Share

Hamil

Aku tersedak kaget mendengar pertanyaan yang tidak aku duga dihari pertama pernikahan kami.

Mertuaku langsung menepuk punggungku pelan-pelan.

"Maaf jika pertanyaan ibu mengganggu dan membuatmu terkejut," ucapnya sambil terus menepuk punggungku.

"Dia baru lulus kuliah Bu, masa sudah suruh jadi ibu saja. Sabarlah sedikit," ucap Damar menyela perkataan ibunya.

"Betul juga, dia perlu banyak mengenalmu," ucap mertuaku yang ditujukan pada suamiku, Damar.

"Kamu harus banyak bersabar yaa nak, Damar ini anaknya agak kaku kalau dengan wanita. Dia terbiasa bergaul dengan ayam-ayam dan telur jadi tidak punya waktu dengan wanita. Beruntung papamu memberikan anak gadisnya padanya,"

Ucapan mertuaku itu sontak membuat orang-orang yang ada di meja kami tertawa berderai. Ekor mataku melirik ke arah sosok yang dibicarakan, dia hanya menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

Orang tua Damar memang memiliki usaha peternakan ayam petelur yang dirintis oleh kakek damar. Kata papa, usahanya itulah yang membuatnya menjadi orang sukses dan terkaya di kampungnya. Lalu usaha itu di teruskan oleh ayah Damar, dan sekarang suamiku itu pun membantu untuk terus mengembangkan usaha tersebut.

"Titip Damar ya nak, urus dia baik-baik," ucap mertuaku lagi.

Aku hanya menjawab ucapan itu dengan anggukan. Sepertinya semua orang menyayangi suamiku itu, dan akupun mendapatkan hal yang sama dari mereka.

"Damar, kamu harus menyayangimu istrimu dan menghargainya. Dia adalah anak kesayangan teman bapak, dan sudah seperti anak bapak juga."

Kali ini ayah Damar yang berpesan kepada anak laki-lakinya. Bahkan ayahnya Damar menganggapku seperti anak perempuannya. Sampai disini, hatiku mulai di hantui rasa bersalah.

Selesai sarapan, semua orang kembali ke kamarnya. Mereka bilang akan bersiap-siaplah untuk check out kemudian pulang ke kampung halaman. Sedangkan aku dan suamiku juga kembali ke kamar dan akan bersiap juga untuk pergi ke rumah papa setelah check out dari hotel ini.

***

Sudah hampir minggu sudah pernikahanku dengan Damar berlalu, dan selama itu juga Damar benar-benar tidak pernah menyentuhku sama sekali. Dia memenuhi janjinya yang bilang tidak akan memaksa kehendaknya padaku.

Sebelum pergi ke kampung halamannya untuk acara ngunduh mantu aku berniat untuk bertemu dan berkumpul dengan teman-temanku. Sejak menikah, aku belum berkumpul dan nongkrong lagi dengan mereka.

Aku memiliki tiga teman saat di kampus, kami begitu akrab dan sering berkumpul bersama. Dari semuanya, akulah yang menikah terlebih dahulu. Tentu saja, aku menikah begitu lulus kuliah. Sedangkan teman-temanku masih sibuk mencari pekerjaan.

Kami berempat janjian bertemu di sebuah cafe, setelah mendapatkan ijin dari suamiku aku segera bergegas menuju tempat kami berencana bertemu. Sedangkan Damar seperti biasanya akan sibuk bekerja. Dia bilang sedang menyiapkan sebuah tempat untuk menyimpan hasil dari peternakannya yang akan di salurkan ke customer-costomernya di kota ini. Baik yang membeli dalam partai besar maupun eceran.

Entahlah, bagaimana sistem jual beli telur itu aku tidak begitu peduli dengan hal itu. Aku tidak berniat tahu bagaimana suamiku bekerja, jualan? sungguh pekerjaan yang tidak bergengsi. Meskipun kenyataannya dia hanya mengawasi, tapi ... Ah sudahlah. Impianku memiliki suami pengusaha berdasi kandas sudah, yang kumiliki adalah pengusaha telur ayam!

Rumah mewah, mobil banyak, tapi penampilan biasa-biasa saja. Tiap hari yang dia pakai kemeja dan celana bahan, kadang hanya kaos. Tapi sih, tapi itu di luar ekspektasi sosok suamiku dulu.

Setelah menembus padatnya jalanan, akhirnya mobil yang kutumpangi sampai juga di tempat tujuan. Setelah memarkirkan kendaraan, aku segera masuk ke dalam dan mencari keberadaan teman-temanku yang sejak tadi mereka memberitahu jika sudah sampai. Hanya aku yang belum sampai.

