Share

Empat

Auteur: Siti Aisyah
last update Dernière mise à jour: 2022-07-27 21:48:53

Tiba-tiba semua orang di ruangan itu kembali tertawa menggelegar. 

"Kamu lihat sendiri, kan, Bu, kalau menantumu yang paling kau sayang itu punya tingkat kehaluan yang luar biasa. Tadi ia bilang mau bayar utang selamatan bapak dan sekarang ia bilang ingin bicara dengan orang kepercayaannya di toko? Toko apa? Toko halu? Hahahaha." Mas Gani tertawa lebar. 

Bukan hanya Mas Gani yang tidak percaya jika kami punya toko. Bahkan Mbak Sindi maju beberapa langkah lalu tangannya terulur dan menyentuh kening suamiku. "Panas, pantas saja dari tadi bicaranya ngelantur." 

Aku melirik Mas Ubay yang raut wajahnya terlihat kesal, tetapi mau bagaimana lagi, mau dijelaskan panjang kali lebar juga tidak akan yang percaya dengan apa yang kami miliki. 

"Sudahlah, sini ponselnya biar kukasih sandi wifinya dan setelah ini kita akan tahu sebenarnya ia telepon siapa." Mas Gani mengambil ponsel dari tangan Mas Ubay lalu mengotak-atiknya sebentar dan setelah itu ia berikan lagi pada suamiku. 

"Ini sudah kusambungkan wifi-nya. Silahkan telepon Kevin si orang kepercayaan itu, hahaha." Mas Gani kembali tertawa lebar. 

"Jangan lupa teleponnya di loudspeaker, ya, Bay, agar kita semua tahu kalau kamu memang menelepon Kevin," ucap Mbak Sindi sinis. Pasangan suami istri itu memang paling cocok untuk urusan menghina dan merendahkan orang lain. 

Mas Ubay menerima ponselnya dan siap untuk menelepon Kevin, tetapi saat ponsel itu sudah siap, Tiba-tiba lampu padam dan ternyata mati listrik. Otomatis wifi juga ikut mati. 

Ruang tamu itu menjadi gelap gulita dan hanya mengandalkan lampu ponsel yang dimiliki semua anggota keluarga di sini. 

"Ambil lampu cash di kamar ibu, As. Pakai ponselmu untuk mencarinya," titah ibu padaku. 

Aku mengangguk dan segera melakukan apa yang ibu perintah, tidak lama kemudian ruangan itu kembali terang. 

"Yah, kenapa mesti mati lampu segala, sih?" Gerutu Mbak Vita. 

"Itu sebagai pertanda kalau kita harus tidur awal. Kita pulang, yuk." Mbak Nurma berdiri sambil menggandeng lengan Mas Karim--suaminya. 

"Nur, kita, kan, sudah janji akan tidur di rumah ibu setelah bapak tiada. Kamu lupa?" Mas Karim menahan tangan istrinya. 

Mbak Nurma melotot. "Tentu aku tidak lupa, tetapi hanya sampai tujuh hari, kan? Lagi pula aku juga sudah merindukan kasurku yang empuk dan seprai yang wangi." 

"Kalian pulang saja, masih ada anak ibu yang lain yang mau tidur menemani ibu," ucap ibu. 

Ibu tersenyum dan mengusap tanganku dengan lembut. 

"Tuh, kan, ibu saja sudah mengizinkan. Ayo kita pulang." Mbak Nurma menyeret tangan suaminya. 

Akhirnya semuanya bubar dan hanya tinggal kami bertiga—aku, Mas Ubay, dan ibu— yang juga sudah siap untuk istirahat karena gelap. 

"Maafkan atas sikap kakaknya Asty, ya, Bay. Mereka memang sombong dan keras kepala," ucap Ibu. 

"Enggak apa-apa, Bu. Kami sudah biasa dihina seperti ini," jawabku. 

