Meski raut wajahnya tak ceria seperti biasa, habis juga mi yang kusuguhkan untuknya. Lapar mungkin. Kuangkat piring bekas kami makan dan mencucinya. Kali ini, Satria harus buka mulut. Tapi bagaimana caranya ya? Apa aku saja yang duluan cerita sama dia, tentang masalah rumah tanggaku."Kamu kok kelihatan gusar sekali. Cerita lah sama Kakak. Apalagi itu menyangkut Mas Bima. Bagaimanapun, Mas Bima, Ayah Arsen, ponakan kamu." Satria malah bangkit, berjalan perlahan masuk ke dalam area kebun kecilku. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, juga mengusap wajahnya. Sepinya di kebun malam ini, bahkan bisa membuat aku mendengar suara helaan nafasnya. Meski kami tak duduk bersebelahan. "Belum saatnya Kakak tau. Tapi Satria janji, Satria akan cerita suatu saat nanti," katanya. Ya sudahlah, akan percuma memaksanya untuk cerita."Ya udah, kalau nggak mau cerita. Mungkin kamu butuh waktu. Kakak masuk dulu, capek banget, seharian terus saja melihat orang berantem. Besok, temani Kakak ya." "Kemana?
Kusandarkan punggungku di kepala tempat tidur. Kuelus lembut pipi Arsen yang gembul. Gemas sekali melihatnya. TINGSuara notifikasi, pertanda ada pesan masuk di aplikasi gagang telepon. "Bulek Ratmi," gumamku. Segera ku klik pesannya.[Divya] isi pesan Bulek Ratmi. Mungkin dia hanya ingin memastikan, aku sudah tidur apa belum, makanya hanya mengetik namaku.Bulek Ratmi memang sangat perhatian. Hampir setiap hari dia selalu bertanya kabarku. Aku juga selalu saja merasa nyaman, mencurahkan isi hatiku padanya. Apalagi sekarang, tak ada lagi yang perlu kututupi darinya.[Ya Bulek] balasku.[Kok belum tidur?] tanyanya.[Lagi suntuk] balasku lagi. Bulek Ratmi [Bima berulah lagi?]Aku [Tidak dengan Divya, tapi sama Satria] Bulek Ratmi [Kok bisa?]Aku [Divya juga nggak tau, Bulek. Satria seperti menyembunyikan sesuatu]Bulek Ratmi [Menyembunyikan apa maksudnya?]Aku [Entahlah Bulek. Satria belum mau cerita]Seperti biasa, kami terus berbalas pesan. Aku ceritakan semua sama Bulek, tentang
Jujur saja, hatiku girang bukan kepalang dapat pesan dari penulis favorit. Cepat kubuka aplikasi bergambar petir itu. [Assalamualaikum] Dia hanya mengirimkan itu saja.[Waalaikum salam] Cepat langsung kubalas salamnya. Hatiku berdebar-debar menunggu balasan darinya.[Apakah saya mengganggu?] pesan darinya lagi. [Tidak sama sekali. Kebetulan saya juga belum tidur] balasku.[Oh, saya juga sedang menulis. Tadi membuang rasa jenuh, saya berselancar ke fb. Tak sengaja nemu postingan Mbak. Hati saya tergelitik untuk support Mbak. Sepertinya Mbak sedang dalam masalah berat ya? Maaf, kalau saya kepo] Ternyata dia orang yang peka. Apakah semua penulis sama? Punya rasa peka yang tinggi seperti dia. [Nggak kok Mbak. Iseng aja] balasku dengan menyematkan emot senyum.[Alhamdulillah kalau begitu. Saya pernah di titik terendah dalam dalam saya. Tapi sejak saya menulis, segala rasa itu bisa saya alihkan ke tulisan saya. Saya jadi tak fokus lagi pada masalah saya. Apa Mbak ada keinginan jadi penu
Arsen telungkup di atas tilam kecilnya. Aku lupa kalau Arsen mulai belajar menelungkupkan badannya. Cepat kuraih tubuh mungil anakku. Menyusuinya sebentar. Biar sajalah, Mas Bima dan Satria diurus Lek Noto dan yang lain. Aku lebih baik fokus pada Arsen saja. Kuelus lembut rambut anakku yang basah. Pasti dia tadi cukup lama telungkup, makanya sampai menangis kencang. Arsen belum bisa membalik badannya lagi, pastinya dia kelelahan, hingga kepalanya keringatan. Sembari mengelus kepala Arsen, aku berdoa dalam hati, agar kelak dia tak mewarisi sifat jahat ayahnya. Tak lama, Arsen tidur dengan posisi masih menempel di dadaku. Untunglah dia tak terganggu dengan suara ribut-ribut di luar. Entah apalagi yang terjadi? Apa Lek Noto berhasil menarik tubuh Satria tadi?Kuangkat tubuh mungil Arsen. Kubawa ke kamar. Dengan perlahan, kuletakkan di atas tilam. Di sisi sebelah kanan dan bawah kuletakkan guling. Sebagai pembatas. Walaupun Arsen baru pandai menelungkupkan badan saja, tetap saja, aku kh
