Tiba-tiba semua orang di ruangan itu kembali tertawa menggelegar.
"Kamu lihat sendiri, kan, Bu, kalau menantumu yang paling kau sayang itu punya tingkat kehaluan yang luar biasa. Tadi ia bilang mau bayar utang selamatan bapak dan sekarang ia bilang ingin bicara dengan orang kepercayaannya di toko? Toko apa? Toko halu? Hahahaha." Mas Gani tertawa lebar.
Bukan hanya Mas Gani yang tidak percaya jika kami punya toko. Bahkan Mbak Sindi maju beberapa langkah lalu tangannya terulur dan menyentuh kening suamiku. "Panas, pantas saja dari tadi bicaranya ngelantur."
Aku melirik Mas Ubay yang raut wajahnya terlihat kesal, tetapi mau bagaimana lagi, mau dijelaskan panjang kali lebar juga tidak akan yang percaya dengan apa yang kami miliki.
"Sudahlah, sini ponselnya biar kukasih sandi wifinya dan setelah ini kita akan tahu sebenarnya ia telepon siapa." Mas Gani mengambil ponsel dari tangan Mas Ubay lalu mengotak-atiknya sebentar dan setelah itu ia berikan lagi pada suamiku.
"Ini sudah kusambungkan wifi-nya. Silahkan telepon Kevin si orang kepercayaan itu, hahaha." Mas Gani kembali tertawa lebar.
"Jangan lupa teleponnya di loudspeaker, ya, Bay, agar kita semua tahu kalau kamu memang menelepon Kevin," ucap Mbak Sindi sinis. Pasangan suami istri itu memang paling cocok untuk urusan menghina dan merendahkan orang lain.
Mas Ubay menerima ponselnya dan siap untuk menelepon Kevin, tetapi saat ponsel itu sudah siap, Tiba-tiba lampu padam dan ternyata mati listrik. Otomatis wifi juga ikut mati.
Ruang tamu itu menjadi gelap gulita dan hanya mengandalkan lampu ponsel yang dimiliki semua anggota keluarga di sini.
"Ambil lampu cash di kamar ibu, As. Pakai ponselmu untuk mencarinya," titah ibu padaku.
Aku mengangguk dan segera melakukan apa yang ibu perintah, tidak lama kemudian ruangan itu kembali terang.
"Yah, kenapa mesti mati lampu segala, sih?" Gerutu Mbak Vita.
"Itu sebagai pertanda kalau kita harus tidur awal. Kita pulang, yuk." Mbak Nurma berdiri sambil menggandeng lengan Mas Karim--suaminya.
"Nur, kita, kan, sudah janji akan tidur di rumah ibu setelah bapak tiada. Kamu lupa?" Mas Karim menahan tangan istrinya.
Mbak Nurma melotot. "Tentu aku tidak lupa, tetapi hanya sampai tujuh hari, kan? Lagi pula aku juga sudah merindukan kasurku yang empuk dan seprai yang wangi."
"Kalian pulang saja, masih ada anak ibu yang lain yang mau tidur menemani ibu," ucap ibu.
Ibu tersenyum dan mengusap tanganku dengan lembut.
"Tuh, kan, ibu saja sudah mengizinkan. Ayo kita pulang." Mbak Nurma menyeret tangan suaminya.
Akhirnya semuanya bubar dan hanya tinggal kami bertiga—aku, Mas Ubay, dan ibu— yang juga sudah siap untuk istirahat karena gelap.
"Maafkan atas sikap kakaknya Asty, ya, Bay. Mereka memang sombong dan keras kepala," ucap Ibu.
"Enggak apa-apa, Bu. Kami sudah biasa dihina seperti ini," jawabku.
Saat ini kami sudah berada di dalam kamar dan tidur bertiga. Kami tidur di ranjang yang sama dan aku berada di tengah di antara Mas Ubay dan ibu.
"Alhamdulillah," seru kami serempak saat tiba-tiba lampu kembali menyala.
"Aku telepon Kevin dulu, ya, Bu." Mas Ubay turun dari ranjang dan bergegas keluar untuk mencari signal karena tadi wifi sudah tersambung, otomatis saat listrik menyala, wifi juga masih oke, semoga Mas Gani belum mengganti sandinya lagi.
Mas Ubay ke ruang tamu agar jaringan bisa masuk karena ruangan itu dekat dengan rumah Mas Gani yang punya wifi. Ya, Mas Gani dan Mas Danang masih tinggal di desa yang sama dengan ibu sedangkan aku dan Mas Karim berada di luar desa, tetapi Mas Danang masih salam satu kecamatan sedangkan aku di luar propinsi.
"Bagaimana, Mas? Apakah berhasil menghubungi Kevin?" Aku bertanya setelah suamiku itu kembali ke kamar.
Mas Ubay semringah. "Iya, syukurlah Mas Gani belum ganti sandi lagi. Heran aku dengan kakakmu itu, Dek, minta disambungin wifi aja dari kemarin-kemarin nggak boleh."
