Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan.
Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.
Aku helakan napas dengan mata terpejam.
Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.
*****
"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi.
"Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...."
"Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung.
"Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahkan! Umi senang, kalau rumah ini terasa hidup," jelasnya.
"Terima kasih. Terima kasih, Umi!" ucapku sambil meraih tangan dan menciumnya.
Alhamdulillah, aku merasa lega sudah di terima seperti keluarga di sini. Alhamdulillah, Allah sudah memberi jalan untukku.Alhamdulillah.***
"Nisa, asem-asemnya masih banyak. Tolong bungkus di rantang. Akan ada ojek online yang akan ambil. Alamatnya di kartu nama yang nempel di pintu kulkas!" ucap Umi. Dia sudah menggunakan mukenah bersiap untuk salat Duhur. Aku mencari kartu nama itu. Ada beberapa, mana yang dimaksud?
"Mbak Nisa di suruh Umi bungkus makanan?" tanya Bik Sari dari belakang. Dia membawa belanjaan dari minimarket.
"Iya Bik. Alamatnya di kartu nama yang mana, ya?" tanyaku sambil menunjuk beberapa kartu nama di sana.
"Maksud Umi pasti kirim ke Mas Bowo, Mbak. Ini kartu namanya. Dia keponakannya Umi," ucapnya sambil menunjuk kartu nama yang dimaksud. Bik Sari juga memberikan rantang untuk tempat makanannya. Wibowo Santoso, nama yang tertera di sana. Ada alamat kantor dan nomor ponsel. Kalau dia sudah bekerja, berarti orangnya sudah dewasa.
"Pakai nasi, Bik?" tanyaku memastikan.
"Iya, Mbak. Lengkap!"
Aku bungkus Asam-Asam Daging menggunakan kantong plastik. Makanan aku tata dengan nasi di cetak dengan atasnya diberi bawang goreng sedikit, dan launya di sampingnya. Sendok garpu, aku bungkus menggunakan tissue dan di masukkan di tas kain yang Bik Sari berikan.
"Mbak Nisa, sudah selesai bungkusnya?" ucap Bik Sari tergopoh-gopoh. "Pak Ojeknya sudah di depan!" teriaknya.
"Ini, Bik. Sudah selesai, lengkap termasuk sendok dan garpu," ucapku sambil menyerahkan buntalan ini. Bik Sari langsung ke depan.
*
"Nisa, sudah diambil bekalnya?" tanya Umi. Wajahnya bergitu bersinar, memang aura setalah salat itu berbeda. Terasa menenangkan.
"Sudah Umi. Sudah saya sertakan nasi termasuk peralatan makannya," jelasku.
"Selain pinter masak, ternyata kamu juga teliti, ya?" sanjung Umi.
"Kebiasaan, Umi. Dulu, Mas Ridwan kalau pergi dinas juga sering membawa bekal," terangku sambil melanjutkan mencuci peralatan masak.
"Mas Ridwan?" tanya Umi.
Deg!Tanganku langsung berhenti.Tak tersadar, aku menyebut namanya kembali. Mulutku seakan menghianati hati yang ingin segera menerima kehilangan ini."Dia suami saya," jawabku sambil menunduk menyembunyikan mata yang mulai merebak.
Umi terlihat menyerngit, kemudian dia tersenyum dan menepuk pundakku. "Sabar, ya, Nisa. Yang di Atas pasti memberikan cobaan tidak melebihi kemampuan umatnya. Jadi, kamu yang kuat, ya."
***
Sudah dua minggu kami di sini.
Umi Inayah sangat menyayangi kami. Alif dan Dwi dianggapnya cucunya sendiri, bahkan sering kali Dwi di curinya dari pelukankan untuk menemani tidurnya. Melihat itu, aku jadi teringat Emak Sayuti, Ibu Mertuaku. Bagaimana kabarnya?Kata Mbak Fatimah, Emak baik-baik saja, walaupun terlihat agak kurusan. Emak sering mampir ke warungnya untuk membeli keperluan rumah tangga. Sering kali dia mencurahkan isi hatinya yang kesepian di rumah.
