"Alhamdulillah, berkat doa ibu, kami sudah punya toko sendiri dan besok Mas Ubay akan bertemu dengan seorang pemilik usaha keripik yang akan menjual produknya di toko kami," ucapku. Sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi dari ibu.
Ibu membelai rambutku dan tersenyum. "Syukur Alhamdulillah kalau begitu, As. Ibu selalu berdo'a agar kamu selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Ibu senang kehidupan ekonomi tidak seburuk yang kakak kalian kira selama ini."
"Ibu percaya kalau kami punya toko sendiri atau seperti yang lain yang menganggap kami hanya berkhayal saja?" tanya Mas Ubay.
"Ibu percaya, Bay. Kalau ekonomi kalian tidak mapan, mana mungkin setiap bulan mengirim ibu uang. Maafkan ibu yang tidak pernah berkunjung ke rumah kamu, As. Bukannya tidak mau, tetapi kamu tahu sendiri bapak kamu, kan? Dia tidak mau diajak dan ibu juga tidak mungkin akan pergi seorang diri," ucap ibu.
Sejak awal menikah hingga sekarang, bapak dan ibu belum pernah sekali pun berkunjung ke rumahku dengan alasan bapak mabuk kendaraan akut, bahkan bapak bisa sakit berhari-hari kalau terpaksa naik mobil.
"Iya, Bu, enggak apa-apa." Aku tersenyum.
Ibu berbalik dan menarik selimutnya, pun denganku yang juga sudah siap untuk memejamkan mata.
Saat mata ini baru saja terlelap, ibu menyentuh pundakku. "As?"
"Ya, ada apa lagi? Kenapa ibu belum tidur juga?" tanyaku dengan mata mengerjap dan menahan kantuk yang semakin mendera.
"Toko yang kalian maksud itu apakah seperti miliknya Bu Utami yang ada perempatan jalan itu?"
Ya Allah ibu, ternyata beliau masih saja penasaran dengan toko kami.
Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu, tetapi lebih besar milik kami sedikit. Jadi, boleh dikatakan toko kami seperti yang ada kecamatan itu, Bu."
Dahi ibu berkerut, matanya menatap ke atas, sepertinya ia sedang mengingat sesuatu.
"Kalau begitu, apakah toko yang kalian maksud itu yang bisa mengambil sendiri barang dibutuhkan pembeli dengan membawa keranjang itu lalu sudah ada petugas yang menghitung barang belanjaannya, begitu?" tanya ibu dengan mata berbinar.
"Iya, Bu." Aku dan Mas Ubay menjawab serempak.
"Enak kalau begitu, enggak seperti di tokonya Bu Utami yang harus menunggu lama saat belanja,"
"Memangnya kenapa, Bu?"
"Di toko Bu Utami pembeli harus bilang mau beli apa, misalnya mau beli minyak terus penjualnya yang ambilin, mau beli gula pasir setengah kilo, penjualnya juga yang ambil. Lama, kan, jadinya. Ibu pernah belanja di sana mau beli telur sekilo aja lama banget karena nimbangnya lama apalagi sekarang Bu Utami sudah nggak cekatan lagi karena faktor usia. Ibu jadi malas belanja ke dia, tetapi ya, mau bagaimana lagi. Hanya toko itu yang harganya paling murah dibanding yang lain," papar ibu.
"Mulai besok, ibu tidak perlu repot belanja lagi." Aku meraih tangan ibu dan memijitnya perlahan.
"Kenapa?"
"Aku berencana untuk memboyong Ibu untuk tinggal di kota bersama kami. Bukankah Ibu sekarang tinggal sendiri di sini. Iya, kan, Mas?" Aku menoleh pada Mas Ubay yang ada di samping kiriku, ternyata ia sudah tertidur pulas.
"Kebiasaan kamu, Mas. Kalau udah ngantuk, nggak peduli yang lain berisik." Aku tersenyum.
Ibu menyentuh pundakku. "Asty, Ibu tidak keberatan jika mau kamu ajak ke kota, tetapi kamu harus minta izin suamimu dulu."
"Kami sudah sepakat untuk mengajak Ibu, kok."
"Sudahlah, itu dipikir besok. Lagi pula Ibu juga tidak akan pergi dari rumah ini. Sekarang kita tidur saja karena besok harus bangun pagi-pagi untuk masak besar lagi yang kemungkinan tidak selesai dalam satu hari," ucap ibu.
Aku menarik selimut dan berbaring menghadap ibu. Wanita yang sangat kucintai itu sudah memejamkan mata, entah sudah benar-benar terlelap atau matanya saja yang tertutup.
Dua orang yang ada di samping kanan dan kiriku ini adalah orang yang berharga dalam hidupku. Satu, suami dan yang satunya lagi ibu.