Mas Ubay meletakkan benda pipih nan canggih itu di atas meja lalu kembali berbaring di sampingku.
"Malam ini libur dulu, ya, As," ucap Ibu sambil menarik selimutnya hingga sebatas dada.
"Apanya yang libur, Bu?" tanyaku dengan dahi mengernyit.
"Minta jatah sama suamimu itu, tetapi jika memang sudah pingin banget, ya, bisa nanti saat ibu sudah tidur." Ibu mengedipkan mata menggodaku.
"Ish, apa-apaan, sih, ibu ini? Aku jadi malu, kan, jadinya." Pipinya menghangat, mungkin sudah menjadi merah seperti tomat.
"Kenapa harus malu? Itu adalah salah satu kebutuhan juga, bahkan dapat memperkuat ikatan cinta kalian berdua. Lagi pula melakukan itu juga ibadah, kan? Hm?" Ibu kembali mengedipkan mata.
"Ish, Ibu." Aku membelai pipinya yang sudah mulai tampak ada garis halus itu.
"Sudahlah ngaku saja kalau sebenarnya kamu sudah kangen, kan? Ah, ibu juga pernah muda, As." Wanita yang sudah melahirkanku itu mencubit hidungku dengan lembut.
"Aku tahu, Bu, tetapi untuk saat ini aku sedang ingin tidur dalam pelukan ibu." Aku melingkarkan tangan di tubuh ibu.
"Ubay, pinjam Asty dulu, ya. Kamu bisa meluk guling ini untuk sementara waktu." Ibu tersenyum lalu mengulurkan guling berwarna cokelat pada Mas Ubay.
"Ibu bisa saja kalau menggoda anak mantu." Mas Ubay nyengir.
"Jangan lupa berdo'a sebelum tidur, As." Ibu memejamkan mata, tetapi kemudian tidak jadi tidur. "Oh, ya, As, tadi Ubay bilang mau menelepon Kevin, apa benar itu orang kepercayaan seperti yang kalian katakan? Apa benar kalian ini punya toko?"
Aku dan Mas Ubay saling berpandangan lalu ia berkedip sebagai pertanda kalau kami harus jujur sekarang.
"Iya, Bu. Alhamdulillah." Aku tersenyum.
Selama ini kami tidak pernah berusaha menutupi apa yang kami miliki, tetapi tidak ada yang percaya. Mereka hanya menganggap bualan belaka dan kali ini sepertinya ibu percaya.
"Alhamdulillah, berkat doa ibu, kami sudah punya toko sendiri dan besok Mas Ubay akan bertemu dengan seorang pemilik usaha keripik yang akan menjual produknya di toko kami," ucapku. Sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi dari ibu. Ibu membelai rambutku dan tersenyum. "Syukur Alhamdulillah kalau begitu, As. Ibu selalu berdo'a agar kamu selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Ibu senang kehidupan ekonomi tidak seburuk yang kakak kalian kira selama ini.""Ibu percaya kalau kami punya toko sendiri atau seperti yang lain yang menganggap kami hanya berkhayal saja?" tanya Mas Ubay. "Ibu percaya, Bay. Kalau ekonomi kalian tidak mapan, mana mungkin setiap bulan mengirim ibu uang. Maafkan ibu yang tidak pernah berkunjung ke rumah kamu, As. Bukannya tidak mau, tetapi kamu tahu sendiri bapak kamu, kan? Dia tidak mau diajak dan ibu juga tidak mungkin akan pergi seorang diri," ucap ibu. Sejak awal menikah hingga sekarang, bapak dan ibu belum pernah sekali pun berkunjung ke rumahku dengan alasan
Matahari sudah mulai mengeluarkan cahaya keemasan. Hari belum terlalu siang, tetapi di rumah ibu ini sudah banyak orang. Setelah tujuh hari yang kukira sepi malah lebih ramai dari kemarin. Para ibu sibuk memasak di dapur dan para bapak serta pemuda membongkar tenda dan mengumpulkan meja kursi yang digunakan kemarin sampai acara tujuh hari. Acara ini memang seperti pesta pernikahan, bedanya hanya tidak ada acara hiburan dan tidak ada sound system. "Bu, daging sapinya masih kurang lagi." Seorang wanita setengah baya yang memakai celemek berwarna oranye datang menghadap ibu. Ibu yang sedang menata sembako yang akan dibagikan nanti menghentikan gerakan tangannya. "Oh, ya, suruh seseorang untuk beli. Orang yang akan diberi berkat sudah ada daftarnya, kan? Minta sama Sindi. Jangan sampai ada yang terlewat, ya.""Baik.Uangnya mana, Bu?" Wanita yang rambutnya diikat asal itu mengulurkan tangannya pada ibu. Ibu berdiri dan berjalan menuju kamar, tidak lama kemudian ia sudah keluar lagi de
Beberapa orang yang lewat ikut membantu kami. Syukurlah kami tidak apa-apa karena Mas Karim mengemudikan motornya pelan. Hanya makanan yang tumpah dan tidak terselamatkan. Kami menatap nanar makanan yang sudah tumpah dan kotor itu. Lelaki bertubuh tinggi itu mengambil makanan itu dan memang sudah tidak ada yang bisa dimakan karena sudah bercampur tanah. "Kita buang saja." Mas Karim mengambil makanan itu dan menepikan di tepi jalan. "Lalu bagaimana dengan orang-orang yang akan kita beri makanan ini?" tanyaku. "Kita pulang dan minta lagi, yuk." Mas Karim kembali men-starter motor dan memintaku untuk duduk di belakangnya. "Apakah kita akan bilang kalau makanan ini tumpah sebelum sampai tujuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bayangan omelan dari kakak ipar sudah menari-nari di pelupuk mata. "Tentu saja, As. Kalau kita nggak bilang, otomatis orang-orang ini tidak akan mendapat nasi berkat dan sudah pasti ibu yang akan terkena sasaran gunjingan orang. Kita pulang dan minta ganti."
