Share

Maafkan Aku, Damar

Pintu kamar dibuka dari arah luar, segera aku masukkan kembali benda tajam itu ke dalam laci meja riasku. Pasti itu Damar sudah pulang kembali dari mencari air kelapa.

Segera kuhapus air mataku, meskipun tidak yakin akan menghilang jejak tangisanku disana. Aku menatap sekilas ke arah pintu, namun kemudian menunduk tidak berani menatap kearah laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu.

"Ini minumlah ... Apa masih terasa sakit kepalanya?" tanyanya sambil menyodorkan gelas besar berisi air kelapa padaku.

Aku menerimanya tanpa mengangkat kepalaku. Kugenggam gelas itu tanpa berniat untuk meminumnya.

"Hei, ada apa?" tanya Damar.

Laki-laki itu memegang daguku yang terus saja menunduk dan mengangkat wajahku, membuatku terpaksa menatap kearahnya.

"Kamu menangis? apa masih sakit, ayo kita ke dokter saja!" ucapnya dengan nada panik.

Kutatap laki-laki di hadapanku ini, rambut dan bajunya sedikit basah. Mungkin dia kehujanan tadi, dadaku semakin sesak melihat pemandangan di hadapanku. Rasa bersalah menghujam hingga dasar hatiku. Air mataku menetes perlahan tak bisa kubendung lagi.

Kenapa laki-laki sebaik dia bisa menikah denganku, hal baik apa yang di lakukan oleh kedua orang tuaku hingga aku mendapat suami yang perhatian. Aku tahu mama dan papa benar-benar menjagaku dengan baik, hingga akhirnya aku melakukan hubungan terlarang dengan Zayden dan menghanguskan segala usaha kedua orang tuaku. Satu kesalahan yang aku buat itu menjadikan segalanya berubah, apa lagi ada kehidupan baru dalam perutku hasil dari perbuatan itu.

"Kamu kenapa? apa yang terjadi?" tanya Damar.

"Aku minta maaf," ucapku dengan bibir bergetar.

Hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Aku ingin menceritakan semua kepadanya, jujur dengan apa yang sudah aku lakukan dan saat ini yang terjadi kepadaku. Aku ingin bercerita, tapi mulutku terasa terkunci. Hanya air mata yang terus saja mengalir deras di pipiku.

Damar meraih kembali gelas dalam genggamanku dan meletakkannya di atas meja rias. Kemudian meraih tanganku dan membimbingku ke tempat tidur. Laki-laki itu duduk di sini ranjang dan menyuruhku untuk duduk juga di sampingnya.

"Katakan apa yang terjadi, kenapa kamu meminta maaf, untuk kesalahan apa?" tanya Damar.

"Maafkan aku, Damar ...." bisikku pelan.

"Iya aku akan memaafkanmu, Minta maaf untuk apa?" tanyanya lagi.

"Aku bukan wanita baik-baik, aku tidak pantas untuk menjadi istrimu. Bagaimana aku bisa menolak untuk melayanimu, bahkan aku membentakmu saat malam pertama kita bersama," bibirku berkata sambil terisak-isak.

Rasa sesak dalam dadaku kian terasa saat aku mengingat segalanya. Bagaimana aku melakukan dosa dengan berhubung badan dengan Zayden, bagaimana aku berniat untuk menjadikannya ayah dari anak hasil perbuatanku itu, dan kini saat aku benar-benar hamil aku tak bisa melakukannya. Aku tidak bisa membohongi pria sebaik dirinya.

"Hanya karena itu, kamu menangis?" tanya Damar dengan entengnya. "Aku tidak masalah saat kamu membentakku, aku juga tidak masalah kamu belum mau melayaniku, aku akan menunggumu membuka hatimu, aku akan selalu berbuat baik padamu hingga kamu akan luluh dan menerimaku. Mungkin seperti sekarang ini, lanjutnya berkata.

"Bukan hanya itu saja Damar, aku ... Aku ...."

"Sudahlah jangan menangis lagi, aku tidak masalah dengan semuanya," ucapnya sambil merengkuhku dalam pelukannya.

Dia tidak tahu apa yang hendak kukatakan tapi sudah bilang tidak masalah dengan semuanya. Aku menangis dalam pelukannya, badanku berguncang, kurasakan tangannya mengelus punggungku seakan memberikan ketenangan. Aku memeluknya dengan erat, menumpahkan segala beban dosa yang menghimpit dadaku.

