“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri.
“Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa.
“Hey, kalian kok malah pada berdiri di sini, sih? Ayo duduk, sambil nunggu acaranya dimulai, kita ngobrol-ngobrol sambil duduk!”
Kami menoleh pada sosok yang baru saja datang. Renata sudah berdiri tak jauh dari sana dengan membawa Cici---putrinya yang usianya sudah lima tahun. Aku tahu itu karena dia selalu memamerkan wajah putrinya pada WAG yang baru dibuat sehari lalu itu. Renatalah yang memang memiliki banyak waktu yang menjadi parakarsa kumpulnya angkatan kami yang jumlahnya sekitar 250 orang dari seluruh kelas.
Beruntung Renata datang di saat yang tepat, ucapan Dewi jadi tak ada yang menanggapi. Dion pun tampak melipir ke arah para kaum lelaki yang mulai berdatangan. Apalagi waktu sekolah, dia memang memiliki geng solid yang menjadi satu tim basket tangguh di sekolahan.
“Hay, Re! Wah anaknya cantik banget! Beda ya kalau istri pengusaha, sih, bling-bling!” celoteh Salsa sambil mencubit pipi Cici. Sementara itu, Cici tampak cemberut dan menepis tangan Salsa.
“Sudah deh gak usah bawa-bawa suami! Paksu kutinggal dulu, biar bebas nanti kita rumpi-rumpi!” kekehnya seraya melirik kepada kami.
Dia memang supel, meskipun tak ada yang dekat denganku selain Harum, tetapi ketika sekolah, Renata merupakan orang yang cukup netral dan tak memihak pada geng-geng yang tercipta di dalam kelas.
Setelah dipersilakan oleh Pak Faqih, aku pun pada akhirnya ikut dengan Renata yang sialnya dia lebih memilih bergabung dengan Dewi dan teman-temannya. Sudahlah ikut saja dulu, biar nanti kalau ada kesempatan misah, baru cari cara buat memisahkan diri.
Aku membantu membawakan kotak kue milik Harum dan Azriel, karena dia harus menggendong balita yang menggemaskan itu. Lalu aku, Harum, Renata, Mirna, Salsa, Dewi dan tiga orang teman lainnya yang ikut mengekor, duduk mengelilingi satu meja.
“Ya ampuuun, Rum! Anak kamu montok banget, sih? Umur berapa?” Renata menatap Harum ketika kami pada akhirnya sudah duduk mengelilingi meja yang sengaja ditarik dan disatukan.
“Dua setengah tahun, Re!”
“Kok baru dua setengah tahun, eh iya, ya, kamu nikahnya telat, sih, ya? Anakku sudah lima tahun, tokcer soalnya!” kekehnya.
“Ya gak apa lah, Re! Kalau jodoh sudah datang, ya gimana lagi? Masa kita tolak!” tukas Harum seraya tersenyum.
“Iya lagian kamu keren tahu, Re. Dapet suami pengusaha! Beuhhh … aku juga kalau ada pengusaha tajir kayak suami kamu yang nyasar, sudah kuembat!” Mirna menimpali seraya mengunyah potongan kue yang dia masukkan ke dalam mulut.
“Yah, kadang orang hanya saling pandang, Mir! Asal kalian tahu, menjadi istri pengusaha itu tak seindah yang dibayangkan. Bahkan dua minimarket paksu sudah dijual, kami terlilit hutang, Mir!” wajahnya berubah sendu. Namun satu hal yang aku suka dari Renata, dia itu blak-blakan dan apa adanya.
“Ya ampuuun, maaf banget, Re!” Mirna tampak merasa tak enak.
“Iya gak apa-apa, makanya aku seneng banget mau ada reuni ini, ya kali teman-teman yang sudah sukses bisa bantu ekonomi aku. Sekarang sisa dua minimarket lagi yang masih di pegang suami, satunya lumayan sih, omset per bulan itu dua ratus lima puluh jutaan, tapi ya salah kami sih yang dulu mentingin gaya hidup, kalau gak dilepas ya kami masih pontang-panting nutup cicilan! Hmmm … kali dari kalian ada yang mau ambil alih, jual butuh saja mau kulepas lima ratus juta!” tukasnya dengan wajah sendu.