"Utang di warung Bu Utami? Utang apa, Bu? Dan kapan? Kalau utang itu ibu yang ambil sebelum Bapak meninggal, jelas itu bukan tanggungan kami lagi. Itu tanggungan ibu sendiri, jangan bawa-bawa kami. Pokoknya kami hanya akan menanggung biaya mulai dari Bapak meninggal hingga hari ini!" kata Mbak Sindi dengan nada tinggi. Mbak Sindi ini hanya menantu di sini, tetapi gayanya ... "Iya, benar kata Mbak Sindi. Kalau memang utang itu diambil bukan untuk keperluan biaya selamatan bapak, jelas itu sudah beda jalur," sahut Vita—istrinya Mas Danang yang merupakan kakakku langsung. Ibu menatap kedua menantu perempuannya itu, lalu mengendikkan bahu. "Iya, Bu. Lagi pula ibu utang di sana buat apa? Bukankah uang pensiunan bapak itu cukup kalau hanya untuk kalian berdua, ya?" timpal Mas Gani. Ibu masih terdiam dan sesekali melirikku. Aku juga tidak habis pikir, ibu utang di warung Bu Utami itu untuk apa? Benar kata Mas Gani kalau bapak punya uang pensiunan. Ya, dulu bapak adalah seorang guru ne
"Gani, seharusnya kalau hanya rokok, nggak usahlah diomongin di sini. Kamu, kan, bisa bayar sendiri?" sahut Mas Karim kesal. Mbak Sindi melotot," Ya nggak bisa gitu, Mas. Rokok itu untuk kepentingan selamatan juga. Apalagi ambilnya juga dua slop, sudah berapa duit itu?" "Ya udahlah, hitung saja semuanya. Nanti jadikan satu dengan utang utama yang sudah menjadi hampir 40 juta," jawab ibu. Mbak Sindi dan Mas Gani terlihat menghela napas bersamaan, mereka lega karena uang rokok tidak ditanggungnya sendiri seperti permintaan Mas Karim. "Kalau rokok itu juga masuk ke daftar utang yang harus kita tanggung bersama, aku juga mau lapor," sahut Mbak Vita semringah. Kami semua saling berpandangan. "Lapor apa lagi, Vit? Apakah kamu juga ikut utang di warung Bu Utami. Bilang saja, nanti akan kita bayar bersama," sahut ibu. "Jadi gini, tadi saat aku mengantar makanan ke luar desa, aku beli bensin dua liter dan itu pakai uangku sendiri, tetapi berhubung perjalanan ini dalam rangka kepentingan
Mbak Sindi menggebrak meja setelah Mas Karim membacakan berapa utang yang harus kami bayar. Ia merebut kertas yang dibawa Mas Karim. "Coba dihitung sekali lagi, Mas? Barangkali ada yang salah," sahut Mas Danang. Wajahnya terlihat sangat tegang. "Itu lihat saja sendiri." Mas Karim menunjuk kertas catatan yang sekarang ada di tangan Mbak Sindi dan segera diambil oleh Mas Danang untuk dilihat secara seksama. "Mas, apa benar harga daging sapi totalnya segini?" tanya Mas Nurma dengan dahi berkerut. Ia ikut membaca tulisan itu. "Daging sapi memang mahal, Mbak. Sekilo nya selalu di atas seratus ribu. Ya, aku tahu kamu pasti kaget saat melihat kenyataan bahwa daging sapi adalah pengeluaran yang paling banyak karena habis satu kwintal sampai kemarin. Wajar saja kalau lebih dari sepuluh juta hanya untuk beli daging sapi saja," ucap Mbak Sindi. "Maklum, lah, Mbak, kalau Mbak Nurma tidak tahu harga daging sapi karena memang tidak pernah beli, tidak seperti kita yang memang sudah biasa beli
Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya. Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang. Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya. "Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membaw
Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedan