Kami bergegas masuk ke kamar yang penuh dengan kardus berisi sembako sumbangan dari para pelayat.
"Lihat! Berasnya saja sebanyak ini. Mau buat apa coba kalau tidak dibagi rata?" tanya Mbak Sindi seraya menunjuk dua karung besar yang teronggok di sudut ruangan. Menurut perkiraanku beras itu lebih dari dua kwintal.
"Belum lagi sembako yang lainnya," sahut Mbak Vita. Ia mulai membuka tali rafia pengikat kardus.
Mbak Sindi mengikuti jejak Mbak Vita, pun Mbak Nurma dan aku. Para perempuan membuka satu per satu kardus dan mengeluarkan isinya lalu memisahnya, gula dengan gula, minyak dengan minyak, dan lainnya.
Ibu ikut membuka salah satu kardus dan menurunkan isinya yang berupa minyak goreng, tepung terigu, dan mie kering. Wanita yang sudah melahirkan kami berempat itu mengangkat minyak goreng dan berkata. "Tadi ibu sudah bilang kalau musyawarahnya jangan sekarang karena sebenarnya urusan kita belum selesai, tetapi Sindi yang sudah mendesak ibu untuk melakukan musyawarah malam ini juga."
"Lho, kok aku?" tanya Mbak Sindi. Ia menghentikan gerakan tangannya yang sedang menurunkan gula pasir dari kardus dan menatap ibu.
"Memang kamu yang sudah mendesak ibu untuk melakukan musyawarah ini secepatnya, kan? Padahal ibu sudah bilang kalau seharusnya musyawarah itu dilakukan besok malam karena masih ada urusan yang harus kita selesaikan, salah satunya, ini," tukas ibu.
"Ini semua karena Asty yang sok penting itu." Mbak Sindi menunjukku.
"Aku?" Aku menunjuk dadaku sendiri.
"Ya, kamu bilang ingin pulang setelah tujuh hari bapak. Makanya aku meminta ibu untuk melakukan musyawarah malam ini juga agar kamu bisa mengikutinya. Kalau aku, sih, mau musyawarah kapan aja juga nggak masalah karena tidak akan pergi ke manapun." Mbak Sindi membela diri.
"Asty, apa benar kamu ingin pulang besok?" tanya ibu.
Wanita yang sudah melahirkanku itu menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata gula pasir lalu menatapku.
"Iya, Bu." Aku mengangguk.
"Tangguhkan lah dulu sampai dua hari lagi karena besok kita masih ada acara masak-masak," ucap ibu.
"Masak buat apa lagi, Bu? Bukankah acara tahlilan hanya sampai tujuh hari, ya?" tanyaku.
"Hadeh, kamu tidak paham dengan kebiasaan di desa ini, As. Jadi, setelah acara tujuh hari, kita akan memasak lagi untuk diantar kepada pada tamu yang sudah menyumbang sembako ini dan juga para tetangga yang sudah ikut rewang masak selama tujuh hari. Biasanya mereka akan dapat nasi beserta lauknya." Mbak Vita menjelaskan panjang lebar.
Aku mengangguk seolah paham dengan apa yang dikatakan sang kakak ipar padahal sebenarnya tidak. Ya, aku memang tidak paham dengan kebiasaan warga sini saat ada orang meninggal karena sudah lama aku tidak ke sini, apalagi sebelum menikah, aku juga jarang di rumah karena aku bekerja di kota.
Aku mengamati sembako yang kini sudah dipisah-pisah dan ternyata sangat banyak. Gula pasir ada satu karung besar, beberapa kardus minyak goreng kemasan, teh juga berpak-pak, tepung terigu satu karung, dan tumpukan mie kering yang sudah diikat dengan tali rafia.
"Em, tadi Mbak Vita bilang yang menyumbang sembako ini nanti dapat makanan, memangnya kita tahu siapa saja yang membawanya sedangkan yang membawanya cukup banyak?" tanyaku penasaran.
Ibu tersenyum padaku dan berkata, "Iya, As. Di hari pertama ada orang yang bertugas mencatat siapa saja yang membawa kardus agar jangan ada yang terlewat saat mengantar makanan nanti,"
"Benarkah?" tanyaku seolah tidak percaya karena di daerah suamiku tinggal tidak pernah seperti ini.
Ibu mengangguk.
"Ya, benar lah dan akulah petugas yang ibu maksud." Mbak Sindi mengedipkan mata seolah ia begitu bangga menjadi petugas pencatat itu.
"Makanya besok jangan buru-buru pulang agar tahu kebiasaan di desa kita ini." Ibu merangkul pundakku.
"Iya, Bu. Nanti aku bilang ke Mas Ubay agar jangan pulang dulu." Aku tersenyum.
Kami keluar kamar setelah selesai membongkar kardus sumbangan sembako itu dan kembali pada para lelaki yang masih berkumpul di ruang tamu. Ruangan itu kini sudah sudah dipenuhi asap rokok lalu aku membuka semua jendela agar ada pergantian udara.
"Mas." Aku kembali duduk di samping Mas Ubay.
"Ya." Suamiku itu menoleh.
"Sepertinya kita tidak bisa pulang besok karena ternyata belum selesai. Maaf, aku pikir setelah tujuh hari sudah selesai, ternyata belum," ucapku nyengir.
"Enggak apa-apa, Dek. Nanti aku bilang pada Kevin kalau kita mundur lagi pulangnya." Mas Ubay tersenyum.
Ia mulai mengotak-atik ponselnya, tetapi sesaat kemudian ia menghela napas perlahan. Aku tahu ia tidak akan bisa menghubungi kevin kali ini karena kendala jaringan."Mas, apa boleh aku minta sandi wifinya?" ucap Mas Ubay. Ia mengulurkan ponsel pada Mas Gani. Apa yang ia lakukan kali ini sama persis dengan yang aku lakukan beberapa hari yang lalu saat minta sandi wifi Mbak Sindi.
"Memangnya kamu mau menghubungi siapa, Bay? Sepertinya penting?" tanya Mas Gani.
"Aku mau menghubungi Kevin--karyawan di toko sekaligus orang kepercayaan. Aku cuma mau bilang agar ia mewakiliku untuk bertemu klien yang akan bekerja sama dengan toko kami karena aku nggak bisa pulang besok," jawab Mas Ubay serius.
"Toko? Orang kepercayaan? Bertemu klien? Maksudnya apa?" tanya Mas Danang dengan dahi berkerut.
Mas Ubay menatapku. Aku tepuk jidat, ia sudah keceplosan kalau kami punya toko.
Semua orang di ruangan itu saling berpandangan.
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.