Tugasku di sini bertanggung jawab di dapur. Umi Ina menitipkan uang belanja setiap minggunya. Semua belanjakan aku catat rapi di buku termasuk perincian belanja dan sisa uang yang ada. Walaupun ini, Umi tidak menginginkan, aku tetap mencatatnya demi ketenangan hatiku. Aku tidak mau, hubungan baik nantinya ternoda dengan masalah uang.
Menu juga aku yang mengatur, kecuali Umi menginginkan menu lainnya. Hanya pesan Umi, setiap hari harus tersedia sayuran dan buah.Kami di sini ditanggung semuanya oleh Umi. Pernah aku dimarahi, gara-gara belanja bahan makanan terpisah. Sebenarnya aku tidak nyaman, bagaimanapun biaya hidup kami adalah tanggung jawabku. Aku tidak mau menjadi bebannya.
"Saya mengerti maksud kamu, Nisa. Kalau kamu ingin mencoba berusaha, kamu bisa memulai sedikit demi sedikit. Dapur kotor di belakang bisa kamu gunakan. Ada peralaran bisa kamu cek fungsinya. Kamu ingin usaha apa?" tanya Umi.
"Saya belum tahu produknya apa, Umi. Yang pasti, keahlian saya hanya memasak. Inginnya jualan makanan, tetapi makanan apa? Saya belum tahu kebutuhan di sini," jelasku.
"Ya silahkan saja. Kamu usaha apapun silahkan. Tetapi, tetap kalian tinggal di sini menemani Umi. Anak-anak sudah Umi anggap cucu sendiri. Kamu boleh keluar dari rumah ini kalau kamu akan menikah lagi," tandas Umi dengan menatapku tajam. Aku tersenyum mendengar perkataan yang terakhir.
"Umi, saya tidak ada kepikiran sampai sana. Bagi saya, Mas Ridwan masih hidup. Dia hanya belum pulang saja," ucapku sambil tersenyum.
***Hari ini, aku membuat Sayur Bayam dan Nugget Ayam. Kemarin Umi bilang, ingin makan ayam tetapi yang gampang mengunyahnya. Aku membuat agak banyak dengan beberapa variasi, original yang berisi daging ayam saja, nugget ayam wortel dan nugget ayam brokoli. Sebagian aku akan simpan di frezzer, jadi sewaktu-waktu bisa langsung di goreng.
"Mbak Nisa apa-apa bisa, ya. Hasilnya seperti di supermarket!" celetuk Bik Sari.
"Aku foto boleh, tak pamerin temen-temenku," tambahnya. "Sekalian tawarin saja, siapa tahu laku. Nanti aku hitung harganya," ucapku dengan yakin.
Bik Sari menunjukkan kedua jempolnya. Dia memang mempunyai W******p Grup untuk asisten rumah tangga di komplek ini. Memang isinya sering kali tentang curhatan mereka, tetapi siapa tahu tawaran pertamaku laku."Nisa, kamu beli di mana ini? Enak. Bumbunya terasa, ayamnya segar. Ini ada wortelnya?" tanya Umi saat mencicipi nugget buatanku.
"Buat sendiri, Umi. Itu ada tiga rasa, original, wortel dan brokoli," terangku sambil mengambil tiga nugget dengan berbeda rasa dan aku sodorkan piring kecil ke Umi.
"Wak, enak ini. Kamu kreatif! Ini bagus untuk anak-anak. Apalagi yang susah makan sayur," ucap Umi sambil melanjutkan makan.
"Ini bagus buat Bowo, dia juga tidak mau wortel," gumannya pelan.
"Mbak ... Mbak Nisa! Penting!" teriak Mbak Sari dari belakang.