Kami semua saling terdiam. Angka yang disebutkan oleh Renata bukan main-main, lima ratus juta. Sebetulnya uang tabunganku dari hasil menulis selama lima tahun, ditambah dari kontrak film kemarin lebih dari dua kali lipatnya angka tersebut. Namun, aku sendiri masih takut kalau mau investasi dan aku bingungan orangnya. Jadinya selama hidup, hanya kuambil sedikit saja untuk keperluan sehari-hari dan menyenangkan Ibu. Selebihnya aku hanya berusaha hidup memakai gajiku dari ngajar TK dan hidup sederhana. Toh tempat tinggal sudah gak nyicil walau memang tak besar. Tanah dan rumah peninggalan almarhum Ayah sudah cukup untukk bernaung. Lagian aku gak mau orang-orang tahu kalau aku banyak uang. Di rumah aku hanya tinggal berdua dengan Ibu. Aku takut kalau ada orang yang mau berniat jahat gimana? Karenanya hidup sederhana menjadi pilihan.
“Dew! Kamu ‘kan jadi bintang di film terbaru yang fenomenal itu! Ayolah bantu Renata, tabungan kamu pasti banyak ‘kan?” Mirna menatap sohibnya yang sejak tadi tampak tak fokus. Aku tahu sudut matanya mengarah ke mana? Sejak tadi dia sibuk memperhatikan Dion yang tengah berbincang dengan teman-teman satu angkatan lainnya.
“Ah, iya kenapa, Mir? Bantu Renata maksudnya?” Dewi seperti baru tersadar akan topik obrolan kami. Dia gegas menoleh pada Renata.
“Dia sedang terlilit hutang, Dew! Kamu kan artis! Duitnya banyak pasti! Bantulah Renata, kasihan!” Mirna mengulang lagi kalimatnya.
“Ya alhamdulilah sih kalau masalah uang, meskipun aku bukan orang pintar dan kebanggaan sekolah dulunya, tapi kalian lihat sendiri lah! Aku sudah jadi bintang iklan juga, sekarang sudah tanda tangan kontrak juga untuk main film! Ya you know lah, kira-kira berapa,” tukas Dewi dengan bangga.
“Kalau gitu belilah Dew, minimarket aku mau dilepas murah saja! Aku terbantu banget kalau kamu mau beli! Aku benar-benar ingin terlepas dari hutang riba. Capek aku, Dew! Harga temen, dua kali bayar juga gak apa, Dew!” Renata tampak mengiba. Tampak beban yang menggelayut itu begitu nyata.
“Berapa emang harganya? Kamu remehin aku ya sampai nyuruh dua kali bayar?” kekeh Dewi seolah merasa tersindir.
“Tuh, Re! Dewi itu artis, kamu jangan khawatir, duit dia pasti banyak!” Mirna tampak bangga sekali pada sahabatnya itu.
“Alhamdulilah, semoga pertolongan ini datang dari acara reuni ini! Gak mahal, Dew! Aku lepas minimarketnya seharga lima ratus juta saja!”
Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya.
Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang dibayar ratusan ribu per hari ada juga yang hanya puluhan ribu itu pun hanya beberapa scene biasanya. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang.
Sambil nunggu ini update, yuk boleh baca cerita yang lainnya. Pokoknya gak bakal nyesel deh.
