Home / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Bab 5. Tamu Penghasut

Share

Bab 5. Tamu Penghasut

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-07-30 16:40:08

Aku langsung berdiri ingin menghampirinya, akan aku buat dia tersadar! Kekesalan yang sudah terpatik membulatkan tekadku yang selama ini tertahan.  

Langkah kakiku terhenti tiba-tiba,  ketika suara hatiku berbisik mengingatkan apa yang dikatakan suamiku.  Berbicara dengan kekesalan tidak akam menyelesaikan masalah,  justru hanya akan menimbulkan keributan.  

Namun, dengan apa menyadarkan Mbak Rini? Dengan perkataan? Mana dia mengerti, pikirannya sudah dibutakan dengan apa yang dia yakini. Sama saja aku bicara dengan tembok, hanya membuat ribut tanpa ada penyelesaian.

Percuma!

Aku terduduk kembali dan menyebut nama-Mu. Menghilangkan amarah yang sudah menguasai hati ini.

*

"Rini .... Pokoknya, kamu harus kuat. Jangan sampai dikalahkan si Nisa. Dia itu pinter mengambil hati, bisa jadi Hasan anakmu tidak mendapat warisan karena dikuasai dia." 

Suara bisik-bisik, tetapi masih terdengar jelas dari kamarku. Dari suaranya seperti Bu Rusmini, adik dari ibu Mbak Rini. Dia memang dekat dengannya. Aku mendekatkan telingaku di lubang pintu, memperjelas pembicaraan mereka.

"Apalagi anaknya Alif, itu laki-laki. Bisa jadi kamu yang ditendang dari sini. Terus kamu mau ke mana? Ke rumah Ibumu? Mau tinggal dengan Bapak Tirimu yang jahat itu?" ucapnya lagi. 

"Tidaklah!" Suara Mbak Rini dengan keras.

"Bagaimanapun anaknya Sardi hanya kamu saja. Ridwan itu anak angkat, apalagi sekarang dia sudah mati. Iya, kan? Yang kasihan itu kamu, selama ini dibuat bodo. Tidak disekolahkan. Akhirnya gini, kamu dimanfaatkan saja!" ucapnya seakan memanasi Mbak Rini. 

Aku intip, Mbak Rini terlihat mengangguk-angguk saja. 

Dia memang pendek pemikirannya, tetapi kenapa tidak ada sisa ingatan bahwa kami menyayanginya? Kenapa malah lebih percaya kepada orang yang tidak pernah ada untuknya? Kalau Bu Rusmini sayang dengannya, kenapa dari kecil tidak merawatnya. Malah Emak Sayuti yang membuat dia bisa bangkit.

"Aku sudah berusaha menyuruhnya pulang, tapi Nisa tetap tidak mendengarkan. Entah, apa yang harus aku lakukan," jawab Mbak Rini.

"Ssstt ... Rin, Bulik Rus kasih tahu. Bagaimana kalau  ke orang pinter. Tinggal ditiup, beres."

"Bisa cepet memang?"

"Bisalah. Nanti Bulik bantu. Biayanya cuma lima ratus ribu. Murah itu, dibandingkan warisan yang akan kamu dapatkan."

"Mau aku. Tetapi uangnya belum ada, minggu depan Bulik ke sini, ya. Aku siapkan uangnya dulu," ucap Mbak Rini. 

"Siplah. Jangan lama-lama. Keburu warisannya dia keruk habis! Eh, dia di mana? Omongan kita tidak dia dengar, kan. Aku tidak enak, nanti dipikirnya aku ngompori kamu. Padahal, bantu ponakan tersayangku ini saja."

"Dia tidur. Seharian kerjaannya gitu. Seperti benalu saja!" jawab Mbak Rini.

"Wes, aku pulang, ya. Ingat, minggu depan siapkan uangnya," ucapnya dan beberapa saat kemudian terdengar pintu depan tertutup. 

Aku terduduk lemas di belakang pintu kamar. Percakapan mereka membuatku ngeri. Ternyata yang dipermasalahkan warisan. Aku saja tidak pernah berpikir tetang hal ini, apalagi berniat menguasai rumah ini. Entah apa yang akan terjadi kalau dia meluluskan niatnya. Bisa jadi tidak hanya kami dibuatnya pergi, lebih ngeri lagi kemungkinan nyawa taruhannya seperti cerita-cerita yang sering beredar. 

Kegigihannya sampai berniat meminta bantuan orang 'pintar', membulatkan niatku untuk meninggalkan rumah ini. Keselamatan kami yang harus aku utamakan. Entah, bagaimana caranya kami hidup, pasti yang di Atas memberi jalan.  

Namun, untuk kembali ke kampung halamanku terasa berat. Bisa jadi keluar dari masalah di sini dan membuat masalah baru. 

Aku yakin, ini jalan yang terbaik untuk semuanya. Aku teringat ucapan Mbak Fatimah saat pengajian, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya.”

Hatiku sudah mantap, sekarang tinggal mencari waktu bicara dengan Emak dan Bapak untuk meminta restunya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 56. Indah Pada Waktunya

    “Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 55. Kutitip Cinta di Atas Bukit

    (Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 54. Sebutan Papa

    Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 53. Bersamamu, Dunia Semakin Indah

    Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 52. Status Baru

    Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 51. Menjawab Keraguan

    Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status