Share

Bab 6

Author: Evie Yuzuma
last update Huling Na-update: 2022-11-08 12:12:51

“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah. 

Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.

“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi.  

Aku membagi pandang pada mereka yang memandang rendah ke arahku. Namun, belum sempat aku berucap lagi, terdengar suara seseorang memecah perhatian dari tawa ketiga orang bersahabat itu. 

“Wah pada asyik banget ketawanya! Lagi ngobrolin apa, nih?” Suara bariton yang muncul dari arah samping itu rupanya milik Dion. Dia dan Hilman sudah berdiri tak jauh dari kami. 

“Uhuyyy, disamperin cogan!” pekik Mirna. Matanya seketika berbinar melihat dua orang pebasket dari kelas kami dulu. Tubuh sama tinggi, hanya saja kulit Dion sedikit lebih hitam dari pada Hilman yang putih kebule-bulean. Teman-temanku dulu sering mengoloknya bule nyasar, karena dia sendiri yang kulitnya berbeda. 

“Ahm, Yon! Kebetulan kamu ke sini! Kali kamu ada rencana buat lebarin sayap bisnis orang tua kamu ke bidang waralaba minimarket! Ini Renata mau jual butuh! Murah banget cuma lima ratus jutaan doang. Tadinya aku mau ambil, tapi kelupaan kalau sudah janji mau investasi sama Mr William. Hmmm … maklum artis baru, duit di rekening ya cuma baru ada lima M.” 

Dewi langsung saja nyerocos seolah tak memberiku ruang. Sepertinya dia bahkan tak siap ketika hanya mendengar aku tertarik dengan tawaran renata. Bisa jadi dia tak mau tersaingi karena sejak tadi hanya dirinya yang dielu-elukan, tak rela jika aku yang memang kastanya di bawah dia, tiba-tiba punya nama. Namun gak apa, sih, bagiku. Toh niat mau beli minimarket pun bukan buat sombong, hanya saja mendengar dan melihat kesungguhan Renata untuk terlepas dari utang riba, membuat ada yang tersentuh dari lubuk hati di dalam sana. Namun, jika Dion mau ambil, berarti porsi pertolongan Renata tetap akan ada, meskipun bukan dariku dan sama sekali bukan masalah bagiku. 

“Wah, beneran, Re? Sudah hak milik atau sewa bangunannya?” Kedua mata elang itu tampak berbinar mendengar tawaran yang dilontarkan Dewi. Dia menarik kursi lalu duduk diikuti oleh Hilman pada meja kami. 

“Tadi sih ayu sudah tanya, itu sudah hak milik, Yon! Bisnisnya waralaba dan sudah sistem autopilot, enak sebetulnya dan omsetnya juga masih bagus … tapi ya gitu, aku kelilit hutang, Yon! Hmmm … tadi ayu sudah tanya juga, aku pastiin dulu karena Ayu duluan yang nanya. Kalau dia gak ambil baru lempar ke kamu. Hmmm, Yu kamu jadi ambil gak?” Renata menoleh ke arahku. Seperti yang kubilang, jika dia selama ini cukup netral orangnya. Dia pun tak mempermasalahkan jika aku atau siapapun yang membeli, sepertinya. 

“Ya ampuuun, Re! Kamu pikir Ayu serius! Mana ada dia uang! Gaji ngajar TK berapa, sih? Kisaran lima ratus ribuan saja ‘kan? Nah kalau mau dapat lima ratus juta harus berapa ribu tahun dia nabung, Re?” kekeh Dewi seraya menatap sinis ke arahku. Baiklah, aku tinggikan dulu keinginanmu, Dew! Biar kamu puas, sebelum nanti pingsan pada akhirnya. 

“Iya, Re! Aku cuma nanya doang! Ingat ada kenalan yang dulu pernah nyari minimarket, tapi kalau Dion mau ambil … jual ke Dion saja yang lebih pasti, soalnya kamu butuh cepet ‘kan ‘ya?” 

