Share

Empat

Tiba-tiba semua orang di ruangan itu kembali tertawa menggelegar. 

"Kamu lihat sendiri, kan, Bu, kalau menantumu yang paling kau sayang itu punya tingkat kehaluan yang luar biasa. Tadi ia bilang mau bayar utang selamatan bapak dan sekarang ia bilang ingin bicara dengan orang kepercayaannya di toko? Toko apa? Toko halu? Hahahaha." Mas Gani tertawa lebar. 

Bukan hanya Mas Gani yang tidak percaya jika kami punya toko. Bahkan Mbak Sindi maju beberapa langkah lalu tangannya terulur dan menyentuh kening suamiku. "Panas, pantas saja dari tadi bicaranya ngelantur." 

Aku melirik Mas Ubay yang raut wajahnya terlihat kesal, tetapi mau bagaimana lagi, mau dijelaskan panjang kali lebar juga tidak akan yang percaya dengan apa yang kami miliki. 

"Sudahlah, sini ponselnya biar kukasih sandi wifinya dan setelah ini kita akan tahu sebenarnya ia telepon siapa." Mas Gani mengambil ponsel dari tangan Mas Ubay lalu mengotak-atiknya sebentar dan setelah itu ia berikan lagi pada suamiku. 

"Ini sudah kusambungkan wifi-nya. Silahkan telepon Kevin si orang kepercayaan itu, hahaha." Mas Gani kembali tertawa lebar. 

"Jangan lupa teleponnya di loudspeaker, ya, Bay, agar kita semua tahu kalau kamu memang menelepon Kevin," ucap Mbak Sindi sinis. Pasangan suami istri itu memang paling cocok untuk urusan menghina dan merendahkan orang lain. 

Mas Ubay menerima ponselnya dan siap untuk menelepon Kevin, tetapi saat ponsel itu sudah siap, Tiba-tiba lampu padam dan ternyata mati listrik. Otomatis wifi juga ikut mati. 

Ruang tamu itu menjadi gelap gulita dan hanya mengandalkan lampu ponsel yang dimiliki semua anggota keluarga di sini. 

"Ambil lampu cash di kamar ibu, As. Pakai ponselmu untuk mencarinya," titah ibu padaku. 

Aku mengangguk dan segera melakukan apa yang ibu perintah, tidak lama kemudian ruangan itu kembali terang. 

"Yah, kenapa mesti mati lampu segala, sih?" Gerutu Mbak Vita. 

"Itu sebagai pertanda kalau kita harus tidur awal. Kita pulang, yuk." Mbak Nurma berdiri sambil menggandeng lengan Mas Karim--suaminya. 

"Nur, kita, kan, sudah janji akan tidur di rumah ibu setelah bapak tiada. Kamu lupa?" Mas Karim menahan tangan istrinya. 

Mbak Nurma melotot. "Tentu aku tidak lupa, tetapi hanya sampai tujuh hari, kan? Lagi pula aku juga sudah merindukan kasurku yang empuk dan seprai yang wangi." 

"Kalian pulang saja, masih ada anak ibu yang lain yang mau tidur menemani ibu," ucap ibu. 

Ibu tersenyum dan mengusap tanganku dengan lembut. 

"Tuh, kan, ibu saja sudah mengizinkan. Ayo kita pulang." Mbak Nurma menyeret tangan suaminya. 

Akhirnya semuanya bubar dan hanya tinggal kami bertiga—aku, Mas Ubay, dan ibu— yang juga sudah siap untuk istirahat karena gelap. 

"Maafkan atas sikap kakaknya Asty, ya, Bay. Mereka memang sombong dan keras kepala," ucap Ibu. 

"Enggak apa-apa, Bu. Kami sudah biasa dihina seperti ini," jawabku. 

Saat ini kami sudah berada di dalam kamar dan tidur bertiga. Kami tidur di ranjang yang sama dan aku berada di tengah di antara Mas Ubay dan ibu. 

"Alhamdulillah," seru kami serempak saat tiba-tiba lampu kembali menyala. 

"Aku telepon Kevin dulu, ya, Bu." Mas Ubay turun dari ranjang dan bergegas keluar untuk mencari signal karena tadi wifi sudah tersambung, otomatis saat listrik menyala, wifi juga masih oke, semoga Mas Gani belum mengganti sandinya lagi. 

Mas Ubay ke ruang tamu agar jaringan bisa masuk karena ruangan itu dekat dengan rumah Mas Gani yang punya wifi. Ya, Mas Gani dan Mas Danang masih tinggal di desa yang sama dengan ibu sedangkan aku dan Mas Karim berada di luar desa, tetapi Mas Danang masih salam satu kecamatan sedangkan aku di luar propinsi. 

"Bagaimana, Mas? Apakah berhasil menghubungi Kevin?" Aku bertanya setelah suamiku itu kembali ke kamar. 

Mas Ubay semringah. "Iya, syukurlah Mas Gani belum ganti sandi lagi. Heran aku dengan kakakmu itu, Dek, minta disambungin wifi aja dari kemarin-kemarin nggak boleh." 

Mas Ubay meletakkan benda pipih nan canggih itu di atas meja lalu kembali berbaring di sampingku. 

"Malam ini libur dulu, ya, As," ucap Ibu sambil menarik selimutnya hingga sebatas dada. 

"Apanya yang libur, Bu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. 

"Minta jatah sama suamimu itu, tetapi jika memang sudah pingin banget, ya, bisa nanti saat ibu sudah tidur." Ibu mengedipkan mata menggodaku. 

"Ish, apa-apaan, sih, ibu ini? Aku jadi malu, kan, jadinya." Pipinya menghangat, mungkin sudah menjadi merah seperti tomat. 

"Kenapa harus malu? Itu adalah salah satu kebutuhan juga, bahkan dapat memperkuat ikatan cinta kalian berdua. Lagi pula melakukan itu juga ibadah, kan? Hm?" Ibu kembali mengedipkan mata. 

"Ish, Ibu." Aku membelai pipinya yang sudah mulai tampak ada garis halus itu. 

"Sudahlah ngaku saja kalau sebenarnya kamu sudah kangen, kan? Ah, ibu juga pernah muda, As." Wanita yang sudah melahirkanku itu mencubit hidungku dengan lembut. 

"Aku tahu, Bu, tetapi untuk saat ini aku sedang ingin tidur dalam pelukan ibu." Aku melingkarkan tangan di tubuh ibu. 

"Ubay, pinjam Asty dulu, ya. Kamu bisa meluk guling ini untuk sementara waktu." Ibu tersenyum lalu mengulurkan guling berwarna cokelat pada Mas Ubay. 

"Ibu bisa saja kalau menggoda anak mantu." Mas Ubay nyengir. 

"Jangan lupa berdo'a sebelum tidur, As." Ibu memejamkan mata, tetapi kemudian tidak jadi tidur. "Oh, ya, As, tadi Ubay bilang mau menelepon Kevin, apa benar itu orang kepercayaan seperti yang kalian katakan? Apa benar kalian ini punya toko?" 

Aku dan Mas Ubay saling berpandangan lalu ia berkedip sebagai pertanda kalau kami harus jujur sekarang. 

"Iya, Bu. Alhamdulillah." Aku tersenyum. 

Selama ini kami tidak pernah berusaha menutupi apa yang kami miliki, tetapi tidak ada yang percaya. Mereka hanya menganggap bualan belaka dan kali ini sepertinya ibu percaya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elisabeth effendy
ceritanya biki. emosi mereka merendahkan seseorang bgt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status