"Dek Nisa, kamu yang sabar, ya," ucap Mas Wawan Kakak kandungku. Dia mengucapkan bela sungkawa untuk kedua kalinya. Pertama, saat musibah yang terjadi dan ke dua sekarang ini.
"Mas Wawan, mohon doanya, di sini posisiku sulit. Mbak Rini mulai menyindirku terus. Aku harus bagaimana, Mas?" Aku berkeluh kesah meminta dukungannya.
"Kamu harus bertahan demi anak-anakmu. Bagaimanapun rumah mereka di sana, kan. Jangan di ambil hati lah. Perempuan memang sering ngomong pedes. Sabar, ya," ucapnya menghiburku.
"Ya, Mas. Aku mengerti. Tetapi dia itu ngeyel, Mas."
"Dengar, ya. Rumah yang kamu tempati itu rumah Pak Sardi dan Bu Sayuti, Ridwan kan anak tunggal mereka walaupun anak angkat. Ya itu haknya kalian. Haknya Alif dan Dwi. Apalagi ada surat pengesahan dari pengadilan. Secara hukun, yang numpang itu malah si Rini itu! Diakan anak bawaaan Pak Sardi! Sedangkan rumah itu ada karena perkawinan kedua," jelasnya dengan berapi-api.
"Iya Mas. Aku tahu benar itu. Tetapi Mas, kemarin Mbak Rini ...."
"Sudahlah Nisa. Walaupun Ridwan sudah tidak ada, kamu dan kedua anakmu itu tanggung jawab keluarga suamimu. Iya, to? Mas akan bilang ke Simbok, kalau kamu baik-baik saja. Jangan sampai jantungnya kumat. Sek, ya. Mas Wawan berangkat kerja dulu, kalau telat gajiku dipotong. Bagaimana makannya anak-anak, ditambah Wiwin dan anaknya. Wes yo, yang sabar," ucapnya langsung menutup telponku.
Huuft ....Aku terduduk lemas disamping Dwi yang tertidur pulas. Dari pembicaraan Mas Wawan, aku tahu benar, dia menolakku untuk pulang ke rumah walaupun secara halus. Aku mengerti, bukan karena dia tidak mau, tetapi karena ketidakmampuannya yang memaksa bersikap seperti itu.
Aku pandangi wajah pulas putriku ini. Dalam tidurnya ada senyum tersirat di sana. Mungkin dia bermimpi indah bertemu dengan Mas Ridwan. Aku tundukkan wajahku mencium pipi gembulnya, menyusuri jejak ciuman Mas Ridwan.
***
"Bagaimana Nisa? Kamu jadi pulang ke kampungmu, kan?" tanya Mbak Rini mengulang pertanyaan yang sama seperti kemarin-kemarin.
"Mbak Rini ingin sekali kami pergi, ya?" tanyaku dengan suara bergetar menahan rasa kesal.
"Ya iya, lah. Coba kamu pikir. Kalau di sini, siapa yang akan memenuhi kebutuhanmu? Emak? Bapak? Mereka sudah tua. Apalagi ada aku di sini. Kamu tega melihat mereka harus kerja keras menghidupi kalian. Bisa jadi, satu persatu perabotan di rumah ini dijual untuk kasih makan kalian?" ucapnya dengan ketus.
"Mbak Rini, kita bisa kerja bersama. Membantu usaha Emak di pasar. Atau membuat usaha sendiri. Kita bisa bekerja sama," ucapku berusaha melunakkan hatinya.
"Ah, alasan! Kamu pinter, ya. Nanti kita kerja bareng, terus kamu suruh ini dan itu. Perintah sana sini, dan uangnya kami pegang! Iya, kan? Dasar licik! Dari dulu aku dipinteri saja. Aku tidak mau! Pokoknya kalian harus pergi!"
"Mbak Rini, dengar penjelasan saya."
"Enggak! Aku tidak mau kamu manfaatkan. Nanti aku akan kamu singkirkan. Terus Hasan akan terlantar. Huuh, tidak akan!"
"Mbak ...!"
"Tidak!"
Brak!
Dia menutup pintu dengan keras sampai-sampai Dwi terbangun dari tidurnya dan menangis.***[Mas Wawan apa kabar]
Aku baca pesan yang kemarin aku kirim lewat ponsel kepada Mas Wawan. Belum ada balasan, tanda dibaca pun belum.[Dek Wiwin, Simbok sehat?]
Pesanku kepada adik perempuanku, ini sudah dua hari tidak ada balasan juga.Aku menghela nafas, kepada siapa aku bisa berkeluh kesah? Kedua saudara kandungku saja tidak membalas pesanku. Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin, mereka takut aku mintai tolong? Aku gelengkan kepala menghilangkan rasa curigaku.
