Share

Lima

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2022-07-27 22:32:02

"Alhamdulillah, berkat doa ibu, kami sudah punya toko sendiri dan besok Mas Ubay akan bertemu dengan seorang pemilik usaha keripik yang akan menjual produknya di toko kami," ucapku. Sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi dari ibu. 

Ibu membelai rambutku dan tersenyum. "Syukur Alhamdulillah kalau begitu, As. Ibu selalu berdo'a agar kamu selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Ibu senang kehidupan ekonomi tidak seburuk yang kakak kalian kira selama ini."

"Ibu percaya kalau kami punya toko sendiri atau seperti yang lain yang menganggap kami hanya berkhayal saja?" tanya Mas Ubay. 

"Ibu percaya, Bay. Kalau ekonomi kalian tidak mapan, mana mungkin setiap bulan mengirim ibu uang. Maafkan ibu yang tidak pernah berkunjung ke rumah kamu, As. Bukannya tidak mau, tetapi kamu tahu sendiri  bapak kamu, kan? Dia tidak mau diajak dan ibu juga tidak mungkin akan pergi seorang diri," ucap ibu. 

Sejak awal menikah hingga sekarang, bapak dan ibu belum pernah sekali pun berkunjung ke rumahku dengan alasan bapak mabuk kendaraan akut, bahkan bapak bisa sakit berhari-hari kalau terpaksa naik mobil. 

"Iya, Bu, enggak apa-apa." Aku tersenyum. 

Ibu berbalik dan menarik selimutnya, pun denganku yang juga sudah siap untuk memejamkan mata. 

Saat mata ini baru saja terlelap, ibu menyentuh pundakku. "As?" 

"Ya, ada apa lagi? Kenapa ibu belum tidur juga?" tanyaku dengan mata mengerjap dan menahan kantuk yang semakin mendera. 

"Toko yang kalian maksud itu apakah seperti miliknya Bu Utami yang ada perempatan jalan itu?"

Ya Allah ibu, ternyata beliau masih saja penasaran dengan toko kami. 

Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu, tetapi lebih besar milik kami sedikit. Jadi, boleh dikatakan toko kami seperti yang ada kecamatan itu, Bu." 

Dahi ibu berkerut, matanya menatap ke atas, sepertinya ia sedang mengingat sesuatu. 

"Kalau begitu, apakah toko yang kalian maksud itu yang bisa mengambil sendiri barang dibutuhkan pembeli dengan membawa keranjang itu lalu sudah ada petugas yang menghitung barang belanjaannya, begitu?" tanya ibu dengan mata berbinar. 

"Iya, Bu." Aku dan Mas Ubay menjawab serempak. 

"Enak kalau begitu, enggak seperti di tokonya Bu Utami yang harus menunggu lama saat belanja," 

"Memangnya kenapa, Bu?" 

"Di toko Bu Utami pembeli harus bilang mau beli apa, misalnya mau beli minyak terus penjualnya yang ambilin, mau beli gula pasir setengah kilo, penjualnya juga yang ambil. Lama, kan, jadinya. Ibu pernah belanja di sana mau beli telur sekilo aja lama banget karena nimbangnya lama apalagi sekarang Bu Utami sudah nggak cekatan lagi karena faktor usia. Ibu jadi malas belanja ke dia, tetapi ya, mau bagaimana lagi. Hanya toko itu yang harganya paling murah dibanding yang lain," papar ibu. 

"Mulai besok, ibu tidak perlu repot belanja lagi." Aku meraih tangan ibu dan memijitnya perlahan. 

"Kenapa?" 

"Aku berencana untuk memboyong Ibu untuk tinggal di kota bersama kami. Bukankah Ibu sekarang tinggal sendiri di sini. Iya, kan, Mas?" Aku menoleh pada Mas Ubay yang ada di samping kiriku, ternyata ia sudah tertidur pulas. 

"Kebiasaan kamu, Mas. Kalau udah ngantuk, nggak peduli yang lain berisik." Aku tersenyum. 

Ibu menyentuh pundakku. "Asty, Ibu tidak keberatan jika mau kamu ajak ke kota, tetapi kamu harus minta izin suamimu dulu." 

"Kami sudah sepakat untuk mengajak Ibu, kok."

"Sudahlah, itu dipikir besok. Lagi pula Ibu juga tidak akan pergi dari rumah ini. Sekarang kita tidur saja karena besok harus bangun pagi-pagi untuk masak besar lagi yang kemungkinan tidak selesai dalam satu hari," ucap ibu. 

Aku menarik selimut dan berbaring menghadap ibu. Wanita yang sangat kucintai itu sudah memejamkan mata, entah sudah benar-benar terlelap atau matanya saja yang tertutup. 

Dua orang yang ada di samping kanan dan kiriku ini adalah orang yang berharga dalam hidupku. Satu, suami dan yang satunya lagi ibu. 

Aku tersenyum saat melihat dinding, di sana terdapat fotoku yang masih memakai seragam abu-abu. Baru aku sadar kalau ibu sudah memindahkan foto itu dari kamarku yang sekarang menjadi tempat penyimpanan sembako sumbangan dari para pelayat. 

    

***

Azan Subuh berkumandang sebagai pertanda panggilan dari Sang Maha Kuasa kepada umatnya agar segera bangkit dari mimpi indah dan gegas menghadap pada–Nya.

Aku membuka mata dan kulihat ibu sudah tidak ada di sampingku. Tanganku terulur menyentuh pipi suamiku untuk membangunkannya. "Sudah pagi, Mas. Ayo, kita bangun." 

Usai menjalankan kewajiban sebagai muslim dan muslimah, kami bergegas ke dapur. Di sana sudah berkumpul anak dan menantu ibu serta para cucu untuk makan bersama. Ya, semenjak bapak meninggal, ibu meminta untuk tidak memasak di rumah masing-masing karena di sini ada banyak makanan yang melimpah. 

"Kita makan dulu, setelah ini kita bersiap  memasak lagi untuk dan diantar kepada para kerabat," ucap ibu. 

Wanita berkerudung instan itu mengambil nasi dan lauk ke dalam piring. 

"Bagaimana, Bay, apakah kamu jadi telepon Kevin--orang kepercayaan toko khayalanmu itu," tanya Mas Gani sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. 

Mas Ubay melirikku. 

"Ini pasti hanya akal-akalan dia saja agar bisa tinggal di sini lebih lama lagi karena di sini ada banyak makanan, iya, kan, Bay?" sahut Mbak Sindi sinis. 

"Semakin lama di sini itu artinya sewa mobilnya juga semakin mahal, dong," timpal Mbak Vita. 

Aku menghela napas perlahan, mereka masih saja menganggap kalau mobil putih yang terparkir di halaman itu mobil rental padahal aku sudah bilang kalau itu milik kami pribadi. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh

    "Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh sembilan

    "Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status