Share

Bab 11. Tidak Mau Menjadi Beban

Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. 

Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.

Aku helakan napas dengan mata terpejam.

Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.

*****

"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. 

"Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...."

"Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung.

"Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahkan! Umi senang, kalau rumah ini terasa  hidup," jelasnya.

"Terima kasih. Terima kasih, Umi!" ucapku sambil meraih tangan dan menciumnya.

Alhamdulillah, aku merasa lega sudah di terima seperti keluarga di sini. Alhamdulillah, Allah sudah memberi jalan untukku.

Alhamdulillah.

***

"Nisa, asem-asemnya masih banyak. Tolong bungkus di rantang. Akan ada ojek online yang akan ambil. Alamatnya di kartu nama yang nempel di pintu kulkas!" ucap Umi. Dia sudah menggunakan mukenah bersiap untuk salat Duhur. Aku mencari kartu nama itu. Ada beberapa, mana yang dimaksud?

"Mbak Nisa di suruh Umi bungkus makanan?" tanya Bik Sari dari belakang. Dia membawa belanjaan dari minimarket.

"Iya Bik. Alamatnya di kartu nama yang mana, ya?" tanyaku sambil menunjuk beberapa kartu nama di sana.

"Maksud Umi pasti kirim ke Mas Bowo, Mbak. Ini kartu namanya. Dia keponakannya Umi," ucapnya sambil menunjuk kartu nama yang dimaksud. Bik Sari juga memberikan rantang untuk tempat makanannya. Wibowo Santoso, nama yang tertera di sana. Ada alamat kantor dan nomor ponsel. Kalau dia sudah bekerja, berarti orangnya sudah dewasa. 

"Pakai nasi, Bik?" tanyaku memastikan.

"Iya, Mbak. Lengkap!"

Aku bungkus Asam-Asam Daging menggunakan kantong plastik. Makanan aku tata dengan nasi di cetak dengan atasnya diberi bawang goreng sedikit, dan launya di sampingnya. Sendok garpu, aku bungkus menggunakan tissue dan di masukkan di tas kain yang Bik Sari berikan.

"Mbak Nisa, sudah selesai bungkusnya?" ucap Bik Sari tergopoh-gopoh. "Pak Ojeknya sudah di depan!" teriaknya.

"Ini, Bik. Sudah selesai, lengkap termasuk sendok dan garpu," ucapku sambil menyerahkan buntalan ini. Bik Sari langsung ke depan.

*

"Nisa, sudah diambil bekalnya?" tanya Umi. Wajahnya bergitu bersinar, memang aura setalah salat itu berbeda. Terasa menenangkan.

"Sudah Umi. Sudah saya sertakan nasi termasuk peralatan makannya," jelasku. 

"Selain pinter masak, ternyata kamu juga teliti, ya?" sanjung Umi.

"Kebiasaan, Umi. Dulu, Mas Ridwan kalau pergi dinas juga sering membawa bekal," terangku sambil melanjutkan mencuci peralatan masak.

"Mas Ridwan?" tanya Umi.

Deg!

Tanganku langsung berhenti.

Tak tersadar, aku menyebut namanya kembali. Mulutku seakan menghianati hati yang ingin segera menerima kehilangan ini. 

"Dia suami saya," jawabku sambil menunduk menyembunyikan mata yang mulai merebak.

Umi terlihat menyerngit, kemudian dia tersenyum dan menepuk pundakku. "Sabar, ya, Nisa. Yang di Atas pasti memberikan cobaan tidak melebihi kemampuan umatnya. Jadi, kamu yang kuat, ya."

***

Sudah dua minggu kami di sini. 

Umi Inayah sangat menyayangi kami. Alif dan Dwi dianggapnya cucunya sendiri, bahkan sering kali Dwi di curinya dari pelukankan untuk menemani tidurnya. 

Melihat itu, aku jadi teringat Emak Sayuti, Ibu Mertuaku. 

Bagaimana kabarnya?

Kata Mbak Fatimah, Emak baik-baik saja, walaupun terlihat agak kurusan. Emak sering mampir ke warungnya untuk membeli keperluan rumah tangga. Sering kali dia mencurahkan isi hatinya yang kesepian di rumah.

Tugasku di sini bertanggung jawab di dapur. Umi Ina menitipkan uang belanja setiap minggunya. Semua belanjakan aku catat rapi di buku termasuk perincian belanja dan sisa uang yang ada. Walaupun ini, Umi tidak menginginkan, aku tetap mencatatnya demi ketenangan hatiku. Aku tidak mau, hubungan baik nantinya ternoda dengan masalah uang.

Menu juga aku yang mengatur, kecuali Umi menginginkan menu lainnya. Hanya pesan Umi, setiap hari harus tersedia sayuran dan buah.

Kami di sini ditanggung semuanya oleh Umi. Pernah aku dimarahi, gara-gara belanja bahan makanan terpisah. Sebenarnya aku tidak nyaman, bagaimanapun biaya hidup kami adalah tanggung jawabku. Aku tidak mau menjadi bebannya.

"Saya mengerti maksud kamu, Nisa. Kalau kamu ingin mencoba berusaha, kamu bisa memulai sedikit demi sedikit. Dapur kotor di belakang bisa kamu gunakan. Ada peralaran bisa kamu cek fungsinya. Kamu ingin usaha apa?" tanya Umi. 

"Saya belum tahu produknya apa, Umi. Yang pasti, keahlian saya hanya memasak. Inginnya jualan makanan, tetapi makanan apa? Saya belum tahu kebutuhan di sini," jelasku.

"Ya silahkan saja. Kamu usaha apapun silahkan. Tetapi, tetap kalian tinggal di sini menemani Umi. Anak-anak sudah Umi anggap cucu sendiri. Kamu boleh keluar dari rumah ini kalau kamu akan menikah lagi," tandas Umi dengan menatapku tajam. Aku tersenyum mendengar perkataan yang terakhir.

"Umi, saya tidak ada kepikiran sampai sana. Bagi saya, Mas Ridwan masih hidup. Dia hanya belum pulang saja," ucapku sambil tersenyum.

***

Hari ini, aku membuat Sayur Bayam dan Nugget Ayam. Kemarin Umi bilang, ingin makan ayam tetapi yang gampang mengunyahnya.  Aku membuat agak banyak dengan beberapa variasi, original yang berisi daging ayam saja, nugget ayam wortel dan nugget ayam brokoli. Sebagian aku akan simpan di frezzer, jadi sewaktu-waktu bisa langsung di goreng.

"Mbak Nisa apa-apa bisa, ya. Hasilnya seperti di supermarket!" celetuk Bik Sari. 

"Aku foto boleh, tak pamerin temen-temenku," tambahnya. "Sekalian tawarin saja, siapa tahu laku. Nanti aku hitung harganya," ucapku dengan yakin.

Bik Sari menunjukkan kedua jempolnya. Dia memang mempunyai W******p Grup untuk asisten rumah tangga di komplek ini. Memang isinya sering kali tentang curhatan mereka, tetapi siapa tahu tawaran pertamaku laku.

"Nisa, kamu beli di mana ini? Enak. Bumbunya terasa, ayamnya segar. Ini ada wortelnya?" tanya Umi saat mencicipi nugget buatanku.

"Buat sendiri, Umi. Itu ada tiga rasa, original, wortel dan brokoli," terangku sambil mengambil tiga nugget dengan berbeda rasa dan aku sodorkan piring kecil ke Umi.

"Wak, enak ini. Kamu kreatif! Ini bagus untuk anak-anak. Apalagi yang susah makan sayur," ucap Umi sambil melanjutkan makan. 

"Ini bagus buat Bowo, dia juga tidak mau wortel," gumannya pelan.

"Mbak ... Mbak Nisa! Penting!" teriak Mbak Sari dari belakang. 

Setengah berlari dia menghampiri kami. Wajahnya terlihat sumringah sambil perlahan dia diam mengatur napasnya. Aku dan Umi memperhatikan dengan apa yang akan dikatakannya.  Apa yang penting?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status