Aku berlari tanpa arah sampai akhirnya membawaku berada di sebuah terminal dan menemukan ruko yang sepi. Segera Aku mengangkat telepon dari Reza. “Halo mbak, gimana ini? Mbah sama Ibu ribut lagi mbak?” keluh Reza. Kemudian nenek merebut handphone darinya. “Eka, Ibumu kurang ajar!” tuduh Neneknya dengan nada tinggi. “Ada apa lagi nek?” tanyaku dengan nada pasrah. “Biasa, masalah ibumu pinjam uang ke pamanmu senilai seratus juta. Ini pamanmu menagih uangnya, gak bisa bayar pula! Ini semua salah ibumu, mbah yakin ibumu menggelapkan uang buat nyenengin simpanannya!” “Nek, Eka mohon sabar dulu.” Kataku menenangkan nenek yang emosi. Terdengar sayup kecil suara Ibunya yang menangis. “Aku gak salah bu, saya dijebak oleh teman kerjaku dulu.” “Bohong kamu! Andaikan kamu gak cerai, gak jadi runyam masalahnya. Kamu tuh apa? Udah janda, gak dapat hasil apa-apa dari perceraianmu. Kamu tuh tak sekolahin pintar-pintar kenapa jadi kaya gini?” bentak nenek kepada Ibuku. “Nenek gak tahu lagi cara
Prabu membawaku ke sebuah danau yang tak jauh dari Bloom Café. Kemudian di danau tersebut, ada sebuah taman. Prabu yang ngeh melihat ada penjual es krim kemudian pergi untuk membelikan es krim agar aku bisa tenang. Sebelum pergi, ia menyampaikan agar duduk di taman terlebih dahulu. Aku duduk dan memandangi pantulan bulan sabit di danau tersebut sambil mendengarkan lantunan adzan Isya. Tak lama, handphonen ku hidupkan karena sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Layar terbuka dan melihat banyak panggilan masuk seperti dari Nafis, Bu Zeva dan Pak Emil. Tiba-tiba ada sebuah notifikasi pesan dari mbah kakung. Mbah Kakung Nduk, sibuk tidak? Mbah mau berbicara. Aku kemudian membaca situasi dan berdiri mencari tempat yang sepi agar bisa leluasa. Langkah berhenti di sebuah bangunan kamar mandi yang sepi. Di balik bangunan, aku mengangkat panggilan dari Kakek. Tangisan tumpah ruah ku keluarkan. “Mbah kakung, aku harus gimana? Aku sudah gak kuat,” keluhku kepada Kakek. Seketika kakek
Tak terasa, pengerjaan proyek sudah memasuki akhir minggu ke-tiga. Artinya, masih menyisakan waktu seminggu lagi untuk menyelesaikan proyek nasional. Pagi buta ini sudah hadir Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis di kampus Pandawa. Penyebabnya, karena kemarin mereka absen bimbingan dan sama sekali belum memperbaiki revisiannya karena mengurus diriku yang sedang sakit. Jadi memanfaatkan waktu sepagi mungkin agar hari ini bisa selesai bimbingan, syukur-syukur bisa disahkan. Tak lama, Aku pun menyusul mereka. Bukannya disambut dengan gembira, malah memberi nuansa menginterogasi. “Bu Eka, kenapa kemarin gak kasih kabar kalau pulang duluan?” cerca Bu Zeva karena kemarin ia khawatir. Mereka bertiga menatapku dengan serius karena menghilang tiba-tiba dan meminta penjelasan. Mulailah aku menelan ludah. “Ceritakan kronologisnya.” tukas Pak Emil sekaligus memperbaiki posisi kacamatanya. “Iya, kemarin saya sehabis dari apotek beli madu. Kemudian tiba-tiba teringat cucian saya. Dan saya itu bawa baju se
Sore harinya, Pak Andra membawa Prabu ke kantin rumah sakit. Ia mengawali pembicaraan dengan menayakan perihal alasan sebenarnya Prabu menolak wanita yang dijodohkannya kemarin.“Bukankah berulang kali aku bilang. Dari awal mereka semua sama. Tujuannya denganku hanya demi kenikmatan duniawi saja Papa,” jawab Prabu. “Tapi ini sudah melalui proses seleksi yang ketat. Bahkan kakekmu ikut andil mencarikan,” ungkap sang ayah yang membauat Prabu menghela napas panjang.“Pa, didunia ini wanita itu matre semua. Banyak sekali keinginannya. Mereka itu tidak bisa membedakan mana keinginan mana kebutuhan. Mereka lebih condong banyak inginnya. Aku jamin, pernikahan seperti itu tidak akan bertahan lama.” “Prab, kita sudah sering membahas hal ini. Nenekmu hanya ingin kamu menikah. Sudah itu saja,” desak Pak Andra. “Aku bisa wujudkan apapun asal jangan ada syarat menikah Pah,” keluh Prabu. “Apakah kamu masih masih terbayangi Ninda?” pertanyaan Pak Andra membuat Prabu terdiam.Saat Prabu akan menja