Rekomendasi cerita buat kakak yang wajib dikepoin di profil aku
1. DINIKAHI KONGLOMERAT
2. MENIKAH DENGAN SULTAN
3. TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU
Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya. Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang hanya dibayar ratusan ribu per hari, ada juga yang bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang. Kami semua menunggu jawaban Dewi ketika tiba-tiba dia mengangkat telepon. Padahal tak kudengar gawainya itu bergetar. “Hallo, Sir! Hmmm, yes of right!” Dengan menggunakan bahasa inggris dia mener
“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah. Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi. Aku membagi pandang pada mereka yang memandang rendah ke arahku. Namun, belum sempat aku berucap lagi, terdengar suara seseorang memecah perhatian dari tawa ketiga orang bersahabat itu. “Wah pada asyik banget ketawanya! Lagi ngobrolin apa, nih?” Suara bariton yang muncul dari arah samping itu rupanya milik Dio
“Yon, Yu! Ini kartu nama paksu, di sini ada alamat kantornya! Kalian nanti janjian saja, ya! Kita ketemu di sana nanti dan bahas masalah ini lagi.” Renata mengulas senyum penuh harap. Aku dan Dion sama-sama saling menerima kartu nama tersebut. Terima saja, dulu. Mikirnya nanti saja setelah hatinya tenang. Aku bisa tanya dulu sama Ibu untuk minta pertimbangan. Entah apa sekarang tujuanku, beneran buat minimarket ini atau buat Dion? Duh, kacau lah kalau urusan hati. Aku ini memang sedikit plin plan kalau sudah bicara soal Dion. Lelaki yang namanya terukir pertama kali di dalam lubuk hati sini. Hmmm … tapi apakah dia masih menyimpan rasa itu untukku? Kartu nama dari Renata aku simpan juga. Ada alamat kantor suaminya di sana. Begitu pun dengan Dion. Dia pun memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. Bahasan beralih seiring dengan datangnya Pak Faqih. Namun tak berapa lama, terdengar suara panitia yang membawakan acara menyita perhatian. Obrolan kami terhenti dan beralih menatap ke
Kulihat Pak Faqih menelan saliva. Namun perlahan dia mengeluarkan satu buah amplop dari dalam sakunya. “Kamu bisa baca ini nanti, ya! Saya tak bicara langsung di depan kamu, hanya karena saya tak mau kamu shock kalau langsung mendengarnya,” kekehnya. Aku menautkan alis dan menerka-nerka isi amplop yang kini sudah ada di atas meja dan diangsurkan padaku. Aku bergeming, tapi tak urung juga kutarik amplop putih yang bentukannya seperti amplop kondangan itu. Hati penasaran, apa isinya? Masa sih aku dikasih uang? Duh geer banget, ya? “Hmmm, dikasih amplop gini, kok saya jadi deg-degan ya, Pak!” candaku seraya memasukkan amplop putih itu ke dalam tasku. “Jangan sampai pas dibuka nanti pingsan,” kekeh Pak Faqih lagi. Justru hal ini makin buat aku penasaran. “Duh makin penasaran jadinya. Buka sekarang saja, ya!” Aku mencoba menarik ujung amplop dari dalam tas. “Acara sudah dimulai loh, Yu! Gak seru kalau pas dipanggil ke depan kamunya gak datang karena pingsan.” Dia bicara dengan pelan