Setengah berlari dia menghampiri kami. Wajahnya terlihat sumringah sambil perlahan dia diam mengatur napasnya. Aku dan Umi memperhatikan dengan apa yang akan dikatakannya. Apa yang penting?***
"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. "Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar. "Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi. "Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku. "Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi. "O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam. "Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk
"Mbak Nisa! Tadi malam di cariin Mas Bowo. Katanya terima kasih kopinya enak, camilannya juga enak," kata Bik Sari. Aku baru pulang kembali dari mengantar Alif sekolah dan langsung belanja ke pasar. Bik Sari yang selesai menyapu halaman mengikutiku dari belakang."Tadi malam, maunya saya ketok kamar Mbak Nisa, tetapi kok lampunya mati. Aku bilang saja Mbak Nisa sudah tidur," jelas Bik Sari lagi."Pak Bowo masih ada di sini, Bik?" tanyaku sambil mengeluarkan belanjaan dari pasar. Sayur, buah dan ikan segar. Empon-empon juga habis, aku membeli untuk stok."Mbak Nisa ingin nemui Mas Bowo?"Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arahnya. "Endak, lah. Untuk apa?" tanyaku balik.Bik Sari hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ya, mungkin mau ngobrol," celetuknya. Aku jawab dengan senyuman saja.Tadi malam, setelah membuat kopi, aku langsung mengantar ke teras depan. Aku lihat dia memakan nugget sebagai camilannya dengan lahap. "Terima kasih, ya!" ucapnya dengan tersenyum d
Kami makan bersama, Umi, keponakan umi, aku, dan kedua anakku. Sambil memangku Dwi, aku menyuapinya dengan nasi tim yang dicampur dengan daging ikan dari sup ini. Umi memuji masakanku, dia bilang supnya menyegarkan. "Tumben kamu mau makan ikan, Wik?" tanya Umi. Dia memang sering memanggil Wik daripada Bowo. Katanya dulu ketika kecil dia tidak bisa menyebut nama lengkap, Wibowo, jadinya panggilan kecilnya Wik. "Enak!" katanya sambil menambahkan nasi untuk kedua kalinya. "Makanya, cepet cari istri. Biar ada yang masakin!" celetuk Umi. Uhuk ...! Mas Bowo terbatuk mendengar ucapan Umi. Dia langsung meneguk air putih di sebelahnya."Mesti begitu kalau ditanya Umi. Mamamu itu lo, ngejar-ngejar Umi untuk nyarikan istri kamu. Sampe bingung jawabnya!" "Ya, cuekin aja, Mi.""Pacarmu yang bulan kemarin itu aja. Cepet dilamar.""Sudah putus. Ah, Umi bikin nafsu makanku hilang," jawab Mas Bowo"Nafsu makan ilang opo! Sudah dua piring gitu!" sanggah Umi disambut tertawa Mas Bowo.Aku tersenyum
"Usahamu sudah mulai tumbuh, kamu harus memupuknya terus. Jangan sampai pelangganmu kecewa, karena usaha makanan itu maju atau tidak tergantung ininya pelanggan," jelas Umi sambil menunjuk mulutnya. "Iya Umi, saya mengerti. Karena itu, saya minta ijin mulai memakai dapur belakang," ucapku. Ada bangunan kecil di belakang rumah. Kata Umi dulu dapur kotor saat di rumah ini penghuninya lengkap. Namun, karena anak Umi tinggal dilain kota dan yang di rumah sekarang tinggal Umi, jadi dapur besar itu tidak digunakan lagi."Pakai saja secepatnya. Cek dulu, masih bagus tidak peralatan yang di sana. Untuk pesanan sore ini, kamu pakai dapur di depan dulu," ucap Umi dengan menepuk bahuku."Sekalian minta ijin, Umi. Besuk saya pergi dulu ke toko perhiasan. Saya ingin menjual ini untuk modal," kataku dengan memperlihatkan isi buntalan yang diberikan Emak Sayuti dulu. Satu kalung, dua gelang dan beberapa cincin, simpanan Emak saat masih aktif berdagang dulu.Umi menarik tanganku dan menutup kembali