Pernahkah kalian melihat dahsyatnya ombak air laut yang menerjang tebing? Nah, itulah yang sedang dirasakan lambungku saat ini karena asam lambungnya bergejolak. Belum lagi kecepatan Prabu mengendarai mobilnya yang membuat hembusan angin jadi kencang, bahkan ikut andil mendorong mobilnya. Aku beberapa kali berteriak sampai-sampai bisa latihan vokal nada tinggi. Mungkin, bisa mencapai nada G5. Akhirnya, Prabu berhenti di sebuah toko bunga langganannya. Ia masih dengan gaya santainya, berbeda denganku yang jilbabnya sedikit berantakan karena terpaan angin bonus kejedot di dasbor mobil Prabu. Ia kemudian turun dan memintaku untuk menunggunya. Setelah beberapa saat, Prabu kembali masuk sembari membawa buket bunga mawar merah segar dan menyerahkan kepadaku layaknya ia anggap seperti kursi duduk. Buket seberat setengah kilo itu mampu menutupi separuh badanku. Bahkan, kursi duduknya saja ketutupan dengan buket tersebut. “Gak sekalian saja Pak, masukin karangan bunganya!” cibirku ke Prabu. “
Matahari menempati posisinya agak lebih rendah. Beberapa jam lagi akan mendekati sore. Aku masih saja asik mengobrol dengan Nyonya Mirna sampai tidak ingat waktu harus menyelesaikan misi kelompok. “Bagaimana Nyonya Mirna, apakah nanti anda tertarik untuk mendaki bersama?” ajakku menghibur. “Boleh, itu ide yang bagus, kabarkan saja kepadaku nanti ya.” Balasnya dengan senyum sumringahnya. “Oh iya, kamu ini pacarnya Prabu?” tanya Nyonya Mirna yang spontan membuatku kaget. Mataku melirik ke arah Prabu. Dirinya hanya melengos. “Bu-bubu-bukan Nyonya, saya hanya peserta pelatihan proyek. Dan saya berada dalam tim yang dimentori Pak Prabu,” kataku menjawab. Namun, tak disangka setelah dijawab, ekspresi kekecewaan tergambar dari muka Nyonya Mirna. “Yah, aku harap hubungan kalian lebih dekat lagi. Jadi, kamu bisa sering-sering ke sini buat jenguk nenek. Kalau bisa jadi istri, nenek mau cucu mantu seperti kamu,” ungkap Nyonya Mirna yang membuat mataku dan Prabu terbelalak. “Hem, maksud Nyon
Pak Emil dan anggota timnya bersiap untuk menemui Pak Nofal. Mereka kemudian menunggu di ruang seminar, karena Pak Nofal ditempatkan di sana yang khusus untuk pegawai Dinas Pendidikan. Tak lama, pintu terbuka. Pak Nofal memanggil Pak Emil untuk segera masuk. Sampai akhirnya mereka keluar dengan rasa bahagia, karena lembar pengesahan sudah tertanda tangani oleh Prabu dan Pak Nofal. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Mereka kemudian menuju ke Balairung Hastinapura untuk menyerahkan hasil dan lembar pengesahannya sebagai syarat mengambil sertifikat serta undangan acara penutupan Proyek Modul Nasional yang akan dilaksanakan pada hari sabtu besok. Mereka pun merayakan dengan selfie bersama sambil menunjukkan sertifikatnya. “Alhamdulillah, selesai juga hari ini. Lega rasanya gak ada drama revisi lagi,” ucap syukur Pak Emil “Iya, rasanya kaya habis siding skripsi terus acc habis itu tinggal nunggu wisuda,” imbuh Bu Zeva. “Bagaimana, kita habis ini jalan-jalan?” usul Pak Emil. “Jangan da
Prabu menyeretku keluar layaknya ia menarik koper di Bandara dan hampir telat penerbangan. Aku mengerung sakit tapi Prabu tak mengindahkannya. Sampai akhirnya Aku mulai memberontak. “Lepasin, Sakit!” racauku yang kemudian dengan sekuat tenaga melepaskan cengkraman dari Prabu. Prabu yang ngeh hanya terdiam. “Eh, malah diam. Gak bilang minta maaf lagi,” imbuhku. Tapi, percuma juga. Prabu tak menggubrisnya. Batinku bergejolak dengan amarah karena sikap Prabu yang gengsian untuk mengatakan satu kata empat huruf “Maaf”. Tapi, kemudian terdasar dengan janji yang dibuat Prabu semena-mena kepada Nyoya Mirna. “Pak, kenapa tadi berbohong kepada nenek? Kan yang beli buah Bapak, kenapa kok jadinya bisa saya yang bawa?” cecarku kepada Prabu. “Sudahlah, ikuti saja perintahku.” Jawab singkat Prabu. Kemudian Aku teringat sesuatu. “Ah, iya. Pak, kenapa Bapak buat janji seenaknya sih. Kenapa Bapak gak bilang kalau mau buat janji dengan Nyonya Mirna lagi? Kan saya dua hari nanti ada acara jalan-jala