“Terima! Terima! Terima!” Astaghfirulloh! Aku menjadi lebih shock ketika tampak Bu Isma tengah mengarahkan kamera ke arahku. Beberapa guru dan teman-teman seangkatan yang tanpa kutahu sudah ada di sana tengah bertepuk tangan dengan kompak. Mereka menatap ke arah kami dan menggemakan kata terima seirama dengan tepukan tangan mereka. Ya, Tuhaaan! Aku beneran ingin pingsan!Keringat dingin mendadak bermunculan. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa sekarang. Teringat pesat ibu ketika saat itu dia bicara terkait jodoh. “Jika ada lelaki baik yang mengajak langsung menikah, maka terimalah! Berarti dia bersungguh-sungguh dan bukan hanya hendak melecehkan.” Itulah pesan yang dia sampaikan. Benar memang Pak Faqih orang baik, tetapi apakah baik saja cukup untuk mendasari sebuah pernikahan? Lalu, selama tujuh tahun bertahan itu sebetulnya aku karena apa? Karena belum ada lelaki baik yang datang atau karena Lingga Bardion yang belum bisa sepenuhnya menghilang dari lubuk hati paling dalam
Aku berjalan menunduk seraya memikirkan detik-detik menengangkan tadi dan semua prasangka ketika tiba-tiba aku menubruk tubuh seseorang. Bruk!“M--Maaf.” “Ehm, yang habis dilamar, ngelamunnya sampai segitunya!” Deg!Suara itu? Aku lekas mendongak dan benar saja seraut wajah yang kuharapkan tak pernah tahu semua kejadian inilah yang sudah berdiri di depanku. Lingga Bardion, apakah dia melihat juga semua yang tadi terjadi di lobi hotel ini? Ya Tuhaaan? Kenapa jadi serumit ini, sih? “K--kamu d--dari tadi?” Terbata aku bertanya padanya. “Enggak, tapi aku tahu semuanya! Selamat, ya!” Dia mengulurkan tangan ke arahku. Senyum itu masih sama, senyuman tujuh tahun lalu yang membuat aku kangen siang malam. Namun kok hati jadi terasa pedih, ya. Diucapin selamat sama seseorang yang belum pergi sepenuhnya dari relung hati yang paling dalam. Aku menunduk, mencoba menetralkan debar dalam dada yang tak menentu. Lalu kuangkat lagi kepala dan menatap ke arahnya. “Selamat untuk apa, sih?” tanyak
“Iya, Yu! Tuh lihat saja di grup! Koar-koar mulu!” Harum menunjukkan layar gawai. Benar saja, di grup tampak Dewi mengirimkan beberapa foto dengan Pak Anton disertai kalimat-kalimat yang menunjukkan kalau dia begitu konfiden jika Pak Anton datang buat kasih pengharagan ke dia. [Guys, asal kalian tahu! Di sini hanya aku deh alumnus yang kenal sama Sutradara kondang ini! Kalian wajib nunggu, ya! Sebentar lagi aku pasti dipanggil ke atas podium buat nerima pengharagaan dari sekolah. Secara aku sudah bisa membuktikan, kalau di dunia nyata bahkan aku bisa lebih berprestasi dari pada siswa yang dulunya berprestasi. Iya gak?] [Wah, pantas saja tumbenan ngundang orang dari dunia film, ya? Rupanya buat kasih penghargaan ke kamu ya, Wi? Selamat, ya, keren!] Salma. [Anjirrrr! Beda ya kalau sudah jadi artis mah, bisaan euy, Wi! Mantap pisan!] Eti[Ya ampuuun, kita dari kemarin nebak-nebak katanya mau ada kasih penghargaan dari sekolah dalam acara reuni sekarang! Gak kepikiran kalau orang yang
Riuh tepuk tangan terdengar. Aku bangkit dari tempat duduk seraya menoleh ke arah tempat Dewi dan kedua temannya yang kini melotot ke arahku. Hanya anggukan singkat dan senyuman manis aku lemparkan membalas tatap tak percaya itu. Aku berjalan sambil menunduk menuju ke arah Karmin dan Hana yang tersenyum lebar menyambutku. Rasanya belum siap identitas ini ditelanjangi, tetapi mengingat alasan dari pihak sekolah agar banyak yang terinspirasi dan ke depannya aku didaulat untuk mengembangkan siswa-siswa dengan potensi serupa, maka aku tak ingin melewatkan kesempatan ini. Bukankah kesempatan katanya tak datang dua kali? Bukankah ini adalah salah satu jalan untukku agar bisa menebar manfaat sebanyak-banyaknya? “Ya ampuuun, Bestie! Selamat, ya!” Karmin sudah nyelonong saja hendak memelukku. Namun tiba-tiba lengan Hana menahan dadanya. “Eh, Mas Bro … bukan mahram!” ucap Hana seraya memutar bola mata ke atas. Karmin terkikik lalu hanya berganti dengan mengulurkan tangan menyalamiku. “Selam