Aku tersenyum menanggapi cemoohan Dewi. Langit tak perlu berkata kalau dirinya tinggi, semua orang sudah tahu ketika menyebut langit maka dia itu posisinya di mana. Sedangkan yang selalu menyatakan dirinya tinggi, sebetulnya dia hanya orang yang butuh pengakuan karena sebetulnya posisinya belum di sana dan aku akan memberikan pengakuan itu pada Dewi. Merendah, agar dirinya tetap merasa tinggi. 

“Tuh, bener ‘kan, Re! Kamu itu jadi orang kok polos banget, Re, Re!” kekeh Salsa yang tampak ikut-ikutan tersenyum puas ke arahku. 

“Yu, kamu tertarik buat bisnis minimarket? Wah keren kalau gitu, gimana kalau kita berpartner?” 

Tiba-tiba Dion menatapku dengan mata berbinar. Aku mendongak, menoleh ke arahnya sekilas. Namun lekas membuang pandang melihat sepasang manik hitam itu menatapku dengan lekat. 

Duh, hati kok jadi dag dig dug kayak gini, sih? 

“Ahm, aku mana paham, Yon! Aku awam masalah bisnis-bisnisan,” kekehku seraya menunduk. Duh, ini tangan jadi salting malah memilin-milin ujung kerudung, untung di bawah meja. 

“Kalau kamu belum paham, aku bisa ajarin kok, Yu! Gimana kalau besok bisa lihat bareng-bareng saja unitnya! Baru kita putuskan mau seperti apa?” 

Dion menatap dengan wajah berbinar ke arahku. Aku mengangkat wajah, sekilas terbersit rasa ingin mencoba, apalagi yang akan jadi partnernya adalah Dion. Ingin juga membuktikan pada orang tua Dion yang melarang hubungan kami dulu kalau aku tak semiskin yang mereka kira. Aku bukan tipe perempuan manja yang bisanya hanya menghabiskan uang mertua dan suami. Namun, jujur … aku masih nyaman dengan statusku yang tersembunyi seperti sekarang ini. Duhhh … galau jadinya. Please hatiiii, ambil keputusan!

Dewi tiba-tiba terbatuk-batuk, lalu seketika mengalihkan obrolan.

“Pak Faqih! Sini, Pak!” Dia memekik pada mantan wali kelas kami yang tampak baru selesai menyapa beberapa kerumunan mantan siswa. 

Lelaki berlesung pipi itu menoleh dan tersenyum. Pak Faqih lekas berjalan mendekat pada meja kami. 

“Bapak boleh gabung?” tanyanya seraya menarik kursi di samping Hilman. 

“Boleh dong, Paaaak!” koor dari kami yang duduk berbaris pada dua sisi dan saling berhadapan dengan meja. 

Renata yang tampak merasa terancam jika obrolan akan dialihkan, lekas mengeluarkan kartu nama dari dalam tasnya. Lalu dia sodorkan kepadaku dan Dion. 

“Yon, Yu! Ini kartu nama paksu, di sini ada alamat kantornya! Kalian nanti janjian saja, ya! Kita ketemu di sana nanti dan bahas masalah ini lagi.” Renata mengulas senyum penuh harap. Aku dan Dion sama-sama saling menerima kartu nama tersebut. 

Terima saja, dulu. Mikirnya nanti saja setelah hatinya tenang. Aku bisa tanya dulu sama Ibu untuk minta pertimbangan. Entah apa sekarang tujuanku, beneran buat minimarket ini atau buat Dion? 

Duh, kacau lah kalau urusan hati. Aku ini memang sedikit plin plan kalau sudah bicara soal Dion. Lelaki yang namanya terukir pertama kali di dalam lubuk hati sini. Hmmm … tapi apakah dia masih menyimpan rasa itu untukku?

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (14)
goodnovel comment avatar
Nurul Affan
cerita nya bagus cuma sayang pakai koin jdh malas bacanya
goodnovel comment avatar
Kasdi vivo
pelit memang untuk d baca ujung ujungnya suruh beli
goodnovel comment avatar
ZulFikri
koin.koin.koin.koin
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 73 (end)

    Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 72

    “Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Sesion 2 - Bab 71

    Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 70

    “Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 69

    “Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s

  • DIKIRA MISKIN SAAT REUNI   Session 2 - Bab 68

    Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status