"Pak, kunci rumah yang di kebun mana?" Bapak tercengang melihatku. Bukannya langsung memberi kunci yang kuminta."Mana Pak?" tanyaku lagi. Mungkin, kalau ada yang melihat sikapku sama Bapak dan Ibu saat ini. Pasti akan menganggap aku orang yang tak tau bersopan santun pada orangtua. Biarlah, aku juga tak pandai pura-pura kalau aku baik-baik saja sekarang. Hatiku sakit, dan aku belum menemukan cara untuk mengobatinya.Bapak bangkit, tanpa bicara apa pun. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Kuambil gawaiku, segera aku memesan taksi online. Ibu terus saja memperhatikanku, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Aku mengalihkan pandangan ke halaman rumah. Malas melihat Ibu yang sepertinya ingin mengajakku bicara. Tak ada yang perlu dibicarakan sama Ibu.Paling mau minta maaf, dengan alasan khilaf. Khilaf kok menikmati?!Mas Bima keluar dengan membawa tas besar yang aku yakin berisi baju-bajunya. Diambil alihnya koper yang aku letakkan di pinggir teras."Ini kuncinya." Bapak keluar rumah,
"Divya, lantainya sudah kering. Istirahatlah di dalam." Mas Bima memanggilku dengan lembut.Tak berubah sama sekali. Begitulah Mas Bima, bicaranya selalu saja lemah lembut padaku, hingga membuatku terbuai dan tidak mewaspadainya sama sekali. Siapa yang sangka, suami penyayang dan perhatian seperti Mas Bima, bisa juga menyakiti hati istrinya. Bahkan jauh lebih sakit dari dipukul rasanya. Aku bangkit, langsung berjalan melewatinya. Tanpa meliriknya sedikitpun, meski dengan ekor mataku. Kamar tujuanku, aku ingin tidur saja. Mataku memang sangat mengantuk, karena satu malaman aku tak tidur. Beruntung Arsen kalau tidur bisa lama. Kalaupun bangun, paling sebentar saja, lalu bisa tidur lagi. Kulihat kamar sudah rapi dan bersih. Kuturunkan Arsen perlahan, dan menidurkan tubuh mungil anakku ke atas tilam yang sudah ditutup sprei warna hijau bermotif bunga. Kurebahkan juga tubuhku di sebelah Arsen. Kuelus lembut pipinya yang tembem. Walau mengantuk, mataku masih sangat sulit terpejam. Waktu
Aku masuk lagi ke kamarku. Ingin rasanya kubanting dengan kuat pintu ini, tapi aku takut Arsen akan terkejut. Apalagi kulihat dia mulai menggeliat. Sudah waktunya dia bangun tidur. Mindaku terus berputar. Memikirkan cara agar Ibu bisa bertaubat. Di satu sisi, dia ibuku. Tapi di sisi lain, dia pelakor suamiku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bapak, kenapa Bapak begitu mudah luluh hatinya? Tidakkah beliau merasa, bahwa harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Ibu? Paling tidak, berilah hukuman yang pantas supaya Ibu kapok. Kejadian tadi, sudah cukup membuka mataku. Untuk mengetahui, bahwa jarak yang jauh tak berpengaruh pada hubungan terlarang Mas Bima dan Ibu. Baru lagi sehari kami di sini, mereka sudah kangen-kangenan. Pake acara saling lihat video tak senonoh lagi! Mata Arsen mulai terbuka. Aku tersenyum melihatnya. Setiap melihat Arsen, sejenak aku bisa melupakan amarahku pada Mas Bima. Lebih baik sekarang, aku fokus pada Arsen dulu. Sepertinya, aku juga harus mengundurkan d
"Bik, coba Bibik tenang dulu. Cerita yang bener apa yang terjadi?" tanyaku. Soalnya Bik Sum bercerita dengan keadaan panik, jadi aku masih belum mengerti maksudnya. Satria yang sudah di atas motor maticku, memandangku dengan wajah heran. Aku masih berdiri di depan pintu rumahku saat ini."Gini loh Mbak. Tadi Buk Niken datang, langsung marah-marah sama Ibu. Katanya Ibu pelakor. Tapi Ibu melawan Mbak. Buk Niken bawa anaknya sama adeknya," jelas Bik Sum. Ibu dibilang pelakor sama Buk Niken? Nggak salah? Apa selain dengan Mas Bima, Ibu juga menjalin hubungan gelap sama Pak Danu? Suami Buk Niken. Salivaku mendadak kering. Gila aja, kalau benar Ibu seperti itu.Panggilan Bik Sum berubah jadi panggilan video. Segera kuterima. Bik Sum memvideokan, adegan dimana Ibu dicaci maki sama Buk Niken dan keluarganya. Tapi Ibu kelihatan nggak kalah sengit. Tak begitu jelas apa yang dibicarakan, karena sepertinya Bik Sum memvideokan dari dapur, sementara adegan itu sepertinya ada di ruang tamu.Bik S
