Beranda / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Bab 8. Menuju Kota Harapan

Share

Bab 8. Menuju Kota Harapan

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-30 17:00:04

Bab 8. Menuju Kota Harapan

-------------------------------------

Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.

Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.

Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. 

Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.

Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sampai kapanpun di hati kami, namamu tetap bertahta. 

Aliran air semakin deras, tidak ada lagi aliran kecil, hujan seperti tertumpahkan. Begitu juga hatiku, rinduku semakin menganak. Rasa ini semakin sesak mendesak hati ini. Mas Ridwan, aku merindukanmu.

Aku sandarkan kepala, memandang jendela, berusaha melepas rasa sesak di dada. Namun rasa itu semakin mengarak seiring lagu mengalun yang diperdengarkan di mobil ini.

~

Aku masih ada di sini

Masih dengan perasaanku yang dahulu

Tak berubah dan tak pernah berbeda

Aku masih yakin nanti milikmu

Aku masih di tempat ini

Masih dengan setia menunggu kabarmu

Masih ingin mendengar suaramu

Cinta membuatku kuat begini

Aku merindu ... ku yakin kau tau

Tanpa batas waktu ... ku terpaku

Aku meminta walau tanpa kata

Cinta berupaya

Engkau jauh di mata tapi dekat di doa

Aku merindukanmu ....

~

Pandanganku memudar. Dengan sendirinya tetes air mata membasahi pipi ini. Sesekali aku mengusapnya, tetapi tidak bisa membendung derasnya air mata ini seiring derasnya hujan. Aku tak kuasa lagi.

Mas Ridwan, aku sangat merindukanmu.

***

"Bu ... Bu. Waktunya turun untuk makan."

Suara terdengar samar dan tepukan pelan di lenganku. Aku langsung terjaga, seorang ibu tersenyum kepadaku.

"Sudah sampai di perhentian. Kita bisa ke toilet dan sudah disiapkan makan. Ini kuponnya, tadi pak sopir menitipkan ke saya. Ucapnya dengan menyodorkan dua kertas kecil berstempel.

"Terima kasih, Bu," jawabku dengan tersenyum dan mengangguk. Mataku terasa lengket akibat tangisanku. Alif di sebelahku menggeliat, meregangkan tubuhnya. Tidur dengan posisi duduk pasti membuat tubuhnya terasa kaku. Dwi masih tertidur pulas.

"Ibuk, sudah sampai, ya?" tanyanya dengan berusaha melebarkan matanya. 

"Kok, masih gelap?" tanyanya kembali setelah mengintip keluar lewat jendela.

"Belum sampai, Kak. Ini kita berhenti istirahat dulu. Kakak, pipis dulu kemudian makan. Ayo turun," jelasku dan dijawab dengan anggukan.

Aku antar Alif ke toilet, setelah dia selesai, kami menuju tempat makan. Aku pilih tempat duduk yang berisi dua orang dan terletak di sudut ruangan. 

"Kak, Adek dipangku dulu, ya. Ibuk ke toilet sebentar. Tahu apa pesan Ibuk?" tanyaku dengan meletakkan Dwi yang tertidur di pangkuan Alif.

"Tidak boleh percaya dan banyak bicara dengan orang asing. Apalagi diajak pergi," jawab Alif dengan menatapku. 

"Pinter anak Ibuk!" ucapku dan langsung bergegas ke toilet. 

Aku berusaha mengajarkan Alif untuk mandiri dan menjaga diri. Apalagi, nanti di kota besar tujuan kami ini.

Setelah dari toilet, aku menukar kupon dengan dua piring rawon dan dua gelas teh hangat. Makanan ini pasti bisa menghangatkan dan menguatkan tubuh kami.

"Kakak sekarang makan, ya," ucapku seraya mengambil Dwi dari pangkuannya. Dengan lahap dia habiskan makanan di depannya.

"Ibuk, Surabaya itu yang pernah aku dan Ayah pernah ke sana, ya?" tanya Alif meneguk teh hangat. Aku yang masih makan, mengangguk untuk menjawabnya.

"Asik! Di sana rame lo, Buk. Mobilnya banyak, ada gedung tinggi-tinggi. Kata Ayah, nanti aku akan sekolah di sana," ceritanya dengan semangat.

Satu bulan sebelum peristiwa naas itu, Mas Ridwan diutus Dinas untuk mengurus keperluan kantor. Walaupun dia tenaga honorer,  tetapi karena dia bisa dipercaya akhirnya Mas Ridwanlah yang diutus oleh orang Dinas.  Saat itu, Alif diajaknya juga.

"Biarlah, Dek. Alif anak laki-laki harus tahu dunia luar. Sebagai anak pertama dia bertanggung jawab menjagamu dan adeknya. Jadi dari kecil, kita harus gembleng dia," jelas Mas Ridwan saat aku keberatan dia mengajak serta Alif.

Mas Ridwan, dirimu benar. 

Saat ini, Alif anak kita sudah bersikap dewasa dibandingkan anak seusianya. Dia seakan tahu tanggung jawabnya. Aku tersenyum sambil memandang Alif, bersyukur mempunyai anak yang luar biasa ini.

Setelah beberapa saat, dari pihak travel memberitahukan kalau perjalanan akan dilanjutkan. Kami para penumpang, bergegas masuk ke mobil.

"Ibuk, Alif bobok, ya. Masih ngantuk," ucapnya setelah menguap. 

"Tidurlah. Sini, bersandar di Ibuk." Gelengan kepala jawabannya.

"Ibuk nanti capek. Alif tidurnya gini aja," jawabnya. Tubuh kecilnya bersandar di jendela dan matanya mulai terpejam menyambut mimpi.

Anakku, Ayah pasti bangga kepadamu.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 56. Indah Pada Waktunya

    “Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 55. Kutitip Cinta di Atas Bukit

    (Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 54. Sebutan Papa

    Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 53. Bersamamu, Dunia Semakin Indah

    Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 52. Status Baru

    Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 51. Menjawab Keraguan

    Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status