Walaupun mereka membalas pesanku, untuk meminta tolong kepada mereka sepertinya tidak mungkin. Mereka tinggal di rumah Simbok. Mas Wawan dan istri beserta kedua anaknya, begitu juga Dik Wiwin yang sudah menjadi janda bersama satu anaknya. Apalagi Simbok sudah renta, aku tidak mungkin tega menambah masalahku di sana.
Hanya satu jalan, aku harus berdiri di kakiku sendiri. Kepada Allah, aku bisa bersandar.
Aku menggelar sajadah, salat malam untuk memasrahkan diri kepadanya. Ini yang aku lakukan. Dengan menengadahkan tanganku, aku memohon pertolongannya. Terurai air mata ini, melepas rasa sesakku.
Tring!
Bunyi ponselku. Aku segera mengambilnya, pasti pesan dari Mas Wawan atau Dik Wiwin. Akhirnya saudaraku ada untukku.Aku buka ponselku, bukan nama yang kuharapkan, tetapi ini pasti jawaban doaku.
[Ibuku di Surabaya membutuhkan teman. Ada rumah kecil di belakang rumah kami. Kalau kamu mau, itu bisa digunakan]
Alhamdulillah. Pesan diponselku itu dari Mbak Fatimah.Kemarin sepulang dari pasar, aku mampir ke tokonya. Aku sampaikan bahwa tekadku sudah bulat untuk mandiri, tetapi tidak di daerah sini. Aku ingin melindungi anak-anakku dari kesalahpahaman dengan Mbak Rini.
Mbak Fatimah menawarkan untuk ke Surabaya, tempat asalnya. Di sana peluang kerja besar, jadi aku bisa mencoba berusaha. Untuk sementara mungkin kami tinggal di rumah ibunya, tetapi menunggu persetujuan beliau dulu.
Alhamdulillah, jawabannya, Ya.
***"Nisa ... Niatmu bisa dibatalkan, kan? Bagaimana Emak bisa hidup kalau kalian pergi," ucap Emak memegang lenganku. Menghentikanku yang sedari tadi berkemas.
"Emak, Nisa akan berjuang di sana. Setelah kuat, Nisa akan jemput Emak. Emak yang sabar, ya," ucapku dengan melepas tangannya dari lenganku.
"A- atau, Alif kamu tinggal saja?"
"Tidak! Anak-anak harus ikut, Mak," jawabku tegas. Aku pergi dari rumah ini karena keselamatan anakku, mana mungkin aku akan meninggalkan Alif di sini. Sedangkan Mbak Rini menganggap anakku ini sebagai saingan pewaris.
"Emak nanti bagaimana, Nisa. Emak sayang dengan kalian. Kalau Emak kangen bagaimana?" ucapnya lirih. Dia mengelus lembut rambut Alif yang tertidur. Aku lihat sekilas, buliran air mata sudah membasahi pipinya. Tidak tega aku melihatnya. Aku harus kuat dan tega, demi anak-anakku.
"Kalau begitu, terimalah ini," ucap Emak lirih, membuka buntalan kain dari lipatan bajunya.
"Ini tidak banyak, setidaknya bisa membuat kalian bertahan. Surat-suratnya lengkap di sana," ucapnya dengan menyerahkan buntalan itu kepadaku.
"Tapi, Mak?"
"Huuss, ini tabungan Emak sendiri. Sembunyikan di sela-sela baju. Supaya aman. Terima ya," ucapnya. Ditangkupnya tangannya ke tanganku, sambil tersenyum disela tangisnya itu.
"Dan ini, uang untuk perjalanan," ucapnya lagi.
"Te-terima kasih, Mak," ucapku tanpa bisa membendung lagi air mata ini.
"Ada yang Emak minta."
"Apa, Mak?" ucapku seraya menghapus air mata ini.
"Jangan kamu bawa foto-foto itu," ucapnya dengan menunjuk foto Mas Ridwan dan foto kami bertiga itu.
"Juga, jangan bawa baju kalian semua, sisakan beberapa di sini. Sampai kapanpun, kamar ini adalah kamar kalian. Emak tidak akan ijinkan siapapun untuk memakainya," ucapnya sambil menangis lagi.
"Emak akan tidur disini ketika merindukan kalian. Emak masih merasa Ridwan di sini. Emak ...." Ucapannya tidak diteruskannya, hanya isakan tangis yang terdengar.
"Emak!" teriakku sambil memeluknya. Kami terisak bersama untuk kesekian kalinya.
"Nisa, boleh Emak tidur di sini bersama kalian malam ini?" bisiknya lirih.
