"Kau tidak pulang ke rumahmu, mas?" Tanya Vania sedikit malas."Tidak, aku akan tidur disini malam ini." Mendengar jawaban Rendi, membuat gadis itu memutar bola mata malas, lalu melirik suaminya itu dengan pandangan bosan."Oh, Jangan bilang kalau kau terpaksa kemari karena disuruh Mbak Karin?" Sindir Vania.***Rendi menggeleng." Tidak. Karin tidak meminta. Aku sendiri yang memutuskan untuk tidur disini malam ini."Mendengar perkataan Rendi, segera Vania berpaling. Bola matanya kembali memutar malas ketika lelaki yang terpaut hampir tujuh tahun darinya itu sedang melepas sandalnya dan berniat untuk rebah di ranjangnya."Kau pakai kamar di lantai bawah saja, mas. Maaf, tapi aku ingin sendiri di kamarku." Tegas Vania sambil melempar tatapan tajam."Tak masalah." Mendengar jawaban Rendi yang tanpa perlawanan. Tentu saja membuat Vania sedikit kaget, karena tak biasanya lelaki itu bersikap ramah dan mengalah padanya. Sungguh, terkadang Vania tak bisa mengerti isi kepala lelaki ini."La
Wajah Rendi yang tadi mengulas senyum kini berubah dingin ketika membaca pesan Gio berikut pesan balasan yang ditulis Vania. Tak lama ia mengembalikan benda pipih itu ke tempatnya semula begitu terdengar langkah kaki seseorang mendekat. Dan Rendi meyakini pemilik langkah itu adalah Vania yang baru menyadari jika ponselnya masih tertinggal di kamar ini.***Keringat mengucur membasahi wajah Karin, begitu juga dengan mulutnya yang terus bergumam tidak jelas. Salah satu tangannya terangkat seakan ingin menggapai sesuatu, namun tak terjangkau.Cahaya lampu temaram yang berasal dari lampu tidur seakan mendukung. Rona ketegangan di wajah Karin seakan enggan berpindah. Begitupun dengan lehernya yang nampak kaku seakan ingin menjerit.Dengan nafas yang tersengal-sengal, Karin terbangun. Dahaga yang begitu kering seakan ikut mengkhianati dirinya. Tubuhnya begitu letih seperti kekurangan cairan.Tangan Karin menggapai di tengah temaramnya cahaya lampu, mencari segelas air yang biasanya diletakk
"Mas, apa sebelum kesini, kau dan Vania ...?""Aku tidur di ranjang Vania." Sahut Rendi pelan dengan mata terpejam."Oh," jawab Karin pendek. Tanpa sadar tangannya kini mengepal erat.****Motor yang membawa Vania akhirnya berhenti di sebuah bangunan rumah mewah bertingkat tiga. Rumah dengan gaya Mediterania klasik itu terlihat begitu anggun dan mengesankan.Seorang satpam penjaga tampak bergegas membuka pintu ketika melihat Vania membuka helmnya. Sambil mengulas senyum tipis, Vania mendorong motornya memasukinya halaman rumah keluarga Atmadja, mertuanya.Setelah memarkir motornya di dekat jejeran mobil mewah mertuanya, Vania mengambil sebuah paper bag yang rencananya akan ia berikan pada Helena, ibu mertuanya. Vania melirik ke sisi kanannya, tampak mobil hitam milik suaminya telah terparkir manis di sana. Tatapan matanya datar, tak ada emosi yang terlihat. Tak berselang lama, ia berbalik menuju pintu utama rumah mertuanya.Seorang asisten rumah tangga langsung menyambut kedatanganny
"Kau tidak masalah kan, sayang jika membiarkan mereka pergi kedua saja ke Bali untuk beberapa hari?" Lanjut Helena kemudian.Mendengar perkataan Helena seketika Vania merasa kepalanya begitu berat serta lidahnya kelu untuk berkata-kata. Sedang Karin, wanita itu sempat terdiam sejenak, lalu beberapa saat kemudian, meremas ujung pakaiannya sambil mengulas senyum getir di wajahnya.***Tenggorokan Vania seketika tercekat. "Bu-bulan madu, ma? Ba-bali?" Gugup Vania memastikan kebenaran ucapan Helena, Ibu mertuanya tadi."Iya, sayang. Setelah menikah, kau dan Rendi belum menikmati masa bulan madu kalian, benar kan?" Jawab Helena.Vania mengangguk samar, seakan membenarkan ucapan Helena. Setelah pesta pernikahannya tiga bulan lalu, ia dan Rendi memang belum mengecap indahnya berbulan madu. Bukan karena Rendi tidak menawarkan, tapi, Vania menolak dengan alasan perkerjaan di kantor sedang menumpuk yang tidak bisa ia tinggalkan.Lagipula, untuk apa harus berbulan madu ketika Rendi sendiri suda
