Share

Bab 6. Penolakan Halus

"Dek Nisa, kamu yang sabar, ya," ucap Mas Wawan Kakak kandungku. Dia mengucapkan bela sungkawa untuk kedua kalinya. Pertama, saat musibah yang terjadi dan ke dua sekarang ini.

"Mas Wawan, mohon doanya, di sini posisiku sulit. Mbak Rini mulai menyindirku terus. Aku harus bagaimana, Mas?" Aku berkeluh kesah meminta dukungannya.

"Kamu harus bertahan demi anak-anakmu. Bagaimanapun rumah mereka di sana, kan. Jangan di ambil hati lah. Perempuan memang sering ngomong pedes. Sabar, ya," ucapnya menghiburku.

"Ya, Mas. Aku mengerti. Tetapi dia itu ngeyel, Mas."

"Dengar, ya. Rumah yang kamu tempati itu rumah Pak Sardi dan Bu Sayuti, Ridwan kan anak tunggal mereka walaupun anak angkat. Ya itu haknya kalian. Haknya Alif dan Dwi. Apalagi ada surat pengesahan dari pengadilan. Secara hukun, yang numpang itu malah si Rini itu! Diakan anak bawaaan Pak Sardi! Sedangkan rumah itu ada karena perkawinan kedua," jelasnya dengan berapi-api.

"Iya Mas. Aku tahu benar itu. Tetapi Mas, kemarin Mbak Rini ...."

"Sudahlah Nisa. Walaupun Ridwan sudah tidak ada, kamu dan kedua anakmu itu tanggung jawab keluarga suamimu. Iya, to? Mas akan bilang ke Simbok, kalau kamu baik-baik saja. Jangan sampai jantungnya kumat.  Sek, ya. Mas Wawan berangkat kerja dulu, kalau telat gajiku dipotong. Bagaimana makannya anak-anak, ditambah Wiwin dan anaknya. Wes yo, yang sabar," ucapnya langsung menutup telponku.

Huuft .... 

Aku terduduk lemas disamping Dwi yang tertidur pulas. Dari pembicaraan Mas Wawan, aku tahu benar, dia menolakku untuk pulang ke rumah walaupun secara halus. Aku mengerti, bukan karena dia tidak mau, tetapi karena ketidakmampuannya yang memaksa bersikap seperti itu.

Aku pandangi wajah pulas putriku ini. Dalam tidurnya ada senyum tersirat di sana. Mungkin dia bermimpi indah bertemu dengan Mas Ridwan. Aku tundukkan wajahku mencium pipi gembulnya, menyusuri jejak ciuman Mas Ridwan.

***

"Bagaimana Nisa? Kamu jadi pulang ke kampungmu, kan?" tanya Mbak Rini mengulang pertanyaan yang sama seperti kemarin-kemarin.

"Mbak Rini ingin sekali kami pergi, ya?" tanyaku dengan suara bergetar menahan rasa kesal. 

"Ya iya, lah. Coba kamu pikir. Kalau di sini, siapa yang akan memenuhi kebutuhanmu? Emak? Bapak? Mereka sudah tua. Apalagi ada aku di sini. Kamu tega melihat mereka harus kerja keras menghidupi kalian. Bisa jadi, satu persatu perabotan di rumah ini dijual untuk kasih makan kalian?" ucapnya dengan ketus.

"Mbak Rini, kita bisa kerja bersama. Membantu usaha Emak di pasar. Atau membuat usaha sendiri. Kita bisa bekerja sama," ucapku berusaha melunakkan hatinya.

"Ah, alasan! Kamu pinter, ya. Nanti kita kerja bareng, terus kamu suruh ini dan itu. Perintah sana sini, dan uangnya kami pegang! Iya, kan? Dasar licik! Dari dulu aku dipinteri saja. Aku tidak mau! Pokoknya kalian harus pergi!"

"Mbak Rini, dengar penjelasan saya."

"Enggak! Aku tidak mau kamu manfaatkan. Nanti aku akan kamu singkirkan. Terus Hasan akan terlantar. Huuh, tidak akan!"

"Mbak ...!"

"Tidak!"

Brak!

Dia menutup pintu dengan keras sampai-sampai Dwi terbangun dari tidurnya dan menangis.

***

[Mas Wawan apa kabar]

Aku baca pesan yang kemarin aku kirim lewat ponsel kepada Mas Wawan. Belum ada balasan, tanda dibaca pun belum.

[Dek Wiwin, Simbok sehat?]

Pesanku kepada adik perempuanku, ini sudah dua hari tidak ada balasan juga.

Aku menghela nafas, kepada siapa aku bisa berkeluh kesah? Kedua saudara kandungku saja tidak membalas pesanku. Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin, mereka takut aku mintai tolong? Aku gelengkan kepala menghilangkan rasa curigaku.

