"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
"Apa? Kamu mau minta dihubungkan dengan wifi milikku?" tanya Mbak Sindi sambil melotot. "Iya, Mbak. Kali ini saja karena penting," jawabku seraya menyodorkan ponselku dengan harapan ia memberikan sandi wifi-nya. "Makanya pasang wifi sendiri, dong. Jangan nebeng mulu. Kamu pikir wifi ini tidak bayar apa? Lagi pula siapa, sih, yang mau kamu hubungi? Nggak penting amat." Mbak Sindi--istri Mas Gani itu melengos. Sudah beberapa hari ini aku di desa kelahiranku karena bapak sakit dan akhirnya kemarin meninggal . Aku ingin menghubungi salah seorang karyawan toko sekaligus orang kepercayaanku untuk bilang padanya kalau kami--aku dan Mas Ubay--suamiku belum bisa pulang. Sayangnya, di desa ini susah signal sehingga aku tidak bisa menghubungi orang yang kumaksud. Kebanyakan orang di sini sudah pasang wifi karena tidak bisa menggunakan paket data apa pun kartunya termasuk punyaku yang hanya E sehingga tidak bisa mengirim maupun membalas pesan. Di rumah ibu dan bapak juga tidak pasang wifi k
Suasana menjadi hening setelah mendengar ucapan Mas Ubay, tiba-tiba Mbak Sindi tertawa yang diikuti oleh yang lain. Hanya aku, Mas Karim, dan ibu yang tidak tertawa. Suasana di ruangan itu menjadi heboh dan aku hanya bisa geleng kepala melihatnya. "Ada apa ini? Kenapa kalian tertawa seperti ini?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Mas Danang menghentikan tawanya, lalu mendekatiku. "Asty, bilang ke suamimu ini kalau mau bicara atau memberi tanggapan itu dengarkan dulu baik-baik apa yang dikatakan sebelumnya, jangan baru saja muncul langsung ngomong aja. Memangnya dia tahu berapa total utang yang harus dibayarkan?" Aku menatap lekat suamiku yang terlambat ikut musyawarah ini. "Mas, kamu sudah dengar berapa utang yang harus kami bayarkan?"Suamiku yang merupakan satu-satunya menantu lelaki di rumah ini itu mengangguk. "Aku memang baru datang, Dek, karena tadi perutku mulas, tapi aku sudah dengar semuanya kalau utang biaya selamatan bapak sebesar_Ucapan Mas Ubay dipotong oleh Mas Gani. "
Kami bergegas masuk ke kamar yang penuh dengan kardus berisi sembako sumbangan dari para pelayat. "Lihat! Berasnya saja sebanyak ini. Mau buat apa coba kalau tidak dibagi rata?" tanya Mbak Sindi seraya menunjuk dua karung besar yang teronggok di sudut ruangan. Menurut perkiraanku beras itu lebih dari dua kwintal. "Belum lagi sembako yang lainnya," sahut Mbak Vita. Ia mulai membuka tali rafia pengikat kardus. Mbak Sindi mengikuti jejak Mbak Vita, pun Mbak Nurma dan aku. Para perempuan membuka satu per satu kardus dan mengeluarkan isinya lalu memisahnya, gula dengan gula, minyak dengan minyak, dan lainnya. Ibu ikut membuka salah satu kardus dan menurunkan isinya yang berupa minyak goreng, tepung terigu, dan mie kering. Wanita yang sudah melahirkan kami berempat itu mengangkat minyak goreng dan berkata. "Tadi ibu sudah bilang kalau musyawarahnya jangan sekarang karena sebenarnya urusan kita belum selesai, tetapi Sindi yang sudah mendesak ibu untuk melakukan musyawarah malam ini juga.
Tiba-tiba semua orang di ruangan itu kembali tertawa menggelegar. "Kamu lihat sendiri, kan, Bu, kalau menantumu yang paling kau sayang itu punya tingkat kehaluan yang luar biasa. Tadi ia bilang mau bayar utang selamatan bapak dan sekarang ia bilang ingin bicara dengan orang kepercayaannya di toko? Toko apa? Toko halu? Hahahaha." Mas Gani tertawa lebar. Bukan hanya Mas Gani yang tidak percaya jika kami punya toko. Bahkan Mbak Sindi maju beberapa langkah lalu tangannya terulur dan menyentuh kening suamiku. "Panas, pantas saja dari tadi bicaranya ngelantur." Aku melirik Mas Ubay yang raut wajahnya terlihat kesal, tetapi mau bagaimana lagi, mau dijelaskan panjang kali lebar juga tidak akan yang percaya dengan apa yang kami miliki. "Sudahlah, sini ponselnya biar kukasih sandi wifinya dan setelah ini kita akan tahu sebenarnya ia telepon siapa." Mas Gani mengambil ponsel dari tangan Mas Ubay lalu mengotak-atiknya sebentar dan setelah itu ia berikan lagi pada suamiku. "Ini sudah kusambun
"Alhamdulillah, berkat doa ibu, kami sudah punya toko sendiri dan besok Mas Ubay akan bertemu dengan seorang pemilik usaha keripik yang akan menjual produknya di toko kami," ucapku. Sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi dari ibu. Ibu membelai rambutku dan tersenyum. "Syukur Alhamdulillah kalau begitu, As. Ibu selalu berdo'a agar kamu selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Ibu senang kehidupan ekonomi tidak seburuk yang kakak kalian kira selama ini.""Ibu percaya kalau kami punya toko sendiri atau seperti yang lain yang menganggap kami hanya berkhayal saja?" tanya Mas Ubay. "Ibu percaya, Bay. Kalau ekonomi kalian tidak mapan, mana mungkin setiap bulan mengirim ibu uang. Maafkan ibu yang tidak pernah berkunjung ke rumah kamu, As. Bukannya tidak mau, tetapi kamu tahu sendiri bapak kamu, kan? Dia tidak mau diajak dan ibu juga tidak mungkin akan pergi seorang diri," ucap ibu. Sejak awal menikah hingga sekarang, bapak dan ibu belum pernah sekali pun berkunjung ke rumahku dengan alasan