Beranda / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Bab 11. Tidak Mau Menjadi Beban

Share

Bab 11. Tidak Mau Menjadi Beban

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-30 15:44:31

Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. 

Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.

Aku helakan napas dengan mata terpejam.

Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.

*****

"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. 

"Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...."

"Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung.

"Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahkan! Umi senang, kalau rumah ini terasa  hidup," jelasnya.

"Terima kasih. Terima kasih, Umi!" ucapku sambil meraih tangan dan menciumnya.

Alhamdulillah, aku merasa lega sudah di terima seperti keluarga di sini. Alhamdulillah, Allah sudah memberi jalan untukku.

Alhamdulillah.

***

"Nisa, asem-asemnya masih banyak. Tolong bungkus di rantang. Akan ada ojek online yang akan ambil. Alamatnya di kartu nama yang nempel di pintu kulkas!" ucap Umi. Dia sudah menggunakan mukenah bersiap untuk salat Duhur. Aku mencari kartu nama itu. Ada beberapa, mana yang dimaksud?

"Mbak Nisa di suruh Umi bungkus makanan?" tanya Bik Sari dari belakang. Dia membawa belanjaan dari minimarket.

"Iya Bik. Alamatnya di kartu nama yang mana, ya?" tanyaku sambil menunjuk beberapa kartu nama di sana.

"Maksud Umi pasti kirim ke Mas Bowo, Mbak. Ini kartu namanya. Dia keponakannya Umi," ucapnya sambil menunjuk kartu nama yang dimaksud. Bik Sari juga memberikan rantang untuk tempat makanannya. Wibowo Santoso, nama yang tertera di sana. Ada alamat kantor dan nomor ponsel. Kalau dia sudah bekerja, berarti orangnya sudah dewasa. 

"Pakai nasi, Bik?" tanyaku memastikan.

"Iya, Mbak. Lengkap!"

Aku bungkus Asam-Asam Daging menggunakan kantong plastik. Makanan aku tata dengan nasi di cetak dengan atasnya diberi bawang goreng sedikit, dan launya di sampingnya. Sendok garpu, aku bungkus menggunakan tissue dan di masukkan di tas kain yang Bik Sari berikan.

"Mbak Nisa, sudah selesai bungkusnya?" ucap Bik Sari tergopoh-gopoh. "Pak Ojeknya sudah di depan!" teriaknya.

"Ini, Bik. Sudah selesai, lengkap termasuk sendok dan garpu," ucapku sambil menyerahkan buntalan ini. Bik Sari langsung ke depan.

*

"Nisa, sudah diambil bekalnya?" tanya Umi. Wajahnya bergitu bersinar, memang aura setalah salat itu berbeda. Terasa menenangkan.

"Sudah Umi. Sudah saya sertakan nasi termasuk peralatan makannya," jelasku. 

"Selain pinter masak, ternyata kamu juga teliti, ya?" sanjung Umi.

"Kebiasaan, Umi. Dulu, Mas Ridwan kalau pergi dinas juga sering membawa bekal," terangku sambil melanjutkan mencuci peralatan masak.

"Mas Ridwan?" tanya Umi.

Deg!

Tanganku langsung berhenti.

Tak tersadar, aku menyebut namanya kembali. Mulutku seakan menghianati hati yang ingin segera menerima kehilangan ini. 

"Dia suami saya," jawabku sambil menunduk menyembunyikan mata yang mulai merebak.

Umi terlihat menyerngit, kemudian dia tersenyum dan menepuk pundakku. "Sabar, ya, Nisa. Yang di Atas pasti memberikan cobaan tidak melebihi kemampuan umatnya. Jadi, kamu yang kuat, ya."

***

Sudah dua minggu kami di sini. 

Umi Inayah sangat menyayangi kami. Alif dan Dwi dianggapnya cucunya sendiri, bahkan sering kali Dwi di curinya dari pelukankan untuk menemani tidurnya. 

Melihat itu, aku jadi teringat Emak Sayuti, Ibu Mertuaku. 

Bagaimana kabarnya?

Kata Mbak Fatimah, Emak baik-baik saja, walaupun terlihat agak kurusan. Emak sering mampir ke warungnya untuk membeli keperluan rumah tangga. Sering kali dia mencurahkan isi hatinya yang kesepian di rumah.

