Share

Bab 9

"Vania, apa kabar?"

Seorang lelaki dengan senyum terbaiknya telah berdiri sambil mengulurkan tangannya di hadapan mereka. Seketika membuat Vania gugup. Kekhawatirannya menjadi kenyataan karena mantan kekasih yang ingin dihindarinya kini telah berdiri dihadapannya.

Sambil mengulas senyum tipis, Vania menjawabnya, tanpa ia sadari jika ada sepasang mata dengan sorot mata yang dingin kini tengah mengawasinya

****

"Kudengar kau sudah menikah?" Gio berbasa-basi.

"Iya, aku sudah menikah." Jawab Vania cepat.

Pandangan mata Gio begitu intens memandang gadis yang berdiri dihadapannya. Membuat Vania seketika mengalihkankan pandangannya.

Untuk sesaat Vania merasa sesak dan tidak nyaman, karena pandangan mata Gio yang seakan ingin mengulitinya. Untung saja, Lila membuka suara, membicarakan hal lain dan mengalihkan tatapan Gio yang sedari tadi menatap intens ke wajah Vania.

Suasana canggung menyelimuti. Meski dulu mereka berdua pernah memiliki hubungan asmara, entah mengapa malam ini Vania merasa seperti melihat seseorang yang asing.

Mungkinkah karena rasa sakit hatinya pada Gio?

Entahlah.

Vania membuang pandangan ke sisi kirinya. Untuk sesaat ia menahan nafas, karena melihat seseorang dengan jas hitam slim fit yang berdiri di sana tengah memandang dirinya. Beberapa detik pandangan mata mereka bertemu. Membuat nafas gadis itu tercekat.

"M-mas Rendi?!" Bisik Vania gugup.

Lila yang mendengar samar bisikan Vania, seketika mengalihkan perhatian. Ekor matanya mengikuti arah pandangan Vania, hingga berhenti tepat pada pria yang berdiri tak begitu jauh dari posisi mereka saat ini.

"Suamimu Vania?"

"Iya."

"Kenapa kau tidak bilang jika ia juga akan hadir disini?" Bisik Lila.

"Aku tidak tahu jika ia juga akan datang kesini."

"Apa ada yang bisa ku bantu?" Ucap Lila setengah berbisik di telinga Vania sambil melirik pada Gio yang memandang mereka penuh tanya.

"Tak perlu. Biarkan saja." Jawab Vania lalu mengalihkan pandangannya dari Rendi.

"Sebaiknya kita temui Dewi, lalu pulang. Entah mengapa aku merasa tatapan suamimu begitu menyeramkan." Ungkap Lila khawatir.

"Baiklah."

"Apa ada masalah?" Terdengar suara Gio yang membuat kedua gadis itu saling bertukar pandangan.

"Tidak ada apa-apa. Kami akan kesana sebentar, memberi selamat pada Dewi. Apa kau mau ikut?" Sahut Vania sambil menunjuk ke arah pelaminan.

"Tidak."

"Ehm, Vania. Aku senang bertemu denganmu malam ini."

Ucapan Gio membuat Vania mematung sesaat, sebelum akhirnya lengan Lila yang menyenggol pinggangnya membuat kesadarannya kembali.

Vania mengangguk pelan. Lalu membalikkan badan, namun sebelum mereka berdua bener-bener pergi, dari balik bahu gadis itu masih menyempatkan diri melirik kearah suaminya.

"Suamimu masih ada disana. Kelihatannya dari tadi ia terus memandangimu, Vania," cicit Lila sambil melangkah, yang hanya ditanggapi dengan sebuah senyuman datar di wajah Vania.

***

"Pulanglah denganku," Pinta Rendi ketika melihat Vania yang baru saja hendak membuka pintu mobil Lila.

Vania menoleh pada suaminya. Sorot matanya begitu dingin. Untuk sesaat, Vania merasa atmosfir disekitarnya berubah begitu dingin. Membuat bibirnya membeku untuk mengeluarkan suara.

"Vania, aku bisa pulang sendiri." Suara Lila membuat Vania melirik sebal padanya.

"Ayo pulang." Kembali Rendi mengajaknya dengan tangan yang kini mengengam lengan Vania.

"Bye Vania." Pamit Lila seolah menghindar. Lalu melambaikan tangan sebentar sebelum akhirnya tubuhnya menghilangkan di balik pintu mobilnya.

Vania masih mematung ketika dilihatnya mobil hitam milik Lila sudah menghilang dari pandangan. Jantungnya kini berdegup kencang. Ketika menyadari bahwa tangannya masih ada dalam genggaman Rendi. Tak lama, Vania menarik tangannya cepat membuat sudut bibir Rendi melengkung.

"Ayo pulang, ini sudah malam," Nada suara Rendi kini terdengar rendah.

"Dimana kau memarkirkan mobilnya?" Tanya Vania tanpa melihat lawan bicaranya.

"Disebelah sana." Rendi menunjukkan ke sebuah arah.

Vania mengangguk samar. Membalik badan dan melangkah ke arah mobil Rendi yang terparkir tak jauh dari posisi mereka. Diikuti Rendi dari belakang yang menyamakan langkah mereka.

