Satu bulan kemudian...Angin berhembus kencang, pepohonan tua bahkan bergemuruh karenanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, hanya sebuah lentera berapi kecil yang menjadi penerang.Amarta merasakan kaki telanjangnya menginjak bebatuan berselimut tanah basah, "Jalan setapak ini? Aku tahu jalan ini...kenapa aku kembali ke sini?" Netranya menyusuri sekeliling, merasa janggal dengan apa yang ia lihat.Suara geraman terdengar dari arah semak belukar, membuat tubuhnya merinding. Dengan terpaksa Amarta melanjutkan langkahnya. Ia berusaha berlari namun kain jarit yang membalut tubuhnya membuat langkahnya terhambat. Beberapa kali kakinya tersandung bebatuan, luka gores yang menimbulkan rasa perih pun tak lagi ia gubris."Kenapa aku kembali ke sini? Kenapa? Dimana letak Kaputren itu? Aku harus menemukannya!" Amarta mulai menggila, begitupun dengan suara-suara aneh di dalam hutan. Ada yang seperti mentertawakannya, ada pula suara samar yang mengajaknya untuk singgah. Hingga akhirnya semua suar
Sarah dan Mbok Inah saling bertukar pandangan. Mereka menyadari ada lubang hampa tepat dihati Amarta."Bagaimana bisa dia hidup seperti itu selama ini," batin Sarah.Melihat keheningan dan rasa canggung pada Sarah dan Amarta, mbok Inah langsung berinisiatif mencairkan suasana, "Eh ayo non ini makanannya dihabiskan. Takut dimakan kucing nanti." Mbok Inah memaksakan diri untuk tertawa.Amarta hanya mengangguk kemudian mulai memakan hidangan yang dimasak mbok Inah. Mbok Inah sudah sebulan tinggal bersama Amarta di villa milik Sarah. Orang tua Sarah memberikan villa itu dan juga uang beserta barang mewah lainnya sebagai rasa terimakasih mereka padanya. Melihat suasana sekitar Villa yang tenang membuat Amarta merasa nyaman tinggal di sana.Namun ketenangan itu membuat Amarta lalai akan tugasnya. Sepertinya 'mereka' mulai tidak suka dengan sikap santai yang Amarta perlihatkan."Jam berapa aku harus ke pesta pernikahan mu?" tanya Amarta.Sarah menenggak air tawar didalam gelas bening lalu me
Para lelaki berseragam itu mematung. Tak ada yang menjawab sapaan Amarta, mereka seperti tersihir. Hingga akhirnya lamunan mereka terpecah oleh suara Bima. "Guys? Emang ya dasar laki. Minimal sadarlah kalian tuh mulut udah keluar air liur segitu banyak," ucap Bima dengan nada candaan.Amarta menutup mulutnya berusaha menahan tawa mendengar perkataan Bima.Satu persatu dari mereka mulai sadar dan tersenyum canggung menyadari hal bodoh yang baru saja terjadi."Wah Bima, dihari pernikahan ini bukannya mendapat kado, tapi kamu malah memberi kita semua kado yang sangat istimewa." "Perkenalkan nama saya Tomy," lanjutnya seraya mengulurkan tangan. Lelaki pertama yang memperkenalkan dirinya terlihat cukup tampan. Dengan kulit putih dan tubuh atletis. Dua buah lesung pipi juga mempermanis wajahnya."Hai Tomy, Aku Amarta." Pandangan mereka bertemu. Netra hitam milik Tomy seolah berusaha menyelam ke dalam tatapan tenang milik Amarta. Ia berusaha mengulik kebenaran dari pandangan wanita itu.