Aku tersenyum saat melihat dinding, di sana terdapat fotoku yang masih memakai seragam abu-abu. Baru aku sadar kalau ibu sudah memindahkan foto itu dari kamarku yang sekarang menjadi tempat penyimpanan sembako sumbangan dari para pelayat.
***Azan Subuh berkumandang sebagai pertanda panggilan dari Sang Maha Kuasa kepada umatnya agar segera bangkit dari mimpi indah dan gegas menghadap pada–Nya.
Aku membuka mata dan kulihat ibu sudah tidak ada di sampingku. Tanganku terulur menyentuh pipi suamiku untuk membangunkannya. "Sudah pagi, Mas. Ayo, kita bangun."
Usai menjalankan kewajiban sebagai muslim dan muslimah, kami bergegas ke dapur. Di sana sudah berkumpul anak dan menantu ibu serta para cucu untuk makan bersama. Ya, semenjak bapak meninggal, ibu meminta untuk tidak memasak di rumah masing-masing karena di sini ada banyak makanan yang melimpah.
"Kita makan dulu, setelah ini kita bersiap memasak lagi untuk dan diantar kepada para kerabat," ucap ibu.
Wanita berkerudung instan itu mengambil nasi dan lauk ke dalam piring.
"Bagaimana, Bay, apakah kamu jadi telepon Kevin--orang kepercayaan toko khayalanmu itu," tanya Mas Gani sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Mas Ubay melirikku.
"Ini pasti hanya akal-akalan dia saja agar bisa tinggal di sini lebih lama lagi karena di sini ada banyak makanan, iya, kan, Bay?" sahut Mbak Sindi sinis.
"Semakin lama di sini itu artinya sewa mobilnya juga semakin mahal, dong," timpal Mbak Vita.
Aku menghela napas perlahan, mereka masih saja menganggap kalau mobil putih yang terparkir di halaman itu mobil rental padahal aku sudah bilang kalau itu milik kami pribadi.
Matahari sudah mulai mengeluarkan cahaya keemasan. Hari belum terlalu siang, tetapi di rumah ibu ini sudah banyak orang. Setelah tujuh hari yang kukira sepi malah lebih ramai dari kemarin. Para ibu sibuk memasak di dapur dan para bapak serta pemuda membongkar tenda dan mengumpulkan meja kursi yang digunakan kemarin sampai acara tujuh hari. Acara ini memang seperti pesta pernikahan, bedanya hanya tidak ada acara hiburan dan tidak ada sound system. "Bu, daging sapinya masih kurang lagi." Seorang wanita setengah baya yang memakai celemek berwarna oranye datang menghadap ibu. Ibu yang sedang menata sembako yang akan dibagikan nanti menghentikan gerakan tangannya. "Oh, ya, suruh seseorang untuk beli. Orang yang akan diberi berkat sudah ada daftarnya, kan? Minta sama Sindi. Jangan sampai ada yang terlewat, ya.""Baik.Uangnya mana, Bu?" Wanita yang rambutnya diikat asal itu mengulurkan tangannya pada ibu. Ibu berdiri dan berjalan menuju kamar, tidak lama kemudian ia sudah keluar lagi de
Beberapa orang yang lewat ikut membantu kami. Syukurlah kami tidak apa-apa karena Mas Karim mengemudikan motornya pelan. Hanya makanan yang tumpah dan tidak terselamatkan. Kami menatap nanar makanan yang sudah tumpah dan kotor itu. Lelaki bertubuh tinggi itu mengambil makanan itu dan memang sudah tidak ada yang bisa dimakan karena sudah bercampur tanah. "Kita buang saja." Mas Karim mengambil makanan itu dan menepikan di tepi jalan. "Lalu bagaimana dengan orang-orang yang akan kita beri makanan ini?" tanyaku. "Kita pulang dan minta lagi, yuk." Mas Karim kembali men-starter motor dan memintaku untuk duduk di belakangnya. "Apakah kita akan bilang kalau makanan ini tumpah sebelum sampai tujuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bayangan omelan dari kakak ipar sudah menari-nari di pelupuk mata. "Tentu saja, As. Kalau kita nggak bilang, otomatis orang-orang ini tidak akan mendapat nasi berkat dan sudah pasti ibu yang akan terkena sasaran gunjingan orang. Kita pulang dan minta ganti."