Untuk beberapa saat mereka diam. Suasana dalam mobil kini terasa hening. Vania menghela nafas panjang, sebelum akhirnya ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

Aroma maskulin begitu terasa didalam mobil ini. Aroma parfum yang mendominasi. Aroma yang begitu disukainya.

Rendi masih diam. Lelaki itu bahkan tidak menoleh pada istri keduanya. Tangannya mengepal kuat hingga terlihat buku-buku jarinya yang memutih seakan lelaki itu sedang menahan emosi.

"Kenapa tidak memberitahu jika kau akan kesini?" Pertanyaan Rendi memecah keheningan diantara mereka.

"Aku sudah menelepon ke rumah jika akan pulang terlambat malam ini." Ujar Vania tampak sedang mengatur nafas.

"Aku menghadiri resepsi ini karena Lila yang meminta bahkan ia sampai menjemput ke kantor. Aku hanya menemaninya, lagipula aku dan Dewi. Adalah teman baik." Lanjutnya menjelaskan.

"Oh," terdengar Rendi menggeram.

"Kau marah?" Tanya Vania dengan tatapan mata lurus ke depan.

"Aku hanya terkejut melihatmu ada disini." Sahut Rendi.

"Ini sudah malam. Bukankah sebaiknya kita pulang?" Sindir Vania pelan mencoba mengalihkan pembicaraan. Tak lama suara mobil terdengar menyala. Membuat gadis itu sedikit bernafas lega.

Sepanjang perjalanan pulang, tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Vania lebih memilih membuang pandangan keluar mobil. Menikmati Kilauan cahaya dari lampu lampu jalan. Sedangkan Rendi, lelaki itu memilih menatap kedepan, fokus mengendalikan mobilnya.

Mereka bagai dua orang yang bermusuhan. Vania masih bersikap acuh. Hingga akhirnya suara Rendi mengakhiri kebungkaman mereka.

"Pria yang tadi, bukankah itu Gio, mantan kekasihmu?"

Mendengar ucapan Rendi, seketika Vania memalingkan wajahnya. Tenggorokannya terasa tercekat. Begitu mendengar nama Gio yang lolos dari mulut suaminya itu."

Vania diam, Namun, kedua matanya menatap intens ke manik obsidian gelap milik suaminya. Entah mengapa ia merasa tubuhnya kaku dan gugup. Vania tak mengerti mengapa tubuhnya seakan tak bisa ia kendalikan.

"Jadi benar pria itu adalah Gio." Sebuah lengkungan tipis terlihat di wajah Rendi.

"Iya. Itu benar Gio. Mantan kekasihku."

"Kau keberatan, marah?" Vania kembali mengulang ucapan. wajahnya memerah karena menahan emosi. Namun pernyataan Vania hanya dibalas kebungkaman oleh Rendi. Membuat Vania kesal.

Tak ada pembicaraan lagi setelah itu, Rendi seakan mengabaikan keberadaannya. tak lama, mobil pun berbelok masuk ke dalam halaman sebuah rumah. Membuat Vania bisa sedikit bernafas lega karena rasa sesak dan marah yang sedari tadi dirasakannya.

Tanpa bicara sepatah kata pun, Vania melepas seat beltnya lalu keluar dari dalam mobil meninggalkan Rendi yang masih memandang tanpa ekspresi.

Vania melangkah cepat menuju kamarnya. Tanpa menoleh pada Karin yang berniat menyapanya. Gadis itu berlalu begitu saja, seakan ingin menghindari sesuatu.

"Mas!" Panggil Karin yang sedikit terkejut karena melihat mereka berdua pulang bersama.

"Kami kebetulan bertemu di acara resepsi pernikahan seorang anak kolega bisnisku." Sahut Rendi dengan suara datar.

"Apa yang membuat Vania terlihat kesal?"

"Tak apa-apa. Mungkin ia kesal padaku." Jawab Rendi sambil berlalu menuju kamarnya.

****

Keesokan paginya.

Vania masih memilih diam ketika Rendi menyapanya. Gadis itu masih menatap dingin sandwich yang ada dihadapannya. Tanpa berniat menikmatinya.

Suasana di meja makan ini masih sama. Telinganya masih mendengar percakapan sepasang suami istri di hadapannya yang tak sama sekali melibatkan dirinya, ataupun berbasa-basi mengajaknya bicara. Aroma maskulin yang begitu disukainya entah mengapa membuatnya mual pagi ini.

Ia masih kesal dengan sikap Rendi yang seakan mengabaikan dirinya semalam. Vania lebih suka Rendi yang menunjukkan kemarahannya. Entah mengapa, Ia lebih suka mereka bertengkar daripada melihat lelaki itu bersikap acuh.

Vania meletakkan garpu sedikit kasar hingga meninggalkan suara dentingan karena beradu dengan piring. Perbuatannya tak ayal menarik perhatian Karin.

"Ada apa Vania?" Tanya Karin lembut.

Vania diam, menata emosinya yang bergemuruh, lalu meraup oksigen dengan rakus demi menenangkan dirinya.

"Vania, kau ada masalah?" Kembali Karin bertanya.

"Yah, aku memang ada masalah, mbak. Dan masalahku ada pada kalian berdua!" Ketus Vania lalu menggeser kursinya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status