Mataku memindai tempat tersebut, dari sudut ruangan tampak ketiga temanku sudah duduk dengan santai. Alesha, salah satu temanku melambaikan tangannya padaku. Bergegas kudatangi tempat dimana mereka berada.

"Ciee pengantin baru datang terlambat, nagapain aja dulu sama suaminya?" goda Rivani. Dia memang paling rese diantara kami.

"Apaan sih Van, aku kena macet di jalan," ucapku.

"Udah cepetan duduk dan pesan makanan, kami sudah memesan tadi," sela Ziva menengahi kami.

Akupun segera duduk dan memesan makanan, lalu terjadilah percakapan diantara kami tanpa perlu siapa yang memulai. Seperti kebanyakan cewek-cewek yang berkumpul pada umumnya, selalu ada saja yang menjadi bahan pembicaraan.

"Gimana rasanya menikah?" tanya Alesha.

"Biasa saja," sahutku singkat.

"Ih gitu amat jawabnya," Alesha bersungut-sungut.

"Ya emang biasa aja Alesha, yaa gitu deh pokoknya," jawabku sambil tersenyum menatapnya.

Aku harus bicara apa, memberitahukan pernikahanku yang sebelumnya tidak aku inginkan itu.

"Mas Damar kan orang tampan, mapan, dan kelihatannya juga sabar, pasti hari-harinya Amel penuh kebahagiaan," sahut Rivani.

"Iyalah, aku juga mau menikah dengan laki-laki seperti mas Damar," timpal Ziva.

"Ambil sana kalau mau," ucapku acuh tak acuh.

"Dih ... awas yaa nanti kamu bakalan nangis bombay jika laki-laki sebaik suamimu itu di embat cewek lain," sahut Alesha. "Jangan nangis kalau beneran aku ambil tuh laki," lanjutnya.

"Darimana kamu tahu dia baik?" aku balik bertanya.

"Yaa dari penampilannya lah," jawab Alesha kukuh. "Kamu itu emang aneh, sukanya sama si Zay itu yang suka tebar pesona, mulut manis pada semua wanita," lanjutnya.

"Zay memang manis, tapi dia tidak tebar pesona!" ucapku membela mantan kekasihku. Mantan yang tak pernah ada kata putus diantara kami.

"Aduh Amel, matamu itu memang sudah di tutupi oleh cinta. Jadi tidak pernah peduli dengan Zay yang tebar pesona sana sini, kau anggap itu karena dia cowok yang supel." Ziva berkata sambil menepuk jidatku.

"Untung papamu segera menjodohkan dirimu dengan pria baik-baik," sahut Rivani.

Mereka terus saja memuji suamiku dan menjelekkan Zayden. Mereka bertiga memang begitu fokus kuliah dan tidak berniat pacaran katanya, hanya aku yang pacaran diam-diam. Ketiga temanku bukanlah berasal dari keluarga yang berkecukupan seperti diriku, mereka dari keluarga yang biasa-biasa dan mereka kuliah dengan sepenuh hatinya.

Meskipun mereka bukan orang yang berkecukupan, tapi aku malah nyaman berteman dengan mereka, dan kedua orangtuaku juga lebih suka aku berteman dengan mereka. Tidak neko-neko katanya, hanya sesekali nongkrong untuk melepas kepenatan. Saat aku pulang kemalaman selepas bertemu dengan Zayden di hotel malam itu, aku juga mengatakan jika pergi bersama mereka.

Pelayan datang membawa pesanan kami, membuat obrolan kami terhenti seketika. Semua pesanan sudah datang, aku memesan roti panggang, Ziva memesan chicken katsu, Rivani memesan dimsum, dan Alesha memesan klappertaart.

Aku menutup hidungku menahan mual saat Ziva yang berada tepat di sampingku menyendok makanannya. Entah kenapa aroma yang keluar dari olahan ayam itu membuatku ingin muntah.

"Kenapa kamu, Amel?" tanya Ziva.

"Aku mual mencium aroma makananmu itu," jawabku.

"Kenapa? gak ada yang aneh kok," sahut Ziva sambil mengendus makanannya.

Rivani juga Alesha pun melakukan hal yang sama, dan mereka kompak mengatakan jika tidak ada yang aneh dengan makanan itu.

"Jangan-jangan kamu hamil, Amel!" seru Ziva.

"Aku, hamil?" aku bertanya sambil menunjuk dadaku sendiri.

Entah kenapa tiba-tiba saja jantungku berpacu lebih cepat dari yang seharusnya mendengar kata hamil dari mulut Ziva.

🍁🍁🍁

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ratu Kalinyamat
yaahh amel hamil. gimna tuh dgn. suaminya klo tau bru nikah ko udh hamil
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status