Saat ini kami sudah berada di dalam kamar dan tidur bertiga. Kami tidur di ranjang yang sama dan aku berada di tengah di antara Mas Ubay dan ibu. 

"Alhamdulillah," seru kami serempak saat tiba-tiba lampu kembali menyala. 

"Aku telepon Kevin dulu, ya, Bu." Mas Ubay turun dari ranjang dan bergegas keluar untuk mencari signal karena tadi wifi sudah tersambung, otomatis saat listrik menyala, wifi juga masih oke, semoga Mas Gani belum mengganti sandinya lagi. 

Mas Ubay ke ruang tamu agar jaringan bisa masuk karena ruangan itu dekat dengan rumah Mas Gani yang punya wifi. Ya, Mas Gani dan Mas Danang masih tinggal di desa yang sama dengan ibu sedangkan aku dan Mas Karim berada di luar desa, tetapi Mas Danang masih salam satu kecamatan sedangkan aku di luar propinsi. 

"Bagaimana, Mas? Apakah berhasil menghubungi Kevin?" Aku bertanya setelah suamiku itu kembali ke kamar. 

Mas Ubay semringah. "Iya, syukurlah Mas Gani belum ganti sandi lagi. Heran aku dengan kakakmu itu, Dek, minta disambungin wifi aja dari kemarin-kemarin nggak boleh." 

Mas Ubay meletakkan benda pipih nan canggih itu di atas meja lalu kembali berbaring di sampingku. 

"Malam ini libur dulu, ya, As," ucap Ibu sambil menarik selimutnya hingga sebatas dada. 

"Apanya yang libur, Bu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. 

"Minta jatah sama suamimu itu, tetapi jika memang sudah pingin banget, ya, bisa nanti saat ibu sudah tidur." Ibu mengedipkan mata menggodaku. 

"Ish, apa-apaan, sih, ibu ini? Aku jadi malu, kan, jadinya." Pipinya menghangat, mungkin sudah menjadi merah seperti tomat. 

"Kenapa harus malu? Itu adalah salah satu kebutuhan juga, bahkan dapat memperkuat ikatan cinta kalian berdua. Lagi pula melakukan itu juga ibadah, kan? Hm?" Ibu kembali mengedipkan mata. 

"Ish, Ibu." Aku membelai pipinya yang sudah mulai tampak ada garis halus itu. 

"Sudahlah ngaku saja kalau sebenarnya kamu sudah kangen, kan? Ah, ibu juga pernah muda, As." Wanita yang sudah melahirkanku itu mencubit hidungku dengan lembut. 

"Aku tahu, Bu, tetapi untuk saat ini aku sedang ingin tidur dalam pelukan ibu." Aku melingkarkan tangan di tubuh ibu. 

"Ubay, pinjam Asty dulu, ya. Kamu bisa meluk guling ini untuk sementara waktu." Ibu tersenyum lalu mengulurkan guling berwarna cokelat pada Mas Ubay. 

"Ibu bisa saja kalau menggoda anak mantu." Mas Ubay nyengir. 

"Jangan lupa berdo'a sebelum tidur, As." Ibu memejamkan mata, tetapi kemudian tidak jadi tidur. "Oh, ya, As, tadi Ubay bilang mau menelepon Kevin, apa benar itu orang kepercayaan seperti yang kalian katakan? Apa benar kalian ini punya toko?" 

Aku dan Mas Ubay saling berpandangan lalu ia berkedip sebagai pertanda kalau kami harus jujur sekarang. 

"Iya, Bu. Alhamdulillah." Aku tersenyum. 

Selama ini kami tidak pernah berusaha menutupi apa yang kami miliki, tetapi tidak ada yang percaya. Mereka hanya menganggap bualan belaka dan kali ini sepertinya ibu percaya.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Elisabeth effendy
ceritanya biki. emosi mereka merendahkan seseorang bgt
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh

    "Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh sembilan

    "Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status