Share

Lima

"Alhamdulillah, berkat doa ibu, kami sudah punya toko sendiri dan besok Mas Ubay akan bertemu dengan seorang pemilik usaha keripik yang akan menjual produknya di toko kami," ucapku. Sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi dari ibu. 

Ibu membelai rambutku dan tersenyum. "Syukur Alhamdulillah kalau begitu, As. Ibu selalu berdo'a agar kamu selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Ibu senang kehidupan ekonomi tidak seburuk yang kakak kalian kira selama ini."

"Ibu percaya kalau kami punya toko sendiri atau seperti yang lain yang menganggap kami hanya berkhayal saja?" tanya Mas Ubay. 

"Ibu percaya, Bay. Kalau ekonomi kalian tidak mapan, mana mungkin setiap bulan mengirim ibu uang. Maafkan ibu yang tidak pernah berkunjung ke rumah kamu, As. Bukannya tidak mau, tetapi kamu tahu sendiri  bapak kamu, kan? Dia tidak mau diajak dan ibu juga tidak mungkin akan pergi seorang diri," ucap ibu. 

Sejak awal menikah hingga sekarang, bapak dan ibu belum pernah sekali pun berkunjung ke rumahku dengan alasan bapak mabuk kendaraan akut, bahkan bapak bisa sakit berhari-hari kalau terpaksa naik mobil. 

"Iya, Bu, enggak apa-apa." Aku tersenyum. 

Ibu berbalik dan menarik selimutnya, pun denganku yang juga sudah siap untuk memejamkan mata. 

Saat mata ini baru saja terlelap, ibu menyentuh pundakku. "As?" 

"Ya, ada apa lagi? Kenapa ibu belum tidur juga?" tanyaku dengan mata mengerjap dan menahan kantuk yang semakin mendera. 

"Toko yang kalian maksud itu apakah seperti miliknya Bu Utami yang ada perempatan jalan itu?"

Ya Allah ibu, ternyata beliau masih saja penasaran dengan toko kami. 

Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu, tetapi lebih besar milik kami sedikit. Jadi, boleh dikatakan toko kami seperti yang ada kecamatan itu, Bu." 

Dahi ibu berkerut, matanya menatap ke atas, sepertinya ia sedang mengingat sesuatu. 

"Kalau begitu, apakah toko yang kalian maksud itu yang bisa mengambil sendiri barang dibutuhkan pembeli dengan membawa keranjang itu lalu sudah ada petugas yang menghitung barang belanjaannya, begitu?" tanya ibu dengan mata berbinar. 

"Iya, Bu." Aku dan Mas Ubay menjawab serempak. 

"Enak kalau begitu, enggak seperti di tokonya Bu Utami yang harus menunggu lama saat belanja," 

"Memangnya kenapa, Bu?" 

"Di toko Bu Utami pembeli harus bilang mau beli apa, misalnya mau beli minyak terus penjualnya yang ambilin, mau beli gula pasir setengah kilo, penjualnya juga yang ambil. Lama, kan, jadinya. Ibu pernah belanja di sana mau beli telur sekilo aja lama banget karena nimbangnya lama apalagi sekarang Bu Utami sudah nggak cekatan lagi karena faktor usia. Ibu jadi malas belanja ke dia, tetapi ya, mau bagaimana lagi. Hanya toko itu yang harganya paling murah dibanding yang lain," papar ibu. 

"Mulai besok, ibu tidak perlu repot belanja lagi." Aku meraih tangan ibu dan memijitnya perlahan. 

"Kenapa?" 

"Aku berencana untuk memboyong Ibu untuk tinggal di kota bersama kami. Bukankah Ibu sekarang tinggal sendiri di sini. Iya, kan, Mas?" Aku menoleh pada Mas Ubay yang ada di samping kiriku, ternyata ia sudah tertidur pulas. 

"Kebiasaan kamu, Mas. Kalau udah ngantuk, nggak peduli yang lain berisik." Aku tersenyum. 

Ibu menyentuh pundakku. "Asty, Ibu tidak keberatan jika mau kamu ajak ke kota, tetapi kamu harus minta izin suamimu dulu." 

"Kami sudah sepakat untuk mengajak Ibu, kok."

"Sudahlah, itu dipikir besok. Lagi pula Ibu juga tidak akan pergi dari rumah ini. Sekarang kita tidur saja karena besok harus bangun pagi-pagi untuk masak besar lagi yang kemungkinan tidak selesai dalam satu hari," ucap ibu. 

Aku menarik selimut dan berbaring menghadap ibu. Wanita yang sangat kucintai itu sudah memejamkan mata, entah sudah benar-benar terlelap atau matanya saja yang tertutup. 

Dua orang yang ada di samping kanan dan kiriku ini adalah orang yang berharga dalam hidupku. Satu, suami dan yang satunya lagi ibu. 

Aku tersenyum saat melihat dinding, di sana terdapat fotoku yang masih memakai seragam abu-abu. Baru aku sadar kalau ibu sudah memindahkan foto itu dari kamarku yang sekarang menjadi tempat penyimpanan sembako sumbangan dari para pelayat. 

    

***

Azan Subuh berkumandang sebagai pertanda panggilan dari Sang Maha Kuasa kepada umatnya agar segera bangkit dari mimpi indah dan gegas menghadap pada–Nya.

Aku membuka mata dan kulihat ibu sudah tidak ada di sampingku. Tanganku terulur menyentuh pipi suamiku untuk membangunkannya. "Sudah pagi, Mas. Ayo, kita bangun." 

Usai menjalankan kewajiban sebagai muslim dan muslimah, kami bergegas ke dapur. Di sana sudah berkumpul anak dan menantu ibu serta para cucu untuk makan bersama. Ya, semenjak bapak meninggal, ibu meminta untuk tidak memasak di rumah masing-masing karena di sini ada banyak makanan yang melimpah. 

"Kita makan dulu, setelah ini kita bersiap  memasak lagi untuk dan diantar kepada para kerabat," ucap ibu. 

Wanita berkerudung instan itu mengambil nasi dan lauk ke dalam piring. 

"Bagaimana, Bay, apakah kamu jadi telepon Kevin--orang kepercayaan toko khayalanmu itu," tanya Mas Gani sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. 

Mas Ubay melirikku. 

"Ini pasti hanya akal-akalan dia saja agar bisa tinggal di sini lebih lama lagi karena di sini ada banyak makanan, iya, kan, Bay?" sahut Mbak Sindi sinis. 

"Semakin lama di sini itu artinya sewa mobilnya juga semakin mahal, dong," timpal Mbak Vita. 

Aku menghela napas perlahan, mereka masih saja menganggap kalau mobil putih yang terparkir di halaman itu mobil rental padahal aku sudah bilang kalau itu milik kami pribadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status