Share

Bab 7. Sandiwara Kakak Ipar

Aвтор: Astika Buana
last update Последнее обновление: 2022-07-30 16:50:32

"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku.

"Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif. "Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya lagi seraya mengusap air mata di pipinya.

"Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku. 

"Terima kasih," ucapku mencium tangan Emak dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit.

"Mbak Rini, saya pamit," ucapku.

"Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis.

"Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras. 

Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sampai teriak keras seperti saat ini.

"Ayo! Minta maaf kepada Nisa!" teriaknya sambil menunjuk ke arah Mbak Rini. Kami semua kaget dan takut, terutama Mbak Rini. Wajahnya terlihat pucat pasi. Emak langsung berlari menghampiri Bapak dan menepuk lengannya untuk meredakan amarah yang sudah pecah ini.

"Ni-Nisa, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menuduhmu yng bikan-bukan," ucapnya dengan mata merebak merah. Aku menerima uluran tangannya, mungkin dengan ini dia bisa sadar. Dia menarikku dan merangkulku. 

"Kamu senangnya Bapak membentakku? Awas kamu, ya" bisiknya lirih. Ucapannya mengagetkanku, aku kira dia sadar ternyata tidak. Ucapannya seperti ancaman. Spontan aku melepas rangkulan dan menatap matanya yang berkaca-kaca.

"Nisa .... Maafkan aku. Aku salah. Maukah kamu mengurungkan niatmu untuk pergi?" ucapnya sambil menangis, airmatanya meluncur deras di pipinya. 

Aku terhenyak melihat apa yang di depanku. Mbak Rini dengan lihainya memainkan sandiwara. Berlawanan dengan apa yang dibisikkan, dengan yang aku lihat sekarang. Aku menghela napas mengurai keterkejutanku, dan tersenyum melihat tingkahnya. Segitu usahanya dia untuk membohongi Bapak dan Emak.

Akhirnya keputusanku benar-benar bulat, aku harus meninggalkan rumah ini. Fokusku sekarang adalah anak-anak.

"Nisa, bagaimana? Tidak usah pergi, ya. Rini sudah setuju kalian di sini," ucap Emak langsung menghampiriku. 

"Emak, terima kasih. Nanti pasti Nisa akan kasih kabar semuanya," ucapku mantap.

"Nis ...." ucap Emak dengan mata memohon.

"Maaf Emak," ucapku tersenyum. 

"Beneran, ya. Kalian jangan lupakan Emak. Alif, Dwi, jangan sampai mereka melupakan kami di sini, ya."

Aku mengangguk yakin.

Tin .... Tin ....

Mobil travel datang dan berhenti di depan rumah.

"Kami pamit," ucapku.

Aku yang menggendong Dwi mengikuti Alif yang sudah masuk ke mobil terlebih dahulu.

Bapak membantu membawakan tas pakaianku naik ke mobil. 

Dari jendela mobil, aku memandang wajah Emak yang terus dibasahi air mata dan Bapak yang merangkulnya mencoba menenangkan. Mereka melambaikan tangan dan sekilas aku lihat senyum lega Mbak Rini.

Mobil berjalan pelan meninggalkan rumah kenanganku bersama Mas Ridwan. Suamiku, maaf aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk menjaga Emak dan Bapak. Aku yakin, Mas Ridwan mengerti akan keputusanku ini.

Dari kaca belakang mobil, terlihat Emak berjalan cepat diikuti Bapak di belakangnya. Mobil semakin cepat, dan sosok mereka mengecil dan menghilang.

"Ibuk, jangan menangis lagi," ucap Alif sambil memeluk lenganku. Aku mengusap air mata yang membasahi di pipi. Alif, walaupun masih kecil, dia seperti tahu dengan apa yang terjadi. Dia selalu berusaha menghiburku.

"Tidak, Nak. Ibuk tidak akan menangis lagi. Kan ada Alif yang menjaga Ibuk," ucapku dengan merangkulnya dan mengecup kepalanya.

Ya Allah, tolong jaga kami.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 56. Indah Pada Waktunya

    “Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 55. Kutitip Cinta di Atas Bukit

    (Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 54. Sebutan Papa

    Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 53. Bersamamu, Dunia Semakin Indah

    Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 52. Status Baru

    Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 51. Menjawab Keraguan

    Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status