"Kapan kita mulai berkencan?" Frans mengulang pertanyaannya.Tomy mematung melihat kegilaan di hadapannya. Pandangannya beralih ke arah Amarta. Wanita itu jelas tidak boleh ia lewatkan. Namun berkencan dengan dua lelaki sekaligus? Itu terdengar gila bahkan baginya yang seorang pemain."Baiklah, aku ikut. Apapun itu, jangan sampai kalian mulai tanpa aku!" Tomy melepaskan kerah baju Frans. Lelaki itu berjalan dengan sedikit tertatih menuju ke arah Amarta. Wajahnya babak belur, darah mengalir dari sudut bibirnya. Namun sepertinya itu tidak menghentikannya untuk ikut mengambil ciuman dari Amarta.Tanpa ragu tangan besarnya menangkup wajah Amarta, menggiringnya mendekat. Tomy mencium Amarta didepan Frans yang juga tidak bisa berkutik. Sebuah ciuman yang gegabah dan sangat tergesa-gesa. Setelah cukup puas Tomy melepaskan tautannya. Lelaki itu menatap Amarta dan membisikan sebuah kalimat tepat telinganya, "Ini hari pertama kita, aku harap kamu bisa berlaku adil terhadap kami berdua." Tomy
Hari itu langit cerah. Mereka memilih bertemu di taman. Sejujurnya, Amarta sedikit kebingungan mengenai kencan kali ini. Dia hanya punya pengalaman menikahi lelaki dan dijadikan simpanan. Semua aktivitasnya bersama lelaki hanya dilakukan di dalam kamar, tidak lebih dari itu."Kenapa aku harus mengajak mereka berdua berkencan! Tidak aku sangka ini akan sangat merepotkan," batin Amarta.Sudah satu jam mereka di taman. Sebagai besar waktu dihabiskan dengan berdebat. Tomy dan Frans terus-menerus berdebat tentang hal-hal yang sepele."Sebaiknya kita ke restoran cepat saji saja," cetus Tomy."Tidak, aku ingin makanan sehat." Frans menimpali."Ya terserah kemana saja asal Amarta naik mobilku." Tomy kembali bersuara."Amarta? Kamu mau naik mobil jelek milik Tomy?" Frans bertanya.Amarta memasang wajah lelahnya. Sepertinya tidak ada harapan. Dia terlalu percaya diri dapat menangani dua lelaki sekaligus."Aku pulang saja." Ucap Amarta kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan bangku taman yang
Tak ada yang lebih menghanyutkan dibandingkan dengan perasaan manusia. Itu seperti arus tenang di lautan dalam. Gelombangnya tak terlihat namun ia dapat menghanyutkan sampai ke dasar. Hal itulah yang selalu diingat oleh Amarta. Walau sudah hidup ratusan tahun, hatinya tetap terjaga. Tak pernah ada yang masuk ke dalam walau ramai suara ketukan pada pintunya."Aku sudah bosan, kemarin aku sudah menonton film bersama Tommy." Gerutu Amarta pada Frans.Frans menghela nafas. Sudah dua jam berlalu namun suasana diantara mereka masih terasa canggung. Dia memang tertarik dengan Amarta, namun kurangnya pengalaman dalam menghadapi perempuan membuatnya sedikit tegang."Mau ke rumahku? Kita bisa makan malam bersama," usul Frans."Pesan antar? Tidak. Lebih baik makan langsung di restoran." Jawab Amarta tak berminat."Aku yang akan memasak," ucap Frans singkat.Amarta melemparkan pandangannya ada Frans, air mukanya seolah bertanya "Benarkah?" Frans sepertinya mengerti dengan jelas lewat ekspresi A
Wajah Frans terlihat menahan amarah. Garis rahangnya tegas dan kasar, kedua bibirnya mnegatup rapat. Tatapannya tajam dan sangat mengusik hati Amarta."Lelaki ini berbahaya," batin Amarta."Menuruti keinginanku? Memang kamu tahu apa yang aku inginkan?" Frans mengendorkan cengkramannya pada tangan Amarta.Wajah Amarta meringis kesakitan, ditambah suasana yang sudah sangat tidak nyaman diantara mereka berdua. Rasanya Amarta ingin segera pergi dari sana. Seharusnya Amarta tahu sejak awal bahwa Frans adalah jenis lelaki yang seharusnya ia hindari."Jangan seperti ini Frans." Amarta mendorong tubuh Frans perlahan."Lalu kamu ingin aku bagaimana? Aku tidak suka terus bermain-main." Jawab Frans dengan suara baritonnya yang tegas."Aku tidak suka lelaki seperti mu!" bisik Amarta."Tidak suka? Lalu apa kamu menyukai lelaki seperti Tomy? Lelaki yang selalu menjadikan wanita sebagai permainan?" Amarah Frans semakin menjadi.Amarta menatap sengit Frans yang juga menatapnya tak kalah tajam. Dengan
Sejenak pandangan mereka bertemu. Tatapan mendamba dari sepasang kekasih jelas ketara. Tommy mengerti apa yang dimaksud oleh Amarta. Dia bukan pemuda polos tanpa pengalaman. Namun dalam hatinya bertanya, "Secepat inikah dia memberikan apa yang seharusnya ia jaga baik-baik?" Dengan manja jemari Amarta menari di atas dada bidang milik Tommy. Tangannya terampil membuka satu persatu kancing kemeja lelaki dihadapannya itu."Tu-tunggu... Apa maksudnya ini?" tanya Tommy terlihat ragu.Amarta tersenyum, "Apa? Ayolah... Jangan pura-pura polos." "Tapi kita baru satu bulan-" Amarta menaruh jarinya pada bibir Tommy, membuat lelaki itu kehilangan kata-katanya."Ayo!" Amarta menarik tangan Tommy menuju kamarnya."Jawab jujur, kamu mau tapi malu atau memang tidak tertarik?" Amarta dengan paksa menarik tubuh Tommy hingga lelaki itu duduk di atas tempat tidur."Bukan begitu! Aku cuma sedikit kaget," jawab Tommy.Amarta menghela nafas. Ia menyapu lembut wajah Tommy, "Kalau kamu takut, maka lakukan s