Vania menghela nafas panjang. Sepertinya akan sulit baginya untuk menghindar. Bukan saja pernikahannya yang telah diatur bahkan jadwal bulan madu pun sudah terencana dengan begitu rapi. Membuatnya seakan ingin menenggelamkan tubuhnya ke dasar lautan yang paling dalam.***"Rasanya aku seperti tidak memiliki hak atau pun privasi terhadap hidupku sendiri." Vania berbisik begitu pelan."See! Tak ada masalah lagi kan? Semua orang sudah setuju," Tanya Helena dengan rona wajah penuh kepuasan.Hening.Tak ada suara apapun yang terdengar untuk menolak keinginan Helena. Kelihatannya wanita berdarah Skotlandia itu benar-benar pintar mengatur semuanya. Setidaknya, Vania mengakui kelebihan ibu mertuanya yang satu ini. Yang sangat suka memaksakan kehendak.Karin masih nampak meremas ujung pakaiannya. Sesekali ekor matanya melirik Rendi yang duduk bersandar sambil menatap layar televisi. Berharap lelaki itu akan berusaha menolak keinginan ibunya di menit menit terakhir. sayang, sepertinya harapanny
Mobilnya kini berhenti di sebuah pemakaman. Nafasnya terdengar berat seakan menahan beban yang begitu berat di pundaknya. Tak lama langkah kakinya membawanya mendekat ke sebuah makam. Lalu berhenti mematung diam setelah sebelumnya meletakkan sebuket bunga di sana"Mengapa kau membiarkan aku menanggung semua ini sendiri. Tak tahukah kau jika itu membuat hidupku begitu sengsara?" Lirih Karin dengan ekor mata yang mulai basah.***"Mbak, nanti siang mau dimasakin apa?" Tanya Bi Sumi, asisten rumah tangganya."Apa saja bi," jawab Vania cepat."Hmm, kalau ayam kecap mau?""Iya, itu juga boleh." Jawab Vania pelan."Lemes amat mbak, kayak nggak makan seminggu," Sindir Bi Sumi.Vania tak menjawab, hanya mengendikkan bahu. Sesekali terdengar ia mendengkus. Kelihatannya rasa lapar tidak ada dalam daftar yang hendak dilakukannya sekarang.Acara reuni akan di gelar besok siang di sebuah restoran berkonsep outdoor. Sebenarnya hampir setiap tahun acara temu alumni ini digelar, namun, tak sekalipun
"Aku tahu, kau menikahi seorang pria yang sudah menikah dan hanya dijadikan istri kedua. Pernikahanmu juga dilakukan diluar keinginanmu. Aku yakin suamimu tidak begitu peduli padamu, benar, kan?"***Mendengar tudingan Gio, seketika dada Vania terasa nyeri. Emosi yang tadi sempat mereda kini kembali terbakar. Meski ia mengetahui bahwa ucapan Gio benar adanya, tetap saja Vania tidak bisa menerima tudingan tersebut.Vania memalingkan wajahnya dari pandangan mata Gio yang sedari tadi begitu intens menatapnya, tak lama ia memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya membalas ucapan Gio dengan sebuah kalimat pedas yang menohok."Kau benar, aku memang dijadikan istri kedua dan pernikahanku juga terjadi di luar keinginanku sendiri. Tapi, setidaknya suamiku lebih baik darimu, ia memberikanku status dan hak."Lama Vania terdiam, tak lama ia kembali melanjutkan perkataannya."Kau meninggalkanku tanpa kabar, tanpa pamit dan tanpa keputusan. Kau membuatku menahan semua emosi sendiri. Kau menggantu
Keesokan harinya."Gaunmu yang merah itu cantik, Vania." Tunjuk Lila pada sebuah gaun satin dengan detail Lace di bagian ujung dad4. "Yang ini? Kau lupa dress code nya putih atau biru tua," desis Vania yang tak begitu bersemangat memilih gaun yang akan dikenakannya ke acara reuni nanti."Kau datang kerumahku pagi-pagi lalu memintaku segera memilih gaun dan berdandan. Apa kau tidak merasa sedang menganggu waktu istirahatku? Ini hari liburku, Aku bahkan memiliki rencana untuk tidur sampai sore." Keluh Vania melayangkan protes."Aku ingin kita terlihat menawan di acara reuni, makanya harus bersiap siap dari sekarang." Sahut Lila dengan senyum yang lebar."Kau sajalah yang datang, aku malas.""Tapi, kau kan sudah janji akan datang." Rengek Lila."Kapan aku pernah berjanji. Dari awal kau kan tahu aku tak mau datang," bola mata Vania membulat"Aku tahu, tapi apa salahnya sih menyenangkan teman."Mendengar perkataan Lila, sontak membuat Vania memutar bola mata dan melempar tatapan tajam pad