"Utang di warung Bu Utami? Utang apa, Bu? Dan kapan? Kalau utang itu ibu yang ambil sebelum Bapak meninggal, jelas itu bukan tanggungan kami lagi. Itu tanggungan ibu sendiri, jangan bawa-bawa kami. Pokoknya kami hanya akan menanggung biaya mulai dari Bapak meninggal hingga hari ini!" kata Mbak Sindi dengan nada tinggi. Mbak Sindi ini hanya menantu di sini, tetapi gayanya ... "Iya, benar kata Mbak Sindi. Kalau memang utang itu diambil bukan untuk keperluan biaya selamatan bapak, jelas itu sudah beda jalur," sahut Vita—istrinya Mas Danang yang merupakan kakakku langsung. Ibu menatap kedua menantu perempuannya itu, lalu mengendikkan bahu. "Iya, Bu. Lagi pula ibu utang di sana buat apa? Bukankah uang pensiunan bapak itu cukup kalau hanya untuk kalian berdua, ya?" timpal Mas Gani. Ibu masih terdiam dan sesekali melirikku. Aku juga tidak habis pikir, ibu utang di warung Bu Utami itu untuk apa? Benar kata Mas Gani kalau bapak punya uang pensiunan. Ya, dulu bapak adalah seorang guru ne
"Gani, seharusnya kalau hanya rokok, nggak usahlah diomongin di sini. Kamu, kan, bisa bayar sendiri?" sahut Mas Karim kesal. Mbak Sindi melotot," Ya nggak bisa gitu, Mas. Rokok itu untuk kepentingan selamatan juga. Apalagi ambilnya juga dua slop, sudah berapa duit itu?" "Ya udahlah, hitung saja semuanya. Nanti jadikan satu dengan utang utama yang sudah menjadi hampir 40 juta," jawab ibu. Mbak Sindi dan Mas Gani terlihat menghela napas bersamaan, mereka lega karena uang rokok tidak ditanggungnya sendiri seperti permintaan Mas Karim. "Kalau rokok itu juga masuk ke daftar utang yang harus kita tanggung bersama, aku juga mau lapor," sahut Mbak Vita semringah. Kami semua saling berpandangan. "Lapor apa lagi, Vit? Apakah kamu juga ikut utang di warung Bu Utami. Bilang saja, nanti akan kita bayar bersama," sahut ibu. "Jadi gini, tadi saat aku mengantar makanan ke luar desa, aku beli bensin dua liter dan itu pakai uangku sendiri, tetapi berhubung perjalanan ini dalam rangka kepentingan
Mbak Sindi menggebrak meja setelah Mas Karim membacakan berapa utang yang harus kami bayar. Ia merebut kertas yang dibawa Mas Karim. "Coba dihitung sekali lagi, Mas? Barangkali ada yang salah," sahut Mas Danang. Wajahnya terlihat sangat tegang. "Itu lihat saja sendiri." Mas Karim menunjuk kertas catatan yang sekarang ada di tangan Mbak Sindi dan segera diambil oleh Mas Danang untuk dilihat secara seksama. "Mas, apa benar harga daging sapi totalnya segini?" tanya Mas Nurma dengan dahi berkerut. Ia ikut membaca tulisan itu. "Daging sapi memang mahal, Mbak. Sekilo nya selalu di atas seratus ribu. Ya, aku tahu kamu pasti kaget saat melihat kenyataan bahwa daging sapi adalah pengeluaran yang paling banyak karena habis satu kwintal sampai kemarin. Wajar saja kalau lebih dari sepuluh juta hanya untuk beli daging sapi saja," ucap Mbak Sindi. "Maklum, lah, Mbak, kalau Mbak Nurma tidak tahu harga daging sapi karena memang tidak pernah beli, tidak seperti kita yang memang sudah biasa beli
Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya. Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang. Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya. "Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membaw
Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedan
Awalnya aku kesal saat melihat wanita yang ada di hadapanku ini adalah orang yang sudah membuatku malas ke sekolah karena perbuatannya. Ingatanku kembali melayang di masa saat aku masih memakai seragam putih biru. "Asty, kenapa kamu belum bangun juga? Ini sudah siang, Nak." Ibu menarik selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku memejamkan mata dan memiringkan tubuh untuk membelakangi ibu, tetapi ibu menarik pundakku." Ini sudah siang, As. Waktunya berangkat sekolah, mentang-mentang sedang libur salat terus jam segini belum bangun?" Aku bangun dan mendongak menatap ibu," Bu, apa boleh aku pindah sekolah saja? Aku malas sekolah di sana lagi," Dahi ibu berkerut," Pindah? Asty, pindah sekolah itu tidak mudah, harus mengurus surat-surat dan tentunya harus menbayar di sekolah yang baru nanti. Sebaiknya kamu bertahan sekolah di sana saja, ya?" "Ta--tapi, Bu... " "Enggak ada tapi-tapian, kamu bisa pindah nanti setelah SMA." Ibu tersenyum seraya melangkahkan kakinya keluar. Aku menelan l