"Pak, maksud Bapak apa, bilang Satria bukan muhrim Divya?" selidikku.Kulihat Satria menatap tajam sekali pada Bapak. Sampai rahangnya tampak mengeras. Dia sepertinya sangat marah mendengar Bapak bilang kami bukan muhrim. "Maksud Bapak, kalian sudah bukan anak kecil lagi. Tak pantas kalau tinggal serumah, kalau tak ada suamimu di rumah." Aku tak percaya dengan apa yang Bapak bilang. Apalagi Bapak bicara tanpa menatap wajahku. Beliau mengalihkan pandangan keluar rumah. Takut aku akan melihat kebohongan di matanya."Bapak yakin, setelah kejadian ini. Bima tak akan pulang," sambung Bapak."Divya nggak peduli sama dia! Pak, kenapa Bapak jadi seperti ini? Mana Bapak Divya yang tegas dan berwibawa. Laki-laki itu! Laki-laki yang selalu Bapak bela itu! Dia sudah melempari wajah Bapak dengan banyak kotoran! Kenapa Bapak diam saja! Bertindak Pak! Penjarakan dia! Divya yakin, Bapak sudah cukup punya banyak bukti kan? Kenapa Bapak justru mengasingkan anak-anak Bapak karena dia!" cecarku. Dadaku
Cepat kuhabiskan sisa nasiku, dan meletakkan piring bekas makan di meja begitu saja. Segera kubasuh tanganku. Berulang kali kudengar suara yang sama di atas atap rumah. Ini sudah hampir tengah malam. Siapa yang iseng melempari atap rumah dengan kerikil? Baru lagi aku akan melangkah keluar, suara itu hilang. Ah, mungkin aku salah dengar. Lebih baik aku ke kamar, mencoba untuk tidur, agar segar besok. Besok aku jadi ingin mengajukan gugatan cerai pada Mas Bima ke kantor pengadilan agama. Tak perlulah mengikuti cara yang dianjurkan R Wulandari. Saat ini, kadar keimananku sedang diuji. Jangan sampai aku menjadi musyrik karena rasa benciku pada Mas Bima. Jujur saja, berdamai dengan diri sendiri saja masih sangat sulit kurasa. Tapi aku juga tak mau, mengorbankan imanku. Saat membuka pintu kamarku, aku melirik Satria yang masih sangat lelap. Dia terlihat sangat lelah. Kubuka pintu kamarku perlahan, agar Arsen tidak terganggu. Kututup lagi dengan pelan. Berjalan pun sangat hati-hati, begi
"Sepertinya ada yang mencoba mengirimkan teluh, santet!" bisik Bik Marni dengan mata melotot menyeramkan saat melihatku. Seketika suasana di kamarku mendadak jadi horor, bulu kudukku hingga meremang. Mataku jadi liar kesana kemari, aku jadi paranoid sendiri, merasa ada yang mengawasi. "Tapi itu hanya pikiran saya saja Mbak," kata Bik Marni. Kali ini sikap dan ekspresinya biasa saja, setelah dia berhasil membuatku ketakutan. Arsen sudah lelap kembali tidurnya. Namun kali ini, kubiarkan dia tetap berada dalam gendonganku. Aku tak mau, terjadi apa-apa dengan Arsen mengingat kejadian tadi."Kita keluar yuk Bik," ajakku pada Bik Marni, setelah merapikan kain gendong Arsen. Kumasukkan semua tubuhnya ke dalam jarik, sehingga aku bisa bergerak dengan leluasa. Di luar kamar, aku melihat Satria yang masih tergeletak tak berdaya, hanya ditungguin Lek Noto dan Mas Yudi. Sementara di luar, masih ramai orang. Apa yang terjadi, hingga Satria jadi begini? Apa benar yang dibilang Bik Marni, kalau
Tubuhku rasanya sangat tak bertenaga pagi ini. Mungkin efek kurang tidur, juga lelah hati dan pikiran. Namun, memiliki anak seusia Arsen, membuatku tak bisa membuang banyak waktu untuk sekedar berleha-leha di atas kasur. Aku tetap saja bangun di subuh hari, usai menunaikan sholat aku mencuci baju-baju kotor. Di rumah ini, semua kukerjakan sendiri. Tak seperti di rumah Bapak, yang semua dikerjakan oleh Bik Sum. Tak mengapa, aku cukup senang kok, menikmati aktifitasku sebagai seorang Ibu baru. Usai menjemur kain, aku mendengar suara mesin mobil. Pasti itu Bapak. Aku siapkan dulu, menjemur kain dan baju-baju yang sudah kucuci. Mumpung cuaca cerah. Paling Bapak menunggu di teras. Hari ini rencananya aku mau lihat keadaan Satria. Mudah-mudahan, penanganan medis bisa menolong Satria. Aku benar-benar berharap, Satria cepat pulih kembali. Tak ada tempatku bersandar saat ini, selain Satria. Hanya dia yang bisa melindungiku."Sudah siap?" Aku sangat kaget, ternyata Bapak ke belakang. Mungkin