Esok harinya, pelatihan berjalan seperti biasa. Yang membedakan hanyalah Prabu yang absen dua hari karena mendapatkan sanksi dari kampus. Sehingga, yang mengisi materi hanyalah Pak Nofal saja. Sebelum pelatihan berakhir, Pak Nofal memberi tahu kepada peserta di ruangan 3E mengenai kehadiran Prabu yang direncanakan besok sudah bisa kembali mengajar. Semua peserta di ruangan tersebut langsung berkeluh kesah karena merasa tidak damai. Rasanya seperti akan maju ke medan tempur lagi setelah suasana damai. Salah satu peserta protes dan meminta untuk Pak Nofal saja yang mengajar karena selama absennya Prabu, pelatihan berjalan lancar. Namun, Pak Nofal tidak bisa menolak karena sudah termasuk SOP proyeknya. Update mengenai kehadiran Prabu akan dikabari nanti malam melalui chat grup. Akhirnya Nadeo dan Pak Nofal menutup kegiatan. “Aduh, besok Pak Prabu datang.” keluh Nafis “Harus beli minyak kayu putih lagi nih. Belum apa-apa malah sudah pusing lagi.” Bu Zeva kemudian mengeluarkan minyak puti
Memang benar apa kata orang. Jangan pernah sekalipun mengharapkan ekspektasi yang terlalu tinggi, karena ujung-ujungnya kalau tidak sesuai sakit juga, terlebih dengan manusia semacam Prabu Bagaskara. Inilah yang dirasakan kelompok tiga saat ini. Rasanya, harapan kami untuk acc masih panjang. Layaknya mahasiswa yang sudah capek-capek ngetik sampai bela-belain lembur dan begadang, harapan untuk acc masih belum direstui oleh semesta. Entah apa yang ada di kepala Prabu yang mengharuskan kami merevisi lagi. Setelah seharian kemarin tidak ada kabar bahkan membalas pesan dari Pak Emil pun tak digubris. Tiba-tiba esoknya grup chat kelompok tiga terdapat pesan dari Pak Emil. Ternyata saat malam hari, Prabu sempat membalas chat Pak Emil, namun beliau baru membukanya hari ini. Pak Emil Kelompok 3 Malam Pak Emil. Maaf, saya baru membalas. Silahkan besok kumpul di ruang kelas 3E pukul tujuh beserta print outnya. E-mail yang bapak kirim kemarin belum saya lihat. Terima kasih. (Balasan dari Pak Pr
Kelompok tiga dari kelas 3E kembali ke rutinitas semula, yaitu bimbingan. Tepat di depan ruangan Prabu kami berkumpul lagi. Kenapa? Revisi! Lelah? Pasti! Setiap pagi kami absen hadir terlebih dahulu dibandingkan penghuni yang lain, terkecuali Satpam dan office boy. Anggap saja, lagi nostaligia bimbingan skripsi. Tak lama, Prabu datang dan mempersilahkan kami masuk ke ruangan. Aku yang akan masuk, diberhentikan oleh Pak Emil. Aku dan yang lainnya menoleh satu sama lain. “Bu Eka, anda sakit?” tanya Pak Emil yang khawatir karena aku terlihat pucat. Aku menggelengkan kepala yang artinya baik-baik saja. “Haduh, pasti kamu lelah. Ayo kita semua temani Bu Eka. Cuzzz ….” perintah Pak Emil. Bu Zeva dan Nafis menyanggupi dan memasuki ruangan Prabu. Setelah Prabu menarik kursi duduknya, aku menyodorkan kertas yang sudah ia print lagi. Kertas yang disobek oleh Prabu malam kemarin, tidak ia tunjukkan. Prabu merasa tak enak hati padanya karena sudah sarkas kepadanya. Karena egonya yang terlalu
Prabu kembali ke rutinitas semula. Kali ini, ia ke kampus membawa motor kesayangannya. Saat memasuki ruangan dosen, ia dicegat oleh Alvaro dan Denias yang sudah menunggu di ruangannya. “Good morning Prabu,” sapa Denias. “Kenapa lo berdua?” tanya Prabu keheranan dengan tingkah kedua rekan kerjanya itu. “We need to talk, seriously, now!” ajak Alvaro dengan ekspresi seriusnya. Prabu mengenduskan napas, kemudian memasuki ruangannya dan duduk di kursi kerjanya sambil menyalakan komputernya. Pagi-pagi sudah mengajak berbicara serius. “Right now,I can’t ….” tolak Prabu dengan manjanya. “No, no … ini menyangkut perdamaian dan hubungan TRIO PAD di masa depan.” ucap Denias. Prabu memejamkan mata sambil menyenderkan kepala di kedua tanggannya. Karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal pribadi di kampus. Ia mengatakan akan terlihat tidak etis di antara civitas akademik dan dianggap tidak bekerja secara professional. “Tonight at Sky Lounge, 10 pm, how?” balas Prabu. “Ha
