Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Ya ampuun, Ayu … tujuh tahun berlalu, penampilan kamu masih kayak gini saja! Masih saja norak tahu gak sih?” pekik seseorang ketika aku baru saja duduk di meja yang sedikit ujung. Dia memindai penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mendadak perasaanku menjadi tak nyaman. Aku sadar, penampilanku memang tak semewah mereka. Hanya mengenakan kerudung segi empat warna krem yang dipadu padankan dengan tunik bermotif kotak dan celana pensil warna hitam. Alas kakiku hanya menggunakan sandal seharga enam puluh ribuan. “Hush, Dew! Kamu kayak yang gak inget saja siapa, Ayu! Sudah, ih! Kasihan dia!” Mirna---ceesnya Dewi kudengar menimpali. Mirna baru saja menghampiri Dewi bareng Salsa.“Ah iya, lupa. Cuma anak tukang nasi uduk saja belagu! Cuma males saja kalau inget dia yang sok kecakepan kayak dulu! Harusnya sadar diri! Kalau emang beda level, jangan sok kecentilan! Aku ini aktris menuju papan atas, bahkan sudah dapatkan peran juga dalam novel terbaru karya Peri Aksara yang sedang
“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya. Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku. Akhirnya foto berhasil kuambil dengan segenap kehati-hatian. Kuserahkan gawai mahal milik Dewi lagi pada pemiliknya. Maklum, namanya juga artis. Semua harus serba mahal pastinya demi menunjang penampilan. “Sini lihat! Duh kok miring-miring gini sih, Yu! Yang ini lagi … wajah akunya malah keambil separuh!” Dewi menekuk wajah ketika melihat gambar di dalam HP. “Duh, maaf, Dew! Gak biasa pegang HP mahal soalnya! Bingung tadi ngarahinnya!” Aku menjawab santai, padahal sengaja tadi yang kuambil gambarnya banyak itu Selvi dan Marwah. “Kita ulangi lagi, yuk, Vi,
“Ehmmm … tujuh tahun rupanya tak mampu membuat kebaikan kamu luntur, Yu! Inilah yang bikin kamu tuh selalu beda sama orang lain!” Eh, tiba-tiba suara seseorang muncul dan membuat kami menoleh. Seketika aku menelan saliva. Sosok tinggi tegap yang masih konsisten dengan alis tebalnya sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berada. Tatapan itu mengarah ke arahku. Sorot mata yang rasanya masih sama dengan waktu tujuh tahun lalu. Lingga Bardion---lelaki yang sudah menjadikan alasan Dewi membenciku setengah mati tengah tersenyum ke arahku. “Hey, Dion! Ya ampuuun … kok lo makin tua malah tambah ganteng saja, sih!” Salsa yang tengah mengambil kotak cateringan berisi kue menghentikan kegiatannya dan menyempatkan dulu muji Dion.“Tua-tua kelapa, Sa! Makin tua makin banyak yang suka.” Dia mendekat menghampiriku dan Salsa yang berdiri di dekat meja yang berisi tumpukkan kue. “Lo bisa saja, Yon! Sini gue ambilin punya lo, ya! Duduknya di sana, yuk! Ada yang nungguin lo dari tadi!” Salsa langsun
“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri. “Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa. “Hey, kalian kok malah pada berdiri di sini, sih? Ayo duduk, sambil nunggu acaranya dimulai, kita ngobrol-ngobrol sambil duduk!” Kami menoleh pada sosok yang baru saja datang. Renata sudah berdiri tak jauh dari sana dengan membawa Cici---putrinya yang usianya sudah lima tahun. Aku tahu itu karena dia selalu memamerkan wajah putrinya pada WAG yang baru dibuat sehari lalu itu. Renatalah yang memang memiliki banyak waktu yang menjadi parakarsa kump
Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya. Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang hanya dibayar ratusan ribu per hari, ada juga yang bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang. Kami semua menunggu jawaban Dewi ketika tiba-tiba dia mengangkat telepon. Padahal tak kudengar gawainya itu bergetar. “Hallo, Sir! Hmmm, yes of right!” Dengan menggunakan bahasa inggris dia mener