"Mbak Nisa, dipanggil Umi. Ini saya selesaikan saja," ucap Mbak Sari mengambil alih yang aku kerjakan. Setelah makan bersama, aku membersihkan dapur, Dwi tertidur dan Alif bermain di halaman. Aku melepaskan celemek dan bergegas ke depan.Sudah ada Umi dan Mas Bowo yang duduk di ruang tengah. Umi menepuk sofa di sebelahnya untuk aku duduki."Nisa, Umi senang usahamu mulai jalan. Zaman sekarang sudah berbeda, tidak banyak orang membawa uang cash. Senin depan kamu buka rekening, mudahkanlah pelangganmu dalam pembayaran," jelas Umi."Iya Umi. Minggu depan saya cari kesempatan untuk ke bank," jawabku."Besuk hari minggu, kalau belanja peralatan, biar Bowo antar. Mumpung dia libur. Jangan sendiri, di kota ini tidak aman kalau kamu tidak mengerti," jelasnya disambut anggukan Mas Bowo yang di sebelahnya."Apa tidak merepotkan. Seharusnya hari libur buat istirahat. Saya bisa menggunakan angkutan umum, toh pasar tidak terlalu jauh dari sini. Kalau diijinkan, saya ajak Bik Sari saja," ucapku sen
"Mbak Nisa, kita mampir makan dulu ya. Aku lapar!" ucap Mas Bowo saat kami selesai belanja peralatan di pasar. Kasihan juga dia, bolak-balik membawa peralatan dari dalam pasar ke mobil walaupun ada tukang angkat yang mengikutinya. Kakinya pasti penat, seharian mengikuti aku keliling pasar. Tidak hanya mencari peralatan yang aku butuhkan, tetapi juga membandingkan harga yang paling bagus."Alhamdulillah, dapat harga bagus. Yang toko tadi, sudah pelayannya judes, harganya tidak boleh di tawar. Untung kita ke tempat yang ini Mas. Dapat harga murah!" ucapku senang. "Selisihnya cuma lima ribu, Mbak," celetuk Mas Bowo."Ya tetep lebih murah, Mas. Lima ribu kali berapa, lumayan bisa buat beli lainnya. Dapet bonus sutil, lagi!" Senyumku mengembang dengan sendirinya, memandang sutil yang aku pegang. Suatu kebanggaan tersendiri mendapat harga lebih murah ketika belanja."Cewek itu memang aneh. Dapet sutil gitu saja sudah senang," gerutu Mas Bowo lirih walaupun aku mendengar dengan jelas.Di
"Mbak Nisa ... Mbak."Terdengar suara memanggil namamu. Aku mengerjapkan mata, dan mengumpukan kesadaranku. Ternyata aku tertidur."Tidurnya nyenyak sekali, Mbak. Kecapekan, ya. Ayo kita turun. Kita sudah sampai," ucap Mas Bowo sambil membuka sabuk pengaman."Sudah di rumah?" tanyaku kebingungan. Aku longokkan kepalaku di jendela, ada mobil berjejer di sekeliling. "Kita mau makan, Mbak. Ingat?" ucapnya sambil tertawa melihatku kebingungan. Duh, gara-gara ketiduran. Aku merapikan rambut dan bajuku kemudian turun dari mobil. "Mas, ini di mana?" tanyaku lagi."Tuh!" jawabnya dengan menunjuk tulisan kecil di tembok yang bertuliskan parkir Tunjungan Plaza. Aku bergegas berlari mengejar langkah panjang Mas Bowo yang jalan lebih dulu. Kami masuk di keramaian dan memasuki rumah makan, tepatnya restoran."Mas Bowo. Kita tidak salah makan di sini?" bisikku. Mataku membulat saat melihat menu terutama angka yang di bawahnya. Bagiku harganya yang lumayan mahal."Sudah, pilih yang Mbak Nisa suka.
Masakan ini, pesanan Mas Bowo.Aku membersihkan kepiting. Cangkang kepiting aku lepas dan dibiarkan utuh, kemudian badannya potong menjadi dua. Kepiting yang sudah aku bersihkan ini kemudian dikukus. Labu siam juga sudah aku potong-potong. Sekarang menyiapkan bumbunya.Tadi setelah makan, kami singgah di pasar tradisional. Tempatnya begitu bersih, aku seperti masuk di surga. Sayuran segar terhampar dan tertata rapi, tidak ada tercium bau sampah atau tanah becek. Pasar ini begitu nyaman."Kamu ini perempuan aneh, diajak jalan-jalan di mall tidak mau. Eh, giliran ke pasar seperti ayam keluar kandang!" celetuk Mas Bowo yang mengikutiku."Mas Bowo kalau capek, tunggu di mobil saja. Aku bisa sendiri," saranku sambil memutarkan pandangan ke sekiling, seperti orang kelaparan."Tidak. Kalau ada apa-apa bisa digantung Umi! Eh, ada kepiting!" teriaknya dengan menunjuk kelompok lapak di paling ujung. Lapak penjual seafood. Dia langsung melangkahkan kaki melewatiku, terpaksa gantian aku yang meng