padaku? seharusnya kamu memberikannya pada suamimu bukan padaku," ucapnya sinis.

"Bagaimana bisa aku memberikan kepadanya jika aku dan dia baru menikah satu minggu!" ucapku tertahan.

"Lalu? kamu mau apa dengan memperlihatkan ini padaku?" tanya Zayden.

"Itu anakmu, kamu harus bertanggung jawab."

Laki-laki itu tertawa dengan keras mendengar perkataanku, entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Amelia sayang, dulu kamu yang datang kepadaku dan menyerahkan diri. Bukan aku yang memaksamu, bahkan saat aku bertanya kepadamu bagaimana jika kamu hamil, kau jawab itu akan menjadi urusanmu karena suamimu itu yang akan menjadi ayahnya. Lalu sekarang apa, kamu minta aku bertanggungjawab? kamu sedang melucu?"

"Aku tidak bisa membohongi laki-laki sebaik dia, juga tidak bisa membohongi keluarganya. Aku akan jujur padanya, memintanya menceraikanku dan kita akan bicara berdua pada papa. Pasti papa akan memaafkan kita," ucapku dengan nada menggebu.

"Oh, jadi kamu berubah pikiran? tapi aku tidak bisa menerima bekas orang lain," ucap Zayden datar.

"Apa maksudmu?" aku bertanya dengan nada tinggi.

"Kalian sudah menikah satu minggu, tidak mungkin kan jika laki-laki itu tidak menikmati tubuhmu. Dan aku tidak mau bekas orang lain."

Perkataannya sungguh menyakiti hatiku, dia bilang dia tidak suka bekas orang lain. Padahal dialah yang membuatku menjadi barang bekas, dia yang lebih dulu mengambilnya kesucianku. Ini memang salahku, aku yang salah telah mendatanginya dulu dan sekarang pun aku salah telah mendatanginya.

Aku meremas tanganku untuk menahan amarah dalam diriku, ingin rasanya aku menyiramkan air yang ada di hadapanku ke wajahnya. Orang yang aku cintai, yang kuberikan milik berhargaku padanya, tega sekali merendahkan diriku. Meksipun dia mengakui aku hamil karenanya tapi dia tidak mau menerimaku karena dia pikir aku sudah tidur dengan suamiku.

"Aku belum pernah tidur dengannya!" pekikku dalam hati.

"Pembicaraan kita sudah cukup, dan jangan menemuiku lagi. Kamu bilang anak itu akan menjadi anak suamimu, anggap saja dia kenang-kenangan dariku!" ucapnya sambil tersenyum.

Senyum yang dulu kukagumi sekarang terlihat menjijikkan dimataku, kenang-kenangan katanya? jika bisa aku ingin membuangnya sekarang juga. Aku diam sambil menahan gemuruh di dalam dada. Tanpa kata, aku bangkit dari tempat itu, aku bertekad akan membuang anak ini.

Satu langkah aku meninggalkan tempat dudukku datang wanita cantik menghampiri tempat dimana Zayden duduk.

"Itu siapa sayang, kenapa dia seperti marah padamu?" tanya wanita itu.

Dia pasti menanyakan tentang diriku, aku memelankan langkah sesaat. Dia memanggil Zayden sayang, apa dia kekasih barunya?

"Biasa, pengagumku yang aku tolak dan dia marah. Kamu tahu sendiri kan banyak wanita yang menyukaiku," jawab Zayden.

Kupingku panas mendengarnya, aku berbalik dan langsung meraih minum yang ada di depannya kemudian menyiramkan begitu saja ke wajahnya. Bisa-bisa dia mengatakan hal itu, aku benar-benar memmbencinya dan membenci diriku sendiri.

Zayden dan wanita itu nampak syok dengan perbuatanku, aku langsung berbalik pergi meninggalkan tempat itu. Aku tidak menangis untuk laki-laki itu, tidak ada air mata untuknya. Hanya ada amarah yang membara di dalam hatiku. Yang akan aku lampiaskan kepada janin dalam perutku ini.

🍁🍁🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status