"Divya! Malah bengong! Bantuin Ibu!" teriak Ibu lantang padaku. Sontak banyak mata memandang ke arahku. Sialan sekali Ibu! Ngapain dia bawa-bawa namaku. Berani berbuat, yang tanggung sendiri lah. Nggak mungkin, Bu Niken asal saja datang langsung melabrak bahkan buat keributan tanpa sebab. Apalagi, setahuku. Sejak lama Bu Niken sudah pindah jauh, meski masih di kota yang sama. Kalau nggak salah, saat aku kelas tiga aliyah. Waktu itu, heran juga sih, lihat keluarga Bu Niken pindah dengan tiba-tiba. Apalagi Pak Danu, suaminya, baru aja naik jabatan jadi sekretaris desa waktu itu. Jengah sekali aku dipandangi begitu. Malah pada saling berkasak-kusuk pula. Yang bikin tambah malu, ada beberapa juga orang tua muridku. Karena sekolah tempatku mengajar, memang tak jauh dari rumah. "Divya!" teriak Ibu lagi. "Males! Kayak anak-anak semua! Udah pada tua, masih suka berantem. Ya udah, terusin aja! Kalau memang bisa menyelesaikan masalah. Paling kalau parah, pada bonyok tuh muka!" sahutku. Aku
"Sebentar Dek," bisikku, tetap tak mau beranjak dari tempatku berdiri. Satria tak lagi membujukku, dia keluar lagi. Biarin aja dulu. Sebentaran doang. Sebelum azan Maghrib kami baru jalan."Saya sudah kasih apa yang kamu mau waktu itu, lalu kenapa kamu datang lagi sekarang? Masalah itu, sudah sangat lama berlalu." Aku semakin penasaran, ada apa sebenarnya ini?"Tapi Pak, Bu Malikah, masih suka berhubungan dengan suami saya," kata Bu Niken. "Sembarangan kamu! Kapan saya menghubungi suamimu lagi?" tanya Ibu dengan nada suara yang terdengar marah."Buktinya, saya lihat di hape suami saya. Ada panggilan atas nama Malikah," sengit Bu Niken."Belum tentu itu saya kan? Enak aja kamu! Yang namanya Malikah banyak." "Tapi cuma kamu yang pernah jadi pelakor suami saya!" Hah! Aku nggak salah dengar? Berarti benar laporan Bik Sum tadi. Gila! Ibu maniak ternyata. Apa ini, penyebab Bu Niken pindah tiba-tiba dulu?"Sudah-sudah! Tunggu suamimu datang. Biar dia yang menjelaskan. Bu, jujur sama Bapa
Cepat aku berjalan keluar rumah. Benar saja, Mas Bima dan Satria udah saling tendang, kayak jagoan. Kalau Satria, aku tau sih, dia itu memang pemegang sabuk hitam taekwondo. Tapi Mas Bima, dia asal aja bertarung. Pengen dibiarin aja sih, biar Mas Bima bonyok dihajar sama Satria. Tapi kalau ada apa-apa, aku juga yang repot. "Stop!" teriakku. Tapi suaraku tak didengar sama sekali. Huff, terpaksa turun tangan nampaknya. Bak pahlawan kesiangan, aku berusaha melerai mereka. Tapi mereka tetap saja membabi buta, saling pukul juga saling tendang. Sampai tiba-tiba, aku terhuyung ke belakang. Pipiku sakit sekali, kepalaku mendadak pusing. Bibirku terasa perih."Kak!""Divya!"Kudengar Mas Bima dan Satria berteriak histeris melihatku. Tau-tau aku sudah ada di pelukan Satria."Maafkan Mas, Divya. Mas nggak sengaja," kata Mas Bima berusaha mendekatiku, tapi tangannya ditepis oleh Satria.Tadi Mas Bima mengarahkan bogemnya ke wajahku. Mungkin hendak memukul Satria, tapi karena aku menghalangi, j
Meski raut wajahnya tak ceria seperti biasa, habis juga mi yang kusuguhkan untuknya. Lapar mungkin. Kuangkat piring bekas kami makan dan mencucinya. Kali ini, Satria harus buka mulut. Tapi bagaimana caranya ya? Apa aku saja yang duluan cerita sama dia, tentang masalah rumah tanggaku."Kamu kok kelihatan gusar sekali. Cerita lah sama Kakak. Apalagi itu menyangkut Mas Bima. Bagaimanapun, Mas Bima, Ayah Arsen, ponakan kamu." Satria malah bangkit, berjalan perlahan masuk ke dalam area kebun kecilku. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, juga mengusap wajahnya. Sepinya di kebun malam ini, bahkan bisa membuat aku mendengar suara helaan nafasnya. Meski kami tak duduk bersebelahan. "Belum saatnya Kakak tau. Tapi Satria janji, Satria akan cerita suatu saat nanti," katanya. Ya sudahlah, akan percuma memaksanya untuk cerita."Ya udah, kalau nggak mau cerita. Mungkin kamu butuh waktu. Kakak masuk dulu, capek banget, seharian terus saja melihat orang berantem. Besok, temani Kakak ya." "Kemana?