Prabu tengah sibuk menuliskan sesuatu di kertas. Tak lama, ia meletakkan pulpennya. Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis langsung mengambil napas secara bersamaan. Bersiap-siap untuk menerima perintah dari Prabu. “Apakah ini sudah maksimal tidak bisa diubah lagi?” tanya Prabu. “Sudah tidak bisa Pak,” jawab Pak Emil dengan senyum pemaksaannya. Demi disahkan oleh Prabu. Prabu kemudian mengusap dahinya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya, ia sudah capek menghadapi beberapa peserta yang selalu mendapat revisi darinya, tapi dia menuntut kesempurnaan. Belum lagi urusan dengan mahasiswanya yang minta bimbingan tugasnya. “Oke tidak mengapa. Ini sudah jauh lebih baik. Sebelum saya sahkan, mohon untuk meningkatkan lagi warnanya. Ini masih terlalu pucat, dan juga beberapa font tolong dilihat proporsinya ya. Kita lanjutkan besok lagi. Siang ini saya harus pergi karena ada acara keluarga.” Prabu menyerahkan kembali hasil pekerjaan mereka. Pak Emil kemudian mengangguk. Saat mereka berbalik da
Prabu kembali ke rutinitasnya yaitu berangkat mengajar di kampus. Semalam, ia terpaksa harus menginap di rumah karena mendapatkan ancaman dari Kakeknya jika ketahuan kabur. Terlebih, anak buahnya menjaga rumah tersebut dengan ketat. Sampai tak ada celah untuknya kabur. Setelah memakai kemeja kerja dengan rapi, ia menuju ke meja makan. Sesuai kebiasaan keluarga Bagaskara, sebelum berangkat wajib berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Di sana, sudah ada Pak Andra dan Bu Kirana yang tak lain adalah ayah dan ibu Prabu. Tak lupa Prince dan kakeknya. Prabu mengganggu Prince yang tengah lahap makan sereal. Sontak membuat Prince marah. “Kak Prabu!” rajuk Prince kepada kakak tertuanya. “WLEEEE,” goda Prabu sambil menjulurkan lidahnya. “Mom, itu tuh Kak Prabu,” protes manja Prince kepada Bu Kirana yang kemudian mengomeli Prabu yang jahil kepadanya. “Dimana nenek?” tanya Prabu kepada yang hadir di ruang makan. Semua hanya terdiam. Tak lama, Nenek yang berada di kursi roda datang
Aku berlari tanpa arah sampai akhirnya membawaku berada di sebuah terminal dan menemukan ruko yang sepi. Segera Aku mengangkat telepon dari Reza. “Halo mbak, gimana ini? Mbah sama Ibu ribut lagi mbak?” keluh Reza. Kemudian nenek merebut handphone darinya. “Eka, Ibumu kurang ajar!” tuduh Neneknya dengan nada tinggi. “Ada apa lagi nek?” tanyaku dengan nada pasrah. “Biasa, masalah ibumu pinjam uang ke pamanmu senilai seratus juta. Ini pamanmu menagih uangnya, gak bisa bayar pula! Ini semua salah ibumu, mbah yakin ibumu menggelapkan uang buat nyenengin simpanannya!” “Nek, Eka mohon sabar dulu.” Kataku menenangkan nenek yang emosi. Terdengar sayup kecil suara Ibunya yang menangis. “Aku gak salah bu, saya dijebak oleh teman kerjaku dulu.” “Bohong kamu! Andaikan kamu gak cerai, gak jadi runyam masalahnya. Kamu tuh apa? Udah janda, gak dapat hasil apa-apa dari perceraianmu. Kamu tuh tak sekolahin pintar-pintar kenapa jadi kaya gini?” bentak nenek kepada Ibuku. “Nenek gak tahu lagi cara
Prabu membawaku ke sebuah danau yang tak jauh dari Bloom Café. Kemudian di danau tersebut, ada sebuah taman. Prabu yang ngeh melihat ada penjual es krim kemudian pergi untuk membelikan es krim agar aku bisa tenang. Sebelum pergi, ia menyampaikan agar duduk di taman terlebih dahulu. Aku duduk dan memandangi pantulan bulan sabit di danau tersebut sambil mendengarkan lantunan adzan Isya. Tak lama, handphonen ku hidupkan karena sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Layar terbuka dan melihat banyak panggilan masuk seperti dari Nafis, Bu Zeva dan Pak Emil. Tiba-tiba ada sebuah notifikasi pesan dari mbah kakung. Mbah Kakung Nduk, sibuk tidak? Mbah mau berbicara. Aku kemudian membaca situasi dan berdiri mencari tempat yang sepi agar bisa leluasa. Langkah berhenti di sebuah bangunan kamar mandi yang sepi. Di balik bangunan, aku mengangkat panggilan dari Kakek. Tangisan tumpah ruah ku keluarkan. “Mbah kakung, aku harus gimana? Aku sudah gak kuat,” keluhku kepada Kakek. Seketika kakek