Entah berapa lama aku menangis dalam dekapannya, hanya ada isakkan dariku, laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu hanya memelukku dalam diam. Menenangkan diriku tanpa kata. Hujan diluar masih terdengar lebat, air tercurah dari langit seolah menemaniku yang sedang meratapi kebodohanku.

Setelah lama menangis, akhirnya tangisku mereda seiring berkurangnya rasa sesak di dadaku. Aku menarik diri dari dekapan Damar, mendongak kepala dan menatap kearahnya. Pandangan kami bertemu, laki-laki dihadapkanku itu tetap terdiam tanpa kata. Tangannya terulur dan membersihkan jejak-jejak air mata yang ada di pipiku. Dan entah siapa yang memulai, tanpa sadar bibir kamipun bertemu, menyatu dan saling ingin memuaskan.

Malam itu kami menyatukan diri, diiringi suara hujan di luar sana yang membuat suasana semakin berbeda. Aku merasa bersalah kembali, bagiamana aku melakukan hubungan ini saat ada janin lain dalam perutku yang bukan milik suamiku. Apakah dosaku semakin berlipat-lipat Tuhan?

Tadinya aku ingin menolaknya tapi kali ini aku tidak kuasa, aku tidak bisa membuatnya kecewa, setelah membuatnya berhasrat kepadaku. Lagi-lagi sudut mataku berair, saat suamiku menyelesaikan hajatnya dan membisikkan kata terimakasih dan mencium keningku. Aku merasa sangat di hargai dan di cintai, hal yang tak pantas di terima perempuan sehina diriku.

"Maafkan aku, Damar ...." bisikku sebelum akhirnya terlelap tidur pulas dalam pelukannya.

***

Aku terbangun karena perutku bagian bawahku terasa sangat sakit. Apa ini reaksi dari jamu dan nanas yang aku makan, tapi bukankah semuanya keluar karena aku muntah, ditambah lagi aku meminum susu.

Ku tatap jam mungil di dinding kamarku, ternyata baru tengah malam berarti aku belum lama tertidur.

"Aakkkh ...."Refleks aku berteriak saat tiba-tiba perutku terasa sakit kembali.

Damar terbangun mendengar teriakkanku.

"Ada apa? apa kamu kesakitan lagi?" tanya Damar khawatir.

Aku menganggukkan kepala sambil memegangi perutku.

"Ayo kita kedokteran, kamu perlu mendapatkan pertolongan dari dokter. Aku tidak mau terjadi apa-apa padamu."

Damar berkata dengan panik, laki-laki itu bergegas memakai bajunya. Mengambil pakaian ganti untukku di dalam lemari dan membantuku memakainya.

"Tidak usah kedokteran, aku tidak apa-apa nanti juga sembuh sendiri," tolakku.

Bagaimana bisa dia membawaku kedokteran, jika kami kesana pasti aku akan ketahuan jika saat ini sedang hamil. Aku belum siap menghadapinya, aku takut Damar akan marah dan meninggalkanku. Aku mulai menyukai laki-laki itu, tidak bisakah aku egois dan ingin menyembunyikan kesalahanku darinya.

"Bagaimana tidak ke dokter? kamu terlihat pucat. Jangan membantah lagi!" ucapnya.

Tangannya terus sibuk membantuku berganti pakaian. Setelah itu membopongku dalam gendongannya dan dengan tergesa berjalan keluar kamar.

"Mas ... Jangan bawa aku ke dokter," pintaku memohon.

Aku sengaja memanggil dengan sebutan mas berharap agar dia menuruti keinginanku dan membawaku masuk ke kamar lagi. Tapi ternyata dugaanku salah. Dia malah menatapku dan mengeratkan dekapannya, lalu dengan tergesa menuruni tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah.

Aku pasrah, mungkin hari ini adalah akhir dari segalanya. Aku akan di campakkan oleh suamiku di saat aku mulai mencintainya.

🍁🍁🍁

Komen (5)
goodnovel comment avatar
LAILI YANI
keren dan lanjutkan
goodnovel comment avatar
Yan Sudi Ana
mantap lanjutkan
goodnovel comment avatar
Danny Ramdani
lanjutkan mah..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status