Aku tidak mampu menjawab dengan kata-kata, hanya anggukan yang aku mampu. Rasa sesak semakin menekan dada ini dan mendorong air mata yang sudah meluncur kembali.
***
"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku."Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif. "Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya lagi seraya mengusap air mata di pipinya."Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku. "Terima kasih," ucapku mencium tangan Emak dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit."Mbak Rini, saya pamit," ucapku."Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis."Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras. Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sa
Bab 8. Menuju Kota Harapan-------------------------------------Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sam
Sebersit sinar matahari menyilaukan mataku. Gerakan Dwi dipangkuanku membuatku terjaga. Aku ngerjapkan mata dan berlahan kubuka mata ini. Gedung-gedung besar menjadi pemandangan. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis terlihat lalu lalang. Sesekali aku melihat sepeda motor saling berebut untuk mendahului. Semuanya bergerak aktif, seperti tidak mau ketinggalan akan waktu. Inilah kota tujuan kami menggantungkan harap. Memperjuangkan hidup untuk mengantar anak-anak ke masa depan yang lebih cerah.Alif yang sudah bangun terlihat menikmati pemandangan ini, dia menoleh setelah menyadari aku sudah terbangun. Dwi pun mengerjapkan mata sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangannya. "Adek! Ci luuuk, ba!" Candaan Alif disambut tawa terkekeh Dwi. Aku dudukkan Dwi di antara kami, mereka meneruskan bercanda dengan riang. Tubuhku aku regangkan, mengurai penat dan pegal ini.Aku melihat sekeliling, hanya tinggal beberapa penumpang saja. Berarti tujuanku akan segera sampai. Kemarin, aku sudah t
"Nisa, ya?!"Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.Alhamdulillah ....***"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku. Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian, kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu. Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif. "Saya Nisa, Umi Inayah." "Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat. "Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" Umi mengelus Dwi kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya. "Ini Mbok Sarinem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia in
Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.Aku helakan napas dengan mata terpejam.Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.*****"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. "Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...." "Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung. "Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahk
"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. "Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar. "Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi. "Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku. "Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi. "O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam. "Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk
"Mbak Nisa! Tadi malam di cariin Mas Bowo. Katanya terima kasih kopinya enak, camilannya juga enak," kata Bik Sari. Aku baru pulang kembali dari mengantar Alif sekolah dan langsung belanja ke pasar. Bik Sari yang selesai menyapu halaman mengikutiku dari belakang."Tadi malam, maunya saya ketok kamar Mbak Nisa, tetapi kok lampunya mati. Aku bilang saja Mbak Nisa sudah tidur," jelas Bik Sari lagi."Pak Bowo masih ada di sini, Bik?" tanyaku sambil mengeluarkan belanjaan dari pasar. Sayur, buah dan ikan segar. Empon-empon juga habis, aku membeli untuk stok."Mbak Nisa ingin nemui Mas Bowo?"Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arahnya. "Endak, lah. Untuk apa?" tanyaku balik.Bik Sari hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ya, mungkin mau ngobrol," celetuknya. Aku jawab dengan senyuman saja.Tadi malam, setelah membuat kopi, aku langsung mengantar ke teras depan. Aku lihat dia memakan nugget sebagai camilannya dengan lahap. "Terima kasih, ya!" ucapnya dengan tersenyum d
Kami makan bersama, Umi, keponakan umi, aku, dan kedua anakku. Sambil memangku Dwi, aku menyuapinya dengan nasi tim yang dicampur dengan daging ikan dari sup ini. Umi memuji masakanku, dia bilang supnya menyegarkan. "Tumben kamu mau makan ikan, Wik?" tanya Umi. Dia memang sering memanggil Wik daripada Bowo. Katanya dulu ketika kecil dia tidak bisa menyebut nama lengkap, Wibowo, jadinya panggilan kecilnya Wik. "Enak!" katanya sambil menambahkan nasi untuk kedua kalinya. "Makanya, cepet cari istri. Biar ada yang masakin!" celetuk Umi. Uhuk ...! Mas Bowo terbatuk mendengar ucapan Umi. Dia langsung meneguk air putih di sebelahnya."Mesti begitu kalau ditanya Umi. Mamamu itu lo, ngejar-ngejar Umi untuk nyarikan istri kamu. Sampe bingung jawabnya!" "Ya, cuekin aja, Mi.""Pacarmu yang bulan kemarin itu aja. Cepet dilamar.""Sudah putus. Ah, Umi bikin nafsu makanku hilang," jawab Mas Bowo"Nafsu makan ilang opo! Sudah dua piring gitu!" sanggah Umi disambut tertawa Mas Bowo.Aku tersenyum