Walaupun mereka membalas pesanku, untuk meminta tolong kepada mereka sepertinya tidak mungkin. Mereka tinggal di rumah Simbok. Mas Wawan dan istri beserta kedua anaknya, begitu juga Dik Wiwin yang sudah menjadi janda bersama satu anaknya. Apalagi Simbok sudah renta, aku tidak mungkin tega menambah masalahku di sana. 

Hanya satu jalan, aku harus berdiri di kakiku sendiri. Kepada Allah, aku bisa bersandar.

Aku menggelar sajadah, salat malam untuk memasrahkan diri kepadanya. Ini yang aku lakukan. Dengan menengadahkan tanganku, aku memohon pertolongannya. Terurai air mata ini, melepas rasa sesakku. 

Tring!

Bunyi ponselku. Aku segera mengambilnya, pasti pesan dari Mas Wawan atau Dik Wiwin. Akhirnya saudaraku ada untukku.

Aku buka ponselku, bukan nama yang kuharapkan, tetapi ini pasti jawaban doaku. 

[Ibuku di Surabaya membutuhkan teman. Ada rumah kecil di belakang rumah kami. Kalau kamu mau, itu bisa digunakan]

Alhamdulillah. 

Pesan diponselku itu dari Mbak Fatimah. 

Kemarin sepulang dari pasar, aku mampir ke tokonya. Aku sampaikan bahwa tekadku sudah bulat untuk mandiri, tetapi tidak di daerah sini. Aku ingin melindungi anak-anakku dari kesalahpahaman dengan Mbak Rini. 

Mbak Fatimah menawarkan untuk ke Surabaya, tempat asalnya. Di sana peluang kerja besar, jadi aku bisa mencoba berusaha. Untuk sementara mungkin kami tinggal di rumah ibunya, tetapi menunggu persetujuan beliau dulu. 

Alhamdulillah, jawabannya, Ya.

***

"Nisa ... Niatmu bisa dibatalkan, kan? Bagaimana Emak bisa hidup kalau kalian pergi," ucap Emak memegang lenganku. Menghentikanku yang sedari tadi berkemas.

"Emak, Nisa akan berjuang di sana. Setelah kuat, Nisa akan jemput Emak. Emak yang sabar, ya," ucapku dengan melepas tangannya dari lenganku.

"A- atau, Alif kamu tinggal saja?"

"Tidak! Anak-anak harus ikut, Mak," jawabku tegas. Aku pergi dari rumah ini karena keselamatan anakku, mana mungkin aku akan meninggalkan Alif di sini. Sedangkan Mbak Rini menganggap anakku ini sebagai saingan pewaris.

"Emak nanti bagaimana, Nisa. Emak sayang dengan kalian. Kalau Emak kangen bagaimana?" ucapnya lirih. Dia mengelus lembut rambut Alif yang tertidur. Aku lihat sekilas, buliran air mata sudah membasahi pipinya. Tidak tega aku melihatnya. Aku harus kuat dan tega, demi anak-anakku. 

"Kalau begitu, terimalah ini," ucap Emak lirih, membuka buntalan kain dari lipatan bajunya. 

"Ini tidak banyak, setidaknya bisa membuat kalian bertahan. Surat-suratnya lengkap di sana," ucapnya dengan menyerahkan buntalan itu kepadaku.

"Tapi, Mak?"

"Huuss, ini tabungan Emak sendiri. Sembunyikan di sela-sela baju. Supaya aman. Terima ya," ucapnya. Ditangkupnya tangannya ke tanganku, sambil tersenyum disela tangisnya itu. 

"Dan ini, uang untuk perjalanan," ucapnya lagi. 

"Te-terima kasih, Mak," ucapku tanpa bisa membendung lagi air mata ini.

"Ada yang Emak minta."

"Apa, Mak?" ucapku seraya menghapus air mata ini.

"Jangan kamu bawa foto-foto itu," ucapnya dengan menunjuk foto Mas Ridwan dan foto kami bertiga itu. 

"Juga, jangan bawa baju kalian semua, sisakan beberapa di sini. Sampai kapanpun, kamar ini adalah kamar kalian. Emak tidak akan ijinkan siapapun untuk memakainya," ucapnya sambil menangis lagi.

"Emak akan tidur disini ketika merindukan kalian. Emak masih merasa Ridwan di sini. Emak ...." Ucapannya tidak diteruskannya, hanya isakan tangis yang terdengar. 

"Emak!" teriakku sambil memeluknya. Kami terisak bersama untuk kesekian kalinya.

"Nisa, boleh Emak tidur di sini bersama kalian malam ini?" bisiknya lirih. 

Aku tidak mampu menjawab dengan kata-kata, hanya anggukan yang aku mampu. Rasa sesak semakin menekan dada ini dan mendorong air mata yang sudah meluncur kembali.  

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status