Tugasku di sini bertanggung jawab di dapur. Umi Ina menitipkan uang belanja setiap minggunya. Semua belanjakan aku catat rapi di buku termasuk perincian belanja dan sisa uang yang ada. Walaupun ini, Umi tidak menginginkan, aku tetap mencatatnya demi ketenangan hatiku. Aku tidak mau, hubungan baik nantinya ternoda dengan masalah uang.

Menu juga aku yang mengatur, kecuali Umi menginginkan menu lainnya. Hanya pesan Umi, setiap hari harus tersedia sayuran dan buah.

Kami di sini ditanggung semuanya oleh Umi. Pernah aku dimarahi, gara-gara belanja bahan makanan terpisah. Sebenarnya aku tidak nyaman, bagaimanapun biaya hidup kami adalah tanggung jawabku. Aku tidak mau menjadi bebannya.

"Saya mengerti maksud kamu, Nisa. Kalau kamu ingin mencoba berusaha, kamu bisa memulai sedikit demi sedikit. Dapur kotor di belakang bisa kamu gunakan. Ada peralaran bisa kamu cek fungsinya. Kamu ingin usaha apa?" tanya Umi. 

"Saya belum tahu produknya apa, Umi. Yang pasti, keahlian saya hanya memasak. Inginnya jualan makanan, tetapi makanan apa? Saya belum tahu kebutuhan di sini," jelasku.

"Ya silahkan saja. Kamu usaha apapun silahkan. Tetapi, tetap kalian tinggal di sini menemani Umi. Anak-anak sudah Umi anggap cucu sendiri. Kamu boleh keluar dari rumah ini kalau kamu akan menikah lagi," tandas Umi dengan menatapku tajam. Aku tersenyum mendengar perkataan yang terakhir.

"Umi, saya tidak ada kepikiran sampai sana. Bagi saya, Mas Ridwan masih hidup. Dia hanya belum pulang saja," ucapku sambil tersenyum.

***

Hari ini, aku membuat Sayur Bayam dan Nugget Ayam. Kemarin Umi bilang, ingin makan ayam tetapi yang gampang mengunyahnya.  Aku membuat agak banyak dengan beberapa variasi, original yang berisi daging ayam saja, nugget ayam wortel dan nugget ayam brokoli. Sebagian aku akan simpan di frezzer, jadi sewaktu-waktu bisa langsung di goreng.

"Mbak Nisa apa-apa bisa, ya. Hasilnya seperti di supermarket!" celetuk Bik Sari. 

"Aku foto boleh, tak pamerin temen-temenku," tambahnya. "Sekalian tawarin saja, siapa tahu laku. Nanti aku hitung harganya," ucapku dengan yakin.

Bik Sari menunjukkan kedua jempolnya. Dia memang mempunyai W******p Grup untuk asisten rumah tangga di komplek ini. Memang isinya sering kali tentang curhatan mereka, tetapi siapa tahu tawaran pertamaku laku.

"Nisa, kamu beli di mana ini? Enak. Bumbunya terasa, ayamnya segar. Ini ada wortelnya?" tanya Umi saat mencicipi nugget buatanku.

"Buat sendiri, Umi. Itu ada tiga rasa, original, wortel dan brokoli," terangku sambil mengambil tiga nugget dengan berbeda rasa dan aku sodorkan piring kecil ke Umi.

"Wak, enak ini. Kamu kreatif! Ini bagus untuk anak-anak. Apalagi yang susah makan sayur," ucap Umi sambil melanjutkan makan. 

"Ini bagus buat Bowo, dia juga tidak mau wortel," gumannya pelan.

"Mbak ... Mbak Nisa! Penting!" teriak Mbak Sari dari belakang. 

Setengah berlari dia menghampiri kami. Wajahnya terlihat sumringah sambil perlahan dia diam mengatur napasnya. Aku dan Umi memperhatikan dengan apa yang akan dikatakannya.  Apa yang penting?

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 56. Indah Pada Waktunya

    “Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 55. Kutitip Cinta di Atas Bukit

    (Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 54. Sebutan Papa

    Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 53. Bersamamu, Dunia Semakin Indah

    Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 52. Status Baru

    Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 